Chapter 4

1217 Words
“Nanti pulang sekolah mampir ke toko buku dulu ya. Bulan ini aku mau bawain mereka buku,” Sisi berucap sembari memakai helm miliknya. Pagi ini sama seperti pagi-pagi sebelumnya, gadis itu selalu terlihat bersemangat. Ali yang sedari tadi menunggu Sisi keluar dari rumahnya, ikut memasang helm miliknya pula. “Oh iya, maaf ya aku cuma segini. Bulan ini cuma bisa sisain segitu, semoga cukup deh buat beliin makanan untuk mereka.” Ali mengeluarkan gulungan uang di dalam saku seragam sekolahnya kemudian memberikannya pada Sisi. “Ali, aku kan udah sering bilang, kamu gak perlu kasih mereka apa-apa. Kamu datang dan ngajarin mereka musik atau main basket aja mereka udah senang kok. Kamu simpan aja ya uangnya, lagian aku tahu kamu bulan ini pasti kekurangan uang gara-gara beliin aku kado dan siapin kejutan ulang tahun aku waktu itu, maaf ya.” SIsi tampak menyesal, ia sangat paham bagaimana keadaan Ali saat ini. Sebenarnya sudah berulang kali Sisi melarang Ali untuk ikut menyumbang memberikan sesuatu kepada anak panti asuhan yang setiap bulan rutin didatangi Sisi. Namun Ali selalu saja memaksakan diri, entah itu banyak atau sedikit, bagi Ali ia harus tetap berbagi. “Mereka bikin kamu bahagia, jadi apa pun yang bikin kamu bahagia harus aku bahagiakan juga.” Ali tersenyum manis dengan sebelah matanya mengedip menggoda Sisi. Sisi tertawa geli, tangannya mencubit pelan lengan Ali. Selalu saja kalah jika berdebat dengan Ali. Sisi pun akhirnya menaiki motor Ali untuk pergi ke sekolah. Di perjalanan mereka saling bercanda seperti biasanya. Terkadang Ali mengomentari pengguna jalan yang lewat di hadapannya. Terdengar begitu lucu hingga mampu membuat Sisi tertawa. Mereka selalu sukses bahagia dengan kesederhanaannya.  *** “Ayo turun...” untuk ke sekian kalinya Sisi mengucapkan kata-kata itu. Namun hanya gelengan kecil yang Ali berikan. Tumben sekali saat sampai di Panti Asuhan Kasih Bunda Ali tidak ingin masuk dan hanya duduk di atas motornya. “Kamu kenapa sih? Aneh banget, tadi juga gak jemput aku ke kelas malah nunggu di parkiran aja. Kamu kenapa?” Tanya Sisi lagi. Ali tampak menghembuskan nafasnya kasar. Sepertinya ia harus menceritakannya pada Sisi. “Tadi aku ngelempar bola basket yang dimainin sama Gino CS keluar pagar sekolah karena mereka sengaja lempar ke aku. Waktu mereka nyuruh ngambil, aku gak mau. Akhirnya mereka balas dendam dan letakin lem di kursi aku dan bikin celana aku sobek. Jadi mending sekarang kamu masuk, sampaikan salam aku ke semuanya.” Sisi menahan tawanya mendengar cerita Ali. Ternyata kekasihnya itu tidak ingin turun bahkan tidak tampak berdiri sedari tadi karena celananya sobek. “Kalau mau ketawa, ketawa aja,” nada Ali terdengar kesal. Kali ini sukses membuat tawa Sisi pecah. “Ali... Ali... makanya kan aku udah sering bilang, jangan cari masalah sama mereka. Kamu sih gak pernah dengerin, ngalah sedikit Sayang buat kebaikan kita.” Sisi mengelus pipi Ali memberi pengertian. Ia sangat paham betul bagaimana sikap keras Ali. “Buat apa sih ngalah? Orang-orang kayak mereka harus dilawan. Awas aja, akan ada masanya dimana mereka yang harus ikuti kata-kata aku,” ucap Ali penuh tekat. Sisi hanya mampu menggeleng. Gadis itu melepaskan jaket milik Ali membuat Ali terlihat bingung. “Pakai ini dong buat nutupinya.” “Oh iya, kok gak kepikiran ya.” Ali menepuk dahinya saat baru teringat. Ia merasa benar-benar bodoh sekarang. “Ya iya lah gak kepikiran, kamu kan kalau lagi emosi suka gak jelas,” ledek Sisi kemudian berlalu dari hadapan Ali memasuki panti. Ali terkekeh mendengar ledekan yang ditujukan untuknya, memang benar adanya. *** Ali dan Sisi sama-sama tersenyum melihat para anak-anak panti tampak begitu antusias memilih buku cerita yang Sisi bawakan untuk dibaca. Beberapa anak juga tampak melahap makanan yang mereka bawa juga. Sisi selalu suka melihat pemandangan seperti ini. Semenjak beberapa tahun yang lalu, Sisi rutin mendatangi panti ini setiap bulan jika tidak sibuk, namun jika sedang sangat sibuk ia akan mendatanginya tiga bulan sekali. Semenjak berpacaran dengan Sisi, mendatangi panti ini juga menjadi agenda rutin bagi Ali. “Aku bahagia banget saat melihat mereka bahagia. Meskipun sebenarnya nasib aku gak jauh berbeda dari mereka, tapi aku merasa bersyukur karena aku masih bisa sekolah, punya toko roti, bisa hidup cukup meskipun gak kaya-kaya banget,” ucap Sisi diiringi dengan kekehannya. “Li, kamu tahu gak kenapa aku sering banget minta kamu baikkan sama papa kamu?” Gadis itu kini beralih menatap Ali. Ali menggeleng kecil sebagai jawaban. “Aku mau kamu bisa rasain lagi kehadiran sosok ayah di hidup kamu, gak kayak kami. Harusnya kamu bersyukur masih punya ayah. Sementara kami? Kami udah gak punya siapa-siapa lagi. Kamu gak seharusnya merasakan apa yang kamu rasakan sekarang karena kamu masih bisa bahagia sama ayah kamu.” Ali tertegun melihat mata gadis itu berkaca-kaca di setiap ucapannya. Betapa beruntungnya ia memiliki kekasih yang selalu memikirkan keadaannya. “Heiii siapa yang bilang kamu udah gak punya siapa-siapa.” Ali menangkup pipi gembil gadis itu bahkan terkesan menjepitnya hingga membuat pipi itu terlihat lebih chubby. “Aku bisa jadi ibu yang selalu masakin kamu, aku bisa jadi ayah yang selalu mengawasi kamu, dan aku bisa jadi pacar yang selalu ngejagain dan bahagiain kamu. Aku bisa jadi apa aja buat kamu. Jangan pernah berpikir kalau kamu sendirian.” Sisi tersenyum mendengar penuturan tulus dari Ali. Ya, Ali bisa jadi apa saja untuknya. “Ya, dan sebagai ibu, masakan terakhir yang kamu masakin buat aku adalah nasi goreng manis.” Tawa mereka sama-sama pecah mengingat saat Ali membuatkan nasi goreng yang super manis karena Ali bukannya menambahkan garam, malah menambahkan gula yang cukup banyak ke dalam nasi gorengnya untuk Sisi. “Pulang dari sini, temui papa kamu ya. Bicarain baik-baik.” “Iya Bawel! Habis dari sini aku langsung ke rumah papa.” Ali memeluk Sisi erat membuat gadis itu tersenyum senang. “Kak Ali...” Ali dan Sisi melepaskan pelukannya saat ada yang tiba-tiba datang. Mereka sama-sama salah tingkah apalagi saat mendapat senyum menggoda dari anak itu. “Kenapa Dion?” Tanya Ali mengalihkan perhatiannya. “Dengar lagu yang baru aku bikin yuk, lagu yang akan aku tampilin buat acara ulang tahun panti ini dua bulan lagi,” ajak Dion. “Ayuk.” “Aku gak diajak nih?” Tanya Sisi. “Kak Sisi dengarnya waktu acara aja nanti, ayuk kak.” Dion langsung menarik tangan Ali untuk mengikutinya. Sisi menggeleng pelan sembari tersenyum melihatnya. *** Sisi berdiri dengan gelisah di depan rumahnya. Sudah hampir pukul 7 namun Ali tidak kunjung datang. Biasanya ia sudah menunggunya di depan rumah Sisi. Berbagai macam pikiran baik maupun buruk berputar-putar di kepala Sisi. Namun dengan cepat ia tepis pikiran buruknya, mungkin saja tadi malam Ali kerja lembur di kafe kemudian ia telat bangun hingga telat menjemput Sisi. Namun bagaimana jika terjadi sesuatu yang buruk pada Ali di jalan? Dengan cepat Sisi menggeleng menepis pikiran itu. Saat Sisi sedang bergulat dengan pikirannya, tiba-tiba sebuah mobil mewah berwarna merah mengkilap berhenti tepat di depan rumahnya. Sisi menyipitkan matanya bingung, menerka siapa yang ada di dalam mobil Ferrari F12 Berlinetta yang tampak masih baru itu. Sesaat kemudian Sisi membulatkan matanya melihat Ali lah yang keluar dari mobil itu. “Pagi Sayang.” Sisi yang masih dalam keterkejutannya hanya diam saat Ali menyapanya. Ali tersenyum gemas melihat keterkejutan kekasihnya itu. “Yuk berangkat.” “A..Ali.. i... ini..” Ali tidak memedulikan pertanyaan Sisi dan langsung menggandeng kekasihnya itu memasuki mobil.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD