Chapter 3

1743 Words
Ali menghitung uang yang ia kumpulkan selama ini satu persatu. Senyumnya terukir lebar saat uang yang ia butuhkan sudah cukup bahkan sampai berlebih dua ratus ribu. Bayarannya menyanyi saat ulang tahun Salsa cukup besar, apalagi menurut cerita pemilik kafe Salsa menambahkan bayarannya sebagai permintaan maaf atas sikap Gino saat itu. Tentu saja hal itu makin mempermudah Ali untuk mencukupkan uangnya. Setelah menerima gajinya dalam minggu ini, uangnya sudah benar-benar cukup bahkan berlebih. Ali memasukkan uang itu ke tasnya kemudian langsung bergegas untuk menjemput Sisi menuju sekolah. Ali berencana untuk kembali mendatangi toko perhiasan itu saat pulang sekolah nanti. Sebelum keluar dari kamar kosnya, Ali melirik tanggal di kalendernya. Tanggal hari ini yang sudah lama ia bulatkan sebagai pertanda bahwa hari ini adalah hari ulang tahun gadisnya. Ali tersenyum kecil, berharap semua rencananya berjalan dengan lancar. *** Ali dan Sisi berjalan melewati koridor sekolah menuju kelas mereka, seperti biasa Ali akan mengantarkan Sisi dulu ke kelasnya, barulah ia akan ke kelasnya pula. “Si,” panggil Ali saat Sisi sudah akan masuk ke kelasnya. “Iya?” “Ntar malam pulang dari tokonya agak cepat ya, aku mau ngajak kamu jalan,” ucap Ali. “Kemana?” “Ada deh, pokoknya dandan yang cantik,” pesan Ali. Sisi tersenyum kemudian mengacungkan jempolnya pertanda setuju. Tangan Ali terulur mengelus lembut rambut Sisi kemudian berlalu pergi menuju kelasnya karena sebentar lagi bel masuk akan berbunyi. Saat Ali sedang berjalan, tiba-tiba ia harus merintih karena bola basket yang mengenai lengannya. Ali mengambil bola basket itu, matanya mengedar mencari siapa yang sudah melempar bola itu padanya. Ali berdecap kesal saat mendapati Gino CS yang sedang tertawa remeh dari kejauhan menatapnya dengan sinis. Ini pasti kerjaan mereka. Kenapa merasa selalu saja membuat masalah? Karena masalah bangku di kantin saat itu, sepertinya Gino memiliki dendam tersendiri dengannya. Tak ingin meladeni Gino CS, Ali membawa bola basket itu menuju lapangan basket, kemudian memasukkan bola itu ke dalam gawang. Shoot! Hanya dengan sekali lemparan, bola itu masuk dengan begitu mulus ke dalam ring. Gino yang sedari tadi memperhatikan Ali dari kejauhan menatap tak suka. Dengan cepat ia dan teman-temannya menghampiri Ali. “Eh, ngapain lo mainin bola gue?” “Bola lo? Mana? Gak ada tulisannya,” ucap Ali mengulang kata-katanya saat itu. “Lo makin lama makin ngeselin ya. Kayaknya harus dikasih pelajaran ni, oh atau sekalian cewek lo juga.” Gino tampak tersenyum miring. “Jangan bawa-bawa cewek gue,” ucap Ali tegas sembari mendorong bahu Gino cukup keras. Ali sangat tidak suka Gino membawa-bawa Sisi dalam urusan mereka. “Weisss santai dong, gak usah pakai dorong-dorong. Lo pikir gue gak bisa.” Gino mencengkeram kerah seragam Ali saat emosinya mulai tersulut. Teman-teman Gino sudah mulai bersiap untuk membantu Gino melawan Ali. Beberapa murid tampak mengamati adegan perkelahian di tengah lapangan itu. “Gino!” Terpaksa Gino menghempaskan cengkeramannya pada Ali saat pak Dito, guru BK mereka. “Kalian gak dengar apa kalau bel masuk udah masuk? Cepat masuk kelas sana,” ucap pak Dito. Ali melirik tajam pada Gino begitupun sebaliknya. Dibetulkannya kerahnya kasar kemudian berlalu dari hadapan Gino dan teman-temannya serta pak Dito. Ali merasa benar-benar kesal dengan sekumpulan orang-orang yang menganggap dirinya terkenal itu. Mereka pikir, karena mereka dikenal banyak orang, mereka bisa melakukan apa pun semaunya? *** Ali menyeka peluhnya yang tidak berhenti menetes. Kakinya terasa cukup lelah mendorong motornya. Tadi saat hendak mengambil motornya di parkiran, tiba-tiba saja Ali melihat ban motornya bocor. Padahal tadi saat pergi sekolah bannya baik-baik saja. Ali yakin ini adalah kerjaan Gino CS. Ali sepertinya harus perbanyak bersabar dan bersiap untuk menerima hal-hal buruk yang akan terjadi padanya karena ulah Gino. Tidak ingin Sisi ikut susah, Ali meminta Sisi untuk pulang terlebih dahulu dengan alasan ia baru teringat harus menemui salah seorang guru untuk membicarakan tugas. Karena jika ia memberi tahu bahwa bannya bocor, Sisi pasti akan bersikeras untuk membantunya mendorong motor itu. Belum lagi bengkel lumayan jauh dari sekolah mereka. Meskipun awalnya sempat menolak dan ingin menunggu Ali hingga urusannya selesai, akhirnya Sisi pun mau pulang sendiri menggunakan angkot atas paksaan Ali. Entah s**l atau bagaimana, rasanya Ali sudah terlalu jauh mencari bengkel namun belum juga ketemu. Meskipun ada bengkel, namun bengkelnya tutup. Bahkan sampai jauhnya berjalan, Ali sudah sampai di toko perhiasan yang ia tuju. Beruntung tidak jauh dari toko perhiasan itu ada bengkel yang sedang buka. Ali mengantarkan motornya terlebih dahulu, barulah ia menuju toko perhiasan itu. Beruntung kalung yang ia inginkan itu masih disimpan oleh pemilik toko. Ali tersenyum bahagia melihat kalung yang ia inginkan untuk Sisi kini sudah berada di tangannya. Sembari menunggu motornya diperbaiki, Ali memperhatikan kalung itu dengan saksama. Jika ibunya masih ada, pasti ia akan membelikan kalung ini 2, satu untuk Sisi dan satu lagi untuknya. Dan tentunya jika ibu Ali masih ada ia tidak akan sesusah ini untuk mendapatkan kalung seperti itu. Tapi bagi Ali cukup menyenangkan mencari uang, karena ia bisa menjadi seseorang yang lebih mandiri. Ali berharap Sisi akan suka dengan kalung yang ia belikan ini. *** Ali mengetuk pintu rumah Sisi. Sembari menunggu pintu itu terbuka, Ali memperhatikan penampilannya. Ia membenarkan kemeja hitam polos miliknya. Tak lama pintu rumah Sisi pun terbuka. Ali sempat terpaku melihat Sisi yang terlihat begitu cantik dengan dress selutut berwarna biru pastel. Sebenarnya Sisi selalu cantik di matanya. Bahkan saat Sisi hanya menggunakan baju biasa dengan celemek di dapur toko rotinya ia terlihat tetap cantik, namun malam ini karena sedang berdandan, ia terlihat makin cantik. “Kamu cantik banget,” puji Ali. “Makasih, kamu juga ganteng banget malam ini.” “Ya udah yuk,” ajak Ali menggandeng tangan Sisi. “Eh bentar, rambut kamu rada berantakan.” Sisi menahan tangan Ali kemudian membenarkan rambut Ali yang sedikit berantakan. Ali tersenyum melihat perhatian kecil yang diberikan Sisi namun selalu mampu membuat ia senang. “Ya udah yuk,” ajak Sisi pula setelah selesai membenarkan rambut Ali. Ali menggandeng tangan Sisi menuju sebuah mobil yang sedari tadi terparkir di depan rumah Sisi. Sisi menautkan alisnya heran, sejak kapan Ali memiliki mobil? “Ini mobil kamu?” “Bukan, mobil bos aku. Aku dipinjami,” jawab Ali. “Dipinjami?” Tanya Sisi meyakinkan. “Enggak juga sih, gaji aku dipotong sehari buat sewa mobil ini.” “Ali, kamu gak seharusnya kayak gini. Kitakan bisa pakai motor kamu,” ucap Sisi merasa tidak enak. Sisi sangat tahu bagaimana keadaan Ali. Ia tidak ingin menyusahkan Ali. “Pacar aku udah cantik gini masa dibawa pakai motor. Udahlah Sayang, gak papa kok, yuk.” Ali membukakan pintu untuk Sisi. Dengan berat hati akhirnya Sisi masuk juga ke dalam mobil. Ali pun segera bergegas memasuki mobil dan melajukan mobil itu ke tempat tujuannya. Selama di perjalanan mereka saling bercerita, terlebih lagi Sisi. Sisi bercerita aktivitasnya hari ini di toko roti saat sponge cake buatannya banyak disukai pelanggan. Sementara Ali hanya menjadi pendengar yang baik. Jika Ali ikut bercerita tentang aktivitasnya hari ini tentu saja ia akan menceritakan tentang kejadian ia mendorong motor saat pulang sekolah. Itu pasti akan membuat Sisi khawatir. Setelah beberapa saat, akhirnya mereka sampai juga. Ternyata Ali mengajak Sisi untuk ke kafe tempat Ali bekerja. Ali sudah menyiapkan satu meja untuk mereka berdua. “Gak papa kan kamu aku ajak ke tempat aku kerja?” Tanya Ali sebelum keluar dari mobil. “Ya gak papa lah. Tapi kamu gak seharusnya nyiapin ini semua buat aku,” ucap Sisi lembut. “Cuma sekali doang kan, izinin malam ini aku bahagiain kamu dengan kesederhanaan aku,” ucap Ali tulus. Sisi tersenyum lembut mendengar ucapan Ali. Akhirnya Sisi mengangguk. Ali dan Sisi pun keluar dari mobil dan memasuki kafe. Ali membawa Sisi ke meja yang berada disudut kafe. Sisi tersenyum melihat meja itu yang terlihat sudah siap dengan makanan, sebuah kue ulang tahun kecil dan lilin-lilin yang bertebaran disana. “Kamu suka?” tanya Ali saat mereka sudah mengambil posisi duduknya masing-masing. “Sukaaaaa...” balas Sisi antusias. Ali tersenyum lembut kemudian menggenggam kedua tangan Sisi di atas meja. “Happy birthday ya Sayang. Maaf cuma bisa kasih kayak gini. Gak ada makan malam di tempat yang mewah, gak ada banyak bunga mawar merah yang melambangkan cinta, dan gak ada kue ulang tahun yang besar. Semoga kamu bahagia karena itulah tujuan aku,” ucap Ali tulus. Sisi menatap Ali dengan mata yang berkaca-kaca, hingga tanpa sadar air matanya jatuh. Sisi tidak menyangka bahwa Ali akan melakukan ini untuknya. “Kamu udah berhasil mencapai tujuan kamu, karena aku sangat bahagia. Makasih ya Sayang,” ucap Sisi. “Oh iya, aku punya sesuatu buat kamu.” “Apa?” “Kamu tutup mata dulu.” Sisi mengangguk setuju kemudian menutup kedua matanya. Saat memastikan bahwa kedua mata Sisi benar-benar tertutup, Ali bangkit dari duduknya kemudian berdiri di belakang Sisi. Ia mengeluarkan kalung yang ia simpan di saku celananya. Ali memakaikan kalung itu pada Sisi. Ali tersenyum puas saat kalung itu ternyata benar-benar bertambah indah jika dipakai oleh Sisi. Sisi membuka matanya saat Ali sudah selesai memakai kalung untuknya. Mata Sisi tampak berbinar melihat kalung itu. “Ali, ini buat aku?” Tanya Sisi tidak percaya. “Iya, kamu suka?” “Suka banget, tapi ini pasti mahal. Kenapa sih gak kasih kado yang biasa-biasa aja?” “Gak mahal kok, besok kalau aku udah banyak uang, aku bakal ganti kalung itu sama yang lebih bagus ya,” ucap Ali. “Ini aja udah cukup kok, makasih ya Sayang.” “Kamu tau gak kenapa aku kasih kamu kalung?” Tanya Ali. Sisi menggeleng sebagai jawaban. “Saat kamu pakai kalung itu, kalung itulah yang akan paling dekat sama hati kamu. Aku mau walaupun aku gak ada di dekat kamu, tapi ada kalung itu yang selalu ada sebagai pengganti aku. Jaga baik-baik ya,” pesan Ali. “Pasti, aku bakal jaga dan pakai pakai kalung ini selalu. Tapi sebenarnya aku udah siapin permintaan sebagai kado ulang tahun aku,” ucap Sisi. “Apa? Kamu bilang aja. Nanti aku bakal beliin yang lainnya.”  “Aku mau kamu baikan sama papa kamu.” Ali terdiam sejenak mendengar permintaan Sisi. Permintaan yang cukup sulit. “Aku gak tega lihat kamu kayak gini terus, please,” mohon Sisi. “Bakal aku coba ya,” balas Ali akhirnya. Sisi tersenyum bahagia, setidaknya Ali akan mencoba. “Ya udah sekarang kita makan ya.” Sisi kembali mengangguk. Malam ini dengan segala kesederhanaannya mereka tampak begitu bahagia, terlebih lagi Sisi. Ali tidak henti-hentinya membuat Sisi tertawa dengan segala candaannya. Sisi benar-benar bahagia memiliki Ali di hidupnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD