2. Menjadi lebih dekat

1570 Words
    Aku berdiri di depan lobi kantorku menunggu Sandi datang menjemputku. Hari ini adalah hari Sabtu. Seperti biasa setiap hari Sabtu aku hanya bekerja sampai jam 2 siang. Begitu juga dengan Sandi. Jadi dia selalu mengajakku ngedate sepulang kantor. Kadang-kadang kami pergi nonton ke bioskop atau hanya sekedar ngobrol santai di kosannya. Sambil menjinjing tas merah mudaku, aku menoleh ke arah gerbang masuk. Kulihat dari kejauhan Sandi datang mengendarai motor matic-nya. Saat sampai dihadapanku, sandi langsung membuka jaketnya dan menyodorkannya padaku.     “Panas banget di jalan. Kamu pakai jaketku ya!” perintahnya membuatku tersipu malu. Sandi sungguh sangat perhatian terhadapku. Kuambil jaket yang diberikan Sandi lalu memakainya. Kemudian aku menaiki motornya. Duduk dibelakangnya sambil sedikit mencondongkan badanku memeluknya dari belakang. Kami pun langsung pergi meninggalkan gedung kantorku. Sedari tadi Sandi hanya terdiam fokus mengendarai motornya. Tak berucap sepatah kata pun. Sepertinya aku harus lebh dahulu memulai pembicaraan.     “Yang, kamu punya akun f******k gak?” tanyaku pada Sandi memulai pembicaraan.     “………” masih tak terdengar sepatah kata dari mulut Sandi. Masih saja dia fokus memandangi jalan aspal yang lurus di depannya.     “Sayang? Kok diam? Kamu punya akun f******k gak?” tanyaku kembali.     “Ada” jawabnya sungguh singkat entah karena fokus atau karena hal lainnya.     “Hmm punya teman chatting di Messengernya juga?” tanyaku mulai mencari tahu karena aku mulai penasaran padanya. Aku berharap Sandi menjawab tidak mempunyai teman chatting di Messenger.     “Paling teman-temanku aja. Emangnya kenapa?” jawaban Sandi membuatku merasa sedikit lega. Tersungging sedikit senyum di wajahku. Setidaknya dia tidak mempunyai teman chatting selain teman-temannya.     “Gak apa-apa kok aku cuma nanya aja”     “Oh yasudah kalau gitu”     Selama ini Sandi mengetahui jika aku tidak mempunyai akun f******k. Dia tahu jika diriku ini tidak terlalu kekinian seperti anak muda lainnya. Aku ingin coba memberitahunya jika aku sudah membuat akun f******k. Aku ingin melihat bagaimana reaksinya mengetahui hal tersebut.     “Yang, aku sudah bikin akun f******k”     “Hah? Sejak kapan?” reaksinya sedikit terkejut saat kubilang aku memiliki akun f******k.     “Baru kemarin sih, soalnya Arista bawel nyuruh aku bikin akun f******k terus. Yasudah aku iseng coba bikin aja”     “Terus karena Arista yang nyuruh jadi kamu turutin? Kenapa kamu gak nanya aku dulu?” terdengar ada sedikit perasaan kesal dari ucapan Sandi barusan. Apa memang seharusnya aku bertanya padanya dahulu ya?     “Yaa aku nyoba bikin aja sih, pengen tahu aja Yang”     “Kamu gak usah ikutin kata Arista deh buat bikin akun, apalagi kalo sampai ada yang chat kamu di Messenger. Kamu gak usah buka-buka lagi deh ya” sahut Sandi dengan sikap yang tak biasa, sikap yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Aku hanya mengangguk dan tersenyum masam. Aku memilih untuk tak banyak bicara dan menghindari perdebatan dengannya.     Aku kembali ke rumah pada malam harinya. Aku ingin sedikit bersantai di kamarku sambil menikmati milkshake cokelat yang aku beli di perjalanan pulang. Aku duduk di lantai dengan bersandar di pinggir ranjang. Lalu terdengar suara notifikasi Messenger di ponselku. Lagi-lagi orang yang sama yang mengirimiku pesan. Ankit Anki Salam What are you doing?     Aku berfikir sejenak harus membalas pesan darinya atau aku abaikan saja. Tak lama kemudian jemariku langsung berkejaran di layar ponsel mengetikkan balasan untuknya.             Me             Do nothing Ankit Anki Is Aisyah your real name?             Me             Yes Ankit Anki Your name is so beautiful Beautiful? Kalimat tersebut berhasil membuatku tersipu malu. Mungkin kini pipiku sudah berwarna kemerahan karena malu. Dia bilang namaku sangat cantik, bahkan Sandi saja tak pernah memuji namaku.             Me             Thank you     Pada malam itu aku dan Usman, nama asli dari Ankit Anki, saling berbalas pesan. Aku mulai merasa sedikit akrab dengannya. Padahal sebelumnya aku sangat malas menanggapinya. Mungkin karena dia memujiku mengatakan namaku sangat cantik. Perempuan mana yang tidak tersihir jika namanya dipuji.     Usman kembali menanyakan nomor WhatsAppku, dan kali ini tanpa perlu berpikir panjang aku langsung memberikannya. Sepertinya dia orang baik. Mungkin tak apa bila berteman dengannya. Lagipula ini hanya di dunia maya dan aku tidak akan mungkin bisa bertemu dengannya.     Kami saling berbalas pesan hingga larut. Tanpa sadar aku sudah memejamkan mataku sambil tetap menggenggam ponsel di tanganku. Aku benar-benar kecanduan kali ini. Pantas saja Arista tak bisa lepas dari ponselnya dan senyum-senyum sendiri, aku pun kini seperti itu.     Matahari pagi sudah terbit. Mama sudah sibuk mondar-mandir untuk menyapu, merapihkan ruang tamu, dan juga mengetuk pintu kamarku. Ketukan pintu tersebut membuatku terbangun dari tidurku. Aku menggeliat perlahan kemudian melihat jam di ponselku.     “Ya ampun udah jam sembilan lewat, hampir jam sepuluh ini sih. Aku kan ada janji sama Arista. Duuhh telat deh!” segera aku bangkit dari ranjangku lalu mandi dengan tergesa-gesa. Secepat kilat aku berpakaian dan bergegas untuk pergi sampai-sampai aku meninggalkan sarapanku yang sudah disiapkan oleh mama di meja makan. Kulajukan mobilku sedikit lebih cepat untuk mengejar waktu. Untungnya tidak ada kemacetan di hari libur seperti sekarang ini. Sekitar  kurang lebih setengah jam aku pun tiba di depan rumah kosnya Arista. Kuparkirkan mobilku dan berlari menuju ke kamar kos Arista.     “Aisyaahh..!!” sambut Arista di depan pintu kamar kos nya melihat kedatanganku. Seperti biasa, bibirnya sedikit maju karena cemberut.     “Riiss.. sorry banget aku bangun kesiangan” aku merapatkan kedua telapak tanganku di depan wajahku meminta maaf.     “Ah alibi aja kamu Syah. Kamu mah kebiasaan kalau janjian sama aku pasti deh telat” kali ini tidak hanya bibirnya cemberut, namun dahinya juga ikut berkerut.     “Sorry yaa Ris, jangan manyun gitu dong Ris” aku masih saja mengusilinya, kupasang senyum lebar di wajahku dan mengedipkan satu mataku.     “Tuh malah ngeledekin aku tuh kamu Syah”     “Hehehe udah ah, yang penting udah datang ini!”     “Yaudah sini masuk, tungguin aku ganti baju sebentar terus baru deh kita jalan”     “Oke siaapp” kataku sambil berlagak memberi hormat pada Arista.     Kulangkahkan kakiku masuk ke kamar Arista. Aku duduk di pinggir tempat tidurnya sambil menunggunya yang sedang sibuk memilih baju di lemari. Kukeluarkan ponselku dari dalam tas. Ada pesan w******p dari Usman. Usman Good morning Dengan cepat aku segera membalas pesan darinya, begitu pun dengan Usman yang selalu merespon dengan cepat pesan dariku.             Me             Good morning Usman How are you?             Me             Fine, and you? Usman I also fine     “Kamu lagi ngapain Syah?” tanya Arista yang melihatku sedang asik dengan ponselku.     “Ada deehh” jawabku tetap sambil berkutik dengan ponselku.     “Hayoo lagi ngapain tuh?” tanyanya kembali dengan penasaran. Belum sempat menjawab pertanyaan Arista tiba-tiba saja ponselku berdering. Kulirik layar ponselku dan terlihat ada panggilan video dari Usman.     “Ris, aku ke atas dulu ya sebentar” pamitku pada Arista sambil sedikit berlari menaiki anak tangga yang berada di depan kamarnya.     Aku menerima panggilan video tersebut sesaat aku tiba di teras lantai 2. Aku harus menerima panggilan tersebut di lantai 2 untuk menghindari Arista. Aku tak ingin dia menjahiliku.     “Hallo?” sapaku saat melihat wajahnya muncul di layar ponselku. Untuk pertama kalinya aku melihat Usman selain dari foto yang dia kirim. Wajahnya yang tirus dihiasi oleh janggut tipis di sekitar dagu dan pipinya. Juga kumis tipis di bawah hidungnya. Dia memakai kacamata bulat besar. Sungguh tampan.     Usman tidak menjawab sapaanku, dia mendekatkan jari telunjuk ke bibirnya mengisyaratkan agar aku diam sejenak. Diletakkan ponselnya di suatu tempat disekitar ruangan tempat dia berada lalu dia berjalan agak menjauh dari ponselnya. Dia berdiri menghadap ke arah lain sambil merapikan rambutnya. Kini aku bisa melihatnya dengan jelas. Tubuhnya tinggi dan kurus. Ia mengenakan seragam kerja yang berbeda dari foto yang pernah dia kirimkan padaku. Kali ini dia mengenakan kemeja berwarna biru muda, sedangkan di foto sebelumnya dia mengenakan seragam bercorak army.     Aku tersenyum karena merasa sedikit lucu dengan sikapnya. Dia yang memulai panggilan video namun dia belum selesai merapihkan penampilannya. Setelah dia selesai merapihkan penampilannya, diambil kembali ponsel dari tempat sebelumnya lalu dia tersenyum ke arah ponselnya. Tersenyum padaku. Melihatnya tersenyum seperti ada getaran berbeda di hatiku. Ini hanya dari panggilan video tapi jantung ini berdegup kencang. Tidak, ini tidak boleh. Aku sudah punya kekasih dan ini tidak akan aku anggap serius.     “Good morning” dia menyapaku dengan tetap tercetak senyum di wajahnya.     “Yes, morning” aku membalas sapaannya.     “Where are you? Your home?”     “No, I’m at my friend’s place”     Sejenak dia hanya terdiam, kemudian tersenyum kembali padaku. Aku tak mengerti kenapa dia banyak tersenyum. Atau mungkin karena bahasa Inggrisku yang bisa dibilang berantakan. Aku tidak terbiasa berbicara menggunakan bahasa Inggris, karena memang teman-temanku semuanya orang Indonesia. Jadi tidak ada alasan aku harus menggunakan bahasa Inggris.     “Aisyah, I sent message to you” Usman mengirimi pesan padaku saat kami sedang berbicara melalui panggilan video. Aku dibuat terheran olehnya. Aku pun membuka pesan darinya lalu pesan tersebut kembali sukses membuatku tersipu. Usman Aisyah, you’re beautiful     Usman sepertinya benar-benar tahu bagaimana caranya mengambil hati seorang perempuan. Buktinya hanya dengan mengirimiku pesan seperti itu saja dia sudah mengambil hatiku yang awalnya enggan berurusan dengannya karena belum aku kenal.     “Aisyaahh..” teriak Arista memanggilku sekaligus membuyarkan kebahagiaan sesaatku. Arista sudah selesai mengganti pakaiannya dan juga sudah waktunya kami harus pergi. Aku mengakhiri percakapanku dengan Usman lalu menghampiri Arista yang berada di lantai 1. Arista menanyakan apa yang kulakukan di teras atas sana. Aku tak menjawabnya serius dan segera berjalan keluar menghindari pertanyaan lainnya dari Arista.     Aku masih senyum-senyum sendiri di dalam perjalanan kami dan membuat Arista bertanya-tanya. Arista yang duduk disampingku terus menatap wajahku seakan memintaku memberitahukan mengapa aku senyum-senyum sendiri. Namun Aku tak menggubrisnya, aku tetap melajukan mobilku menuju sebuah restaurant untuk makan siang.     Selesai makan siang, aku dan Arista menuju ke tempat selanjutnya. Kami menuju ke sebuah mal yang berada di sekitaran Casablanca. Arista ingin mencari ponsel baru untuk dia gunakan. Dia merasa ponselnya yang sekarang sudah lemot. Sesampainya kami di mal yang dituju, kami langsung mencari toko yang menjual berbagai ponsel, gadget dan accesories lainnya. Arista sibuk memilih-milih ponsel yang menurutnya bagus. Aku hanya duduk di kursi yang disediakan di pojokan toko sambil berkirim pesan dengan Usman.     Hari sudah malam saat aku sampai dirumahku setelah mengantar Arista terlebih dahulu kembali ke tempat kosnya. Aku sedang tidak punya banyak kerjaan yang menunggu jadi aku bisa langsung beristirahat. Hari ini kulalui dengan perasaan bahagia. Itu semua dikarenakan kehadiran Usman walau hanya di dunia maya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD