3. Aku yang bertanya-tanya

1958 Words
Bulan Ramadhan telah tiba. Itu artinya semua orang yang beragama Islam diwajibkan untuk berpuasa. Begitu juga dengan diriku. Setiap bulan Ramadhan jam kerja di kantorku akan dikurangi, maka aku dan karyawan lainnya bisa pulang lebih cepat dari biasanya. Sesekali aku akan menunggu waktu berbuka puasa bersama kekasihku, Sandi. Seperti sekarang ini, aku berada di tempat kos Sandi untuk berbuka puasa bersama. “Sayang, lebaran nanti kamu pulang kampung gak?” tanyaku pada Sandi yang sedang sibuk bermain game online. “Yang? Puasa juga baru 3 hari udah nanyain lebaran aja sih” jawabnya sambil tetap fokus dengan game onlinenya. “Iihh serius Yang, kalau kamu gak pulang kampung nanti aku juga gak ikut Papa pulang kampung” “Kamu maunya aku pulang apa enggak?” Sandi menengok ke arahku sambil mengangkat alisnya dan tersenyum jahil ke arahku. “Serius ahh Yang! Kamu di Jakarta itu kan merantau, gak ada sanak saudara, jadi kalau kamu gak pulang ya aku disini aja nemenin kamu” “Ehmm lihat nanti deh aku dapat libur lebarannya berapa hari” “Emang biasanya berapa hari?” “Biasanya sih seminggu, cuma kan sekarang udah ganti bos jadi belum bisa dipastiin” “Ohh gitu, yasudah jangan lupa infoin ke aku ya” “Iyaa sayang” jawabnya lembut sambil mengelus rambutku. Sandi sebenarnya orangnya tegas. Galak lebih tepatnya. Apalagi jika sedang mengenakan pakaian ngantornya, terlihat gagah di tubuhnya yang tinggi dan tegap. Juga menambah kesan galak di dirinya. Tapi dia selalu bersikap lembut padaku. Teman-temannya saja sampai kebingungan kenapa Sandi bersikap luluh didepanku. Langit sudah mulai gelap. Sudah dekat waktunya untuk berbuka puasa. Aku sedang asik mengotak-atik ponselku lalu terdengar suara ponsel Sandi yang berdering kencang. Tilililit... tilililit... Sandi sedang keluar membeli takjil untuk berbuka. Hanya ada diriku sendiri yang sedang duduk di kursi teras depan kamar kosnya. Muncul rasa penasaran di dalam diriku karena suara ponsel Sandi terus berdering berkali-kali. Akhirnya kulirik layar ponselnya dan kulihat seseorang bernama Ria yang meneleponnya. Ria? Siapa Ria? Aku tak pernah tahu jika Sandi punya teman bernama Ria. Panggilannya kuterima atau tidak ya? Aku berpikir keras hingga deringan di ponsel sandi pun berakhir. Lalu Sandi membuatku terkejut dengan tiba-tiba muncul di hadapanku sambil membawa beberapa kantong plastik di tangannya yang berisi makanan dan minuman untuk berbuka nanti. “Kamu kenapa sampe kaget gitu? Kamu lagi bengong Yang?” tanya Sandi padaku. “Ehh ehmm enggak kok” jawabku sedikit kikuk. “Yakin?” Sandi menatapku dan mengerutkan dahinya. “Ehmm itu tadi ada telepon dari Ria” “Terus kamu angkat?” reaksinya agak terkejut lalu tangannya dengan cepat meraih ponselnya yang diletakkan disampingku. “Enggak, belum sempat aku angkat” “Lain kali kalau ada telepon dari temanku gak usah diangkat ya! Didiamkan saja” aku pun hanya tersenyum masan dan mengangguk pelan. Tak ingin aku menaruh curiga padanya. Mungkin memang hanya teman. Ya, hanya teman.   ***   Hari ini semua orang sedang sibuk di depan komputernya masing-masing. Seharusnya aku juga, namun aku sedikit kehilangan semangatku. Mungkin karena sedang berpuasa dan membuatku merasanya sedikit malas. Salah satu rekan kerjaku datang menghampiri dan menepuk bahuku. “Syah, kamu bukannya ada presentasi besok siang? Kok kamu nyantai banget?” “Iya nih Boy, pusing aku bikin materi isinya angka semua, mana total proyeknya em-em-an. Makin mumet gak tuh angkanya makin banyak” jawabku pada Boy, rekan kerjaku, sambil memutar-mutar kursiku ke kanan dan kiri. “Hahaha coba itu yang em-em-an duit di rekening kita ya Syah. Dijamin gak bakal mumet” “Nah kalau itu aku mau Boy, hahaha” seketika pecah tawaku dan Boy. Pekerjaan kami bisa dibilang nyantai-nyantai ribet. Kalau sedang tidak ada proyek maka kami seperti makan gaji buta, tidak mengerjakan apapun. Namun jika sudah ada jadwal untuk pengajuan proyek, jangan harap kami bisa pulang jam 5 teng. Belum lagi kami harus sangat teliti dalam membuat laporannya karena menyangkut uang yang jumlahnya sangat banyak, kurang 1 nol saja di laporan maka bisa sangat merugikan perusahaan. Sebentar lagi sudah waktunya untuk berbuka puasa. Boy berinisiatif untuk mengajakku dan juga Arista untuk pergi mencari tempat untuk berbuka puasa. Boy takut jika semakin sore kita pergi maka kita tidak akan mendapat tempat duduk. “Udah mau buka puasa nih Syah, cari tempat buat buka yuk! Ajak si Arista juga. Aku yang traktir deh!” “Siap booss!” jawabku lantang sembari memberi hormat padanya. Langsung setelah itu aku beranjak dari kursiku menuju meja kerja Arista. “Come on Ris kita jalan cari bukaan! Ditraktir sama bos” kunaikkan alis dan melirik ke arah Boy yang sudah berjalan menuju pintu untuk keluar ruangan. “Asiikk ditraktiiirr.. Ayo ayo ayo!” Arista juga dengan semangat menjawab dan bangkit dari kursinya. Aku dan Arista menyusul Boy yang sudah keluar ruangan terlebih dahulu. Kami bertiga berbincang sebentar di meja resepsionis dan kemudian pergi ke tempat yang biasa kami datangi. Hanya butuh waktu tak sampai sepuluh menit kami bertiga sudah sampai di rumah steak yang letaknya tidak jauh dari kantor. Tempatnya terbilang sangat nyaman dan cocok untuk anak muda. Interiornya unik, bergaya ala tempat berkumpulnya para koboy. Para pelayannya pun memakai rompi serta topi koboy. Kami bertiga diarahkan duduk di meja yang terletak agak pojok samping jendela. Kami memesan menu yang sama, 3 Vanilla Latte dan 3  Beef Sirloin Steak. Menu tersebut adalah menu favorit kami bertiga di tempat ini. Sembari menunggu pesanan datang, aku membuka akun Facebookku. Kulihat-lihat yang ada di halaman akun f******k tersebut. Ku scroll ke bawah perlahan. Tenganku terhenti pada satu saran pertemanan. Sandi Kurniawan. Betul juga, semenjak membuat akun f******k aku belum mengiriminya permintaan pertemanan. Itu juga karena dia tidak suka jika aku mempunyai akun f******k. Tiba-tiba rasa keingin tahuanku muncul dan membuat jempolku membuka profil Sandi. Mataku terbelalak melihat sesuatu yang tertulis disana. Status : Berpacaran dengan Ria Sundari Apa? Ria? Berpacaran? Lanjut aku men-scroll kebawah dan aku menemukan foto Sandi sedang merangkul Ria dari samping. Dia juga banyak memposting tulisan-tulisan tentang perasaannya yang sedang jatuh cinta. Suhu tubuhku mendadak meningkat. Dadaku pun ikut terasa sesak. Apa mungkin Sandi membohongiku? Selesai berbuka puasa, Kami kembali melanjutkan aktifitas kami di kantor. Kami harus bekerja lembur karena sudah dikejar deadline. Belum lagi aku juga harus menyelesaikan materi untuk presentasi besok. Tapi pikiran ini tak bisa fokus mengingat apa yang sudah aku lihat di profil f******k Sandi. Aku masih bertanya-tanya apakah yang tertulis disana itu benar. Aku tidak berani menanyakannya langsung pada Sandi. Duuhh.. Fokus! Fokus! Disaat aku sedang sibuk memfokuskan pikiranku terdengar suara notifikasi w******p di ponselku. Usman : Salam What are you doing? Usman kini selalu mengirimiku pesan hampir setiap hari, walau terkadang hanya untuk menanyakan kabar saja. Kubalas pesannya dan menceritakan tentang apa yang kualami hari ini. Entah sejak kapan Usman sudah menjadi tempat curhatku. Setidaknya resah di hati ini sedikit berkurang. Setelah menceritakan tentang hal yang mengganggu pikiranku, Usman mengetikkan kata-kata untuk menenangkan hatiku. Usman : Don’t worry, I’m with you dear Kata-kata tersebut sukses membuat hatiku menjadi tenang. Padahal hanya kata-kata yang singkat seperti itu tapi aku benar merasa tidak sendirian dalam menghadapi masalahku.  Usman, aku tidak benar-benar mengenalmu tapi kamu memang selalu ada disaat keresahan melanda hatiku. Kamu juga bisa menenangkan hatiku. Mungkin karena kami tidak bertemu secara langsung dan hanya berkomunikasi melalui pesan dan telepon jadi aku merasa sedikit nyaman dengannya dan terbuka dalam segala hal. Akan tetapi aku sudah punya kekasih, aku tak boleh terus berhubungan dengan lelaki lain. Kamu pun seharusnya tahu akan hal itu.   ***   Tik..tik..tik..tik.. Jemariku berloncatan di atas keyboard laptopku. Aku sedang melanjutkan materi presentasi yang belum selesai kukerjakan di kantor sebelumnya. Kali ini aku ditemani segelas ice cappuccino. Semenjak bekerja di perusahaan tender yang mengambil proyek dari pemerintah, aku menjadi pecinta kafein. Penggila lebih tepatnya. Alasannya adalah agar aku bisa tetap terjaga di larut malam untuk mengejar deadline. “Kak belum tidur?” suara Fahri yang berdiri di depan pintu kamar mengejutkanku. “Eh kamu udah pulang Ri? Belum nih nanggung sebentar lagi selesai” “Udah mau jam 12 ini kak, lanjut nanti lagi aja sehabis sahur” benar juga, ini sudah hampir tengah malam dan kami masih harus bangun esok dini hari untuk sahur. Namun pekerjaanku masih belum bisa aku tinggalkan. “Nanggung ah Ri, masih banyak yang harus dirapihin nih datanya” “Yauda kalau gitu Fahri ke kamar ya kak” pamitnya padaku. “Oke Ri, selamat tidur” pandanganku tetap lurus kea rah laptop saat menjawab Fahri. Fahri pun melangkahkan kakinya menuju ke kamarnya. Baru juga setengah perjalanan menuju ke kamarnya, aku memanggilnya kembali. “Ri.. Ri..!!” aku memanggilnya dengan sedikit berteriak berharap dia mendengarnya. Fahri pun berbalik dan menghampiriku kembali setelah mendengar teriakkanku. “Kenapa Kak?” tanyanya. “Kamu pulang gak bawa motor? Kakak gak denger suara motor kamu” Fahri mengerutkan dahinya seolah kebingungan. Dia kemudian berkata, “Kak? Kamar kakak udah paling depan masa suara motor masuk gak kedengeran?” “Eeh masa sih?” pertanyaanku dilengkapi dengan ekspresi tidak percaya. Aku sama sekali tidak mendengar suara motor Fahri saat dia kembali. Padahal seharusnya aku mendengarnya dengan jelas karena kamarku sudah yang paling depan, dan juga motor Fahri itu motor sport yang suara knalpotnya akan terdengar jelas. “Makanya kak jangan kelewat serius sama kerjaan sampai suara motor masuk aja gak denger, nanti pacar diambil orang kakak juga gak ngeh” katanya meledekku. Aku terdiam sejenak. Pacar diambil orang? Tepat sekali kata-kata adikku ini. Aku pun langsung teringat dengan apa yang tertulis di akun f******k Sandi, dengan status berpacaran dengan Ria Sundari. Apa kutanyakan saja pada Fahri ya? Kan Sandi temannya Fahri. Siapa tahu Fahri mengenal Ria. “Ri, kamu kenal Ria gak?” kuberanikan diri untuk menanyakan tentang Ria. “Ria manan nih kak?” tanya Fahri balik padaku. “Si Sandi punya teman yang namanya Ria gak sih?” “Hmm kayaknya ada deh teman sekolahnya waktu di kampung. Dulu pernah Fahri diajak Sandi ketemuan sama teman-temannya pas lagi pada datang ke Jakarta, terus Fahri dikenalin sama beberapa temen ceweknya. Nah ada tuh yang namanya Ria” Oohh jadi Ria itu teman sekolahnya di kampung. Tapi kok Sandi gak pernah cerita? “Ohh gitu Ri, yasudah kalau begitu” “Emangnya kenapa kak?” Tanya Fahri mulai penasaran “Gak kenapa-kenapa sih. Eh iya terus kamu temenan sama Sandi di jejaring f******k gak sih?” Aku mulai menghujani adikku dengan banyak pertanyaan untuk mencari tahu. “Duh kalo f******k sih enggak kak, udah gak sempet Fahri main f******k. Udah sibuk ngurusin sales-sales di toko” Iya juga ya, posisi Fahri sebagai Store Head di tempat kerjanya membuatnya tak punya waktu untuk bermain-main dengan ponselnya. Bahkan kadang membalas pesan dari keluarganya saja harus menunggu lama. Aku pun menyuruh Fahri untuk pergi ke kamarnya lagi. Setidaknya aku mulai ada titik terang tentang siapa itu Ria.   *** Siang ini presentasi berjalan dengan lancar. Namun aku merasa tubuhku sedikit lemas. Benar kata mama, aku lemah. Kepalaku sakit sekali rasanya seperti dipukuli. Aku juga merasa sedikit sempoyongan. Aku berjalan dengan terhuyung sambil berpegang pada dinding. Mungkin karena aku hampir begadang semalaman dan kini aku sepertinya butuh istirahat. Sesampainya di meja kerjaku, segera aku pun duduk lalu meletakkan kepalaku di atas kedua tanganku yang menyilang. Aku merasakan sesuatu keluar dari hidungku. Kuseka hidungku dengan tisu dan terkejutnya aku ada darah yang keluar dari hidung. Dengan cepat kuambil banyak tisu dan membersihkan hidungku. Managerku yang melihat kondisiku saat kembali ke dalam ruangan pun langsung menyuruhku pulang dengan diantar oleh supir kantor. Aku mengikuti perintah pak manager untuk segera pulang. Sesampainya di rumah, aku membaringkan tubuhku di atas ranjang di kamar. Aku mengirimi pesan w******p pada Sandi memberitahukannya jika aku sudah berada di rumah. Aku juga memberitahukan tentang keadaanku. Lama ku menunggu namun belum ada balasan yang kuterima. Lalu aku mencoba meneleponnya. Tut.. tut.. tut.. tut.. Sandi sedang berada di panggilan lain. Loh, Sandi sibuk teleponan sama siapa ya? Dia juga masih belum membalas pesan w******p yang kukirim. Aku tak ingin terburu-buru menaruh curiga pada Sandi. Bisa jadi Sandi sedang sibuk berbincang dengan kliennya. Aku pun tetap menunggu balasan dari Sandi sambil mencoba untuk tidur. Kucoba memejamkan mataku namun terasa sakit kepalaku. Aku tak bisa tidur. Sandi pun belum membalas pesan dariku. 10 menit… 20 menit… 30 menit… Dan akhirnya sudah lewat 1 jam namun Sandi tetap tak membalas pesan dariku. Kucoba meneleponnya kembali namun yang kudapat Sandi tetap sedang berada di panggilan lain. Deg. Sesaat d**a ini terasa sesak dan pikiran ini dipenuhi rasa curiga. Apa jangan-jangan… Ria? Siapa sebenarnya Ria? Apa ada sesuatu yang Sandi sembunyikan dariku? Apa hubungan sebenarnya antara Sandi dan Ria? Otakku dipenuhi berbagai pertanyaan dan kecurigaan. Kenapa aku jadi curigaan seperti ini, padahal aku selalu mempercayainya. Namun sikap aneh Sandi saat mengetahui aku membuat akun f******k seolah menambah kecurigaanku. Jangan-jangan Sandi memang tak ingin aku mengetahui tentang hal yang tertulis disana. Mungkinkah Sandi tidak mau aku mengetahui tentang Ria?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD