Chapter 2

739 Words
“Mau cup cake?” Tawar Sisi. Ali hanya menggeleng pelan sembari memutar-mutar kunci motor yang ada di tangannya. Sisi yang melihat respons Ali meninggalkan sejenak pekerjaannya melipat kotak kue dan mengambil posisi duduk di samping Ali. Saat ini mereka sedang berada di toko roti milik Sisi. Karena Ali baru bekerja nanti malam, siangnya setelah pulang sekolah ia memutuskan untuk menemani Sisi di toko roti. “Dari tadi pagi aku lihat kamu kebanyakan diam. Kamu lagi kenapa? Cerita dong,”ucap Sisi lembut. Tangannya terulur menyisir rambut Ali yang sedikit berantakan. Ali menggapai tangan SIsi di rambutnya kemudian beralih memainkan jari-jari milik Sisi. “Kemarin papa datang ke kos.” “Terus?” “Papa datang buat kasih aku oleh-oleh karena baru pulang dari Amsterdam.” “Terus?” “Oleh-olehnya aku sedekahi.” “Haaaaaa???” “Kamu sih terus-terus doang responsnya,” ucap Ali kesal. “Maaf Sayang, aku kan mau dengar kamu cerita dulu. Jadi gimana kamu terima?” “Ya enggak lah, kapan sih aku terima pemberiannya? Ya seperti biasa, pertemuan kami selalu diakhiri dengan perdebatan,” cerita Ali. “Pasti kamu tetap gak mau dengar omongan papa kamu kan?” “Dengarin buat apa?” Sisi menghela nafas panjang. Ali benar-benar sangat keras kepala. Apalagi menyangkut tentang masalah keluarganya. “Sayang, kamu gak bisa kayak gini terus. Kamu jangan siksa diri kamu dong. Semua yang papa kamu bilang benar kok. Kamu kayak gini bukan cuma karena kamu kehilangan mama kamu, tapi kamu juga harus kehilangan papa kamu karena sikap kamu sendiri. Coba deh maafin papa kamu,” ucap Sisi memberi pengertian. Sebenarnya Sisi tidak ingin terlalu ikut campur dalam urusan keluarga Ali, namun ia merasa perlu untuk menasihati Ali sekali-kali. “Ntar deh aku pikiri lagi,” balas Ali. Selalu saja seperti itu. “Ya udah, aku ambili cup cake coklat kesukaan kamu ya, biar kamu semangat nanti nyanyinya.” Ali mengangguk kecil sembari tersenyum. Ali memang sangat menyukai kue. Dari kue inilah awal pertemuan mereka. Dulu Ali sebenarnya tidak pernah mengenal Sisi, meskipun mereka satu sekolah. Namun sejak Ali suka membeli kue di toko kue milik Sisi, mereka menjadi dekat hingga akhirnya berpacaran sampai kini. *** Kafe tempat Ali bekerja malam ini disulap menjadi tempat yang penuh dengan pernak-pernik pesta. Satu persatu tamu sudah berdatangan, sementara Ali sudah bersiap untuk bernyanyi di panggung kecil yang terdapat di kafe itu. Mata Ali memicing saat melihat ada beberapa tamu yang sepertinya sering ia lihat, ternyata benar saja, ini adalah ulang tahun Salsa, salah satu anggota tim cheerleader yang populer di sekolah mereka. Jika ada Salsa, pasti akan ada anak-anak yang lain seperti.... Ali berdecap kesal saat melihat Gino CS memasuki kafe. Maklum saja, mereka adalah anak-anak tim basket. Ali menghela nafas berharap malam ini akan berlalu begitu cepat. Ali pun mulai menyanyikan lagu pertamanya. Gino menatap Ali dengan tatapan meneliti, merasa pernah melihatnya sebelumnya. Sesaat kemudian Gino mengingat siapa orang yang sedang bernyanyi di depannya. Gino tersenyum miring saat memikirkan sesuatu. Sudah 4 lagu yang Ali nyanyikan, Ali memilih untuk beristirahat terlebih dahulu. Ali akhirnya turun dari panggung ingin menuju dapur kafe untuk mengambil air minum, tentunya ia harus melewati kerumunan orang-orang yang sedang berpesta. Lagi-lagi Ali harus menghela nafas saat ia harus melewati Gino CS. Dengan santai akhirnya Ali melewati mereka, namun tiba-tiba... Byurrrrrr..... Segelas jus jeruk tumpah membasahi kepala Ali. “Upsss... sorry bro, kirain tadi tempat sampah yang lewat,” ucap Gino tanpa dosa. Ali menatap tajam Gino dengan rahang yang mengeras. Tangannya ia kepal kuat-kuat untuk meredakan emosinya. Ingin sekali rasanya ia melayangkan kepalan tangannya ke wajah Gino saat ini. “Kenapa natap gue kayak gitu? Mau marah? Memang ini kafe lo? Mana? Gak ada tulisannya tu,” ucap Gino mengejek diikuti teman-temannya. “Wah nyolot mukanya, hajar aja. Udah gatal banget gue dari kemarin mau tonjok ni orang.” “Udah stop! Please jangan rusak ulang tahun gue,” ucap Salsa kesal. Akhirnya Gino pun kembali duduk menjauhi Ali dan Ali langsung bergegas menuju dapur. Jika tidak mengingat bahwa ia membutuhkan uang kerjanya malam ini mungkin ia sudah menghabisi Gino. Ia tidak mungkin membuat kekacauan yang akan membuat ia dipecat nantinya. Ali bersandar di lemari dapur. Dipejamkan matanya menetralkan emosinya. Namun sesaat kemudian ia tersenyum mengingat bagaimana wajah bahagia Sisi mendapatkan kalung pemberiannya nanti di hari ulang tahunnya. Tak apa ia harus menahan malu, membiarkan harga dirinya di injak-injak, asal ia bisa membahagiakan orang yang sudah membuatnya bahagia selama ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD