Three

3874 Words
Aku menatap lurus ke depan. Ke arah televisi yang sedari tadi menyala. "Apa Nona menginginkan sesuatu?" tanya Bu Laras. Aku menggeleng. "Aku bosan. Apakah Rafael belum pulang?" Bu Laras tersenyum. "Ini baru dua jam setelah kepergian Tuan Muda ke kantor, Nona. Tuan Muda akan kembali nanti sore. Itupun jika Tuan Bisma mengizinkan." Bu Laras. "Tuan Bisma? Siapa itu?" "Ayah dari Tuan Muda Rafael. Beliau sangat ketat mengenai peraturan. Dan Tuan Muda baru saja membuat masalah di hari pertamanya bekerja." Bu Laras. Aku menyeritkan alisku. Apa itu ada hubungannya denganku? "Apa benar Rafael kemarin tidak bekerja karena mencariku seharian?" tanyaku. Bu Laras mengangguk. "Ya, Nona. Tuan Muda terlihat begitu mengkhawatirkan Anda. Beliau langsung pergi ketika menyadari Anda menghilang." Benarkah? Kenapa pria seperti Rafael meninggalkan pekerjaannya hanya demi perempuan sepertiku? Tapi itu artinya, aku baru saja membuat Rafael mendapat masalah. Terlebih dengan ayahnya sendiri. Apa yang harus ku lakukan? Bagaimana jika Rafael tidak diizinkan ke apartemen ini lagi? Dan bagaimana jika ayah Rafael tahu keberadaanku? "Nona, Anda tidak apa?" Aku mengejapkan mataku berkali-kali. Aku segera menoleh ke arah Bu Laras. "Bu, ini semua salahku. Lalu aku harus apa? Apa yang harus aku lakukan?" tanyaku. "Nona, ini bukan salah Anda. Tenanglah, Nona!" "Bagaimana bisa aku tenang? Bagaimana jika Rafael tidak diizinkan kemari lagi? Bagaimana jika ayahnya tahu keberadaanku? Apa yang akan terjadi? Arrrgggh...." Lagi-lagi kepalaku terasa sakit. Aku meremasnya kuat. Aku terus meronta saat Bu Laras berusaha menenangkanku. "Tenangkan diri Anda, Nona! Semua akan baik-baik saja." "Nona, berhenti! Jangan menyakiti diri Anda sendiri!" Aku mengabaikan segala yang diucapkan Bu Laras. Kepalaku benar-benar sakit. Aku berdiri dan Bu Laras masih mengikutiku. Aku merasa kesal hingga akhirnya aku melemparkan vas yang ku ambil dari meja dan melemparkannya hingga pecah berkeping-keping. Bayangan masa lalu itu kembali muncul. 'Semua kesialan yang terjadi pada keluarga ini adalah karenamu. Kamu itu pembawa sial.' 'Pembunuh!' "Aaaarrrrggghh..." Aku mendorong sesuatu di depanku hingga ia terlempar. "Aawwhh.." Aku menyadari sesuatu. Pikiranku segera kembali pada Bu Laras. Aku membuka mataku dan mendapati Bu Laras tengah mengaduh kesakitan. Wanita paruh baya itu terduduk di lantai. Dari keningnya mengalir darah segar. 'Semua kesialan yang terjadi pada keluarga ini adalah karenamu. Kamu itu pembawa sial.' 'Pembunuh!' Lagi. Kata-kata itu terus terngiang di telingaku. Tatapan tajam orang-orang itu terus menusuk relung batinku. Pandanganku mengabur. Tubuhku terasa semakin lemah. Dan beberapa detik kemudian aku merasakan dinginnya lantai di pipi kiriku. "Saya juga tidak mengerti, Tuan. Tadi siang Nona Litha terus menanyakan tentang Anda. Nona Litha takut jika Anda terkena masalah karenanya. Nona takut jika Tuan Muda tidak bisa kesini lagi." "Lalu bagaimana bisa ia jadi seperti ini?" "Tiba-tiba Nona Litha histeris. Saya berusaha menenangkannya, tapi gagal. Maafkan saya Tuan Muda." Sayup-sayup aku dapat mendengarkan percakapan antara Bu Laras dan Rafael. Rafael? "Ra..fael!" Aku berusaha memanggilnya. Aku ingin memastikan, apakah itu benar-benar suara Rafael, atau bukan. Namun sepertinya suaraku terlalu lirih. Cahaya lampu membuat mataku serasa sulit terbuka. "Ra..fael!" ulangku. Masih tak seorangpun membuka pintu kamar tidurku. Aku berusaha bangkit. Aku harus melihat dengan mata kepalaku sendiri. Benarkah dia Rafael? 'Brukkk' Aku meringis merasakan luka di lututku kembali terasa perih. Posisiku saat ini adalah duduk di atas lantai setelah gagal berdiri dari tempat tidur. Aku berusaha meraih nakas untuk peganganku berdiri. Kepalaku masih terasa pusing untuk berdiri tanpa bantuan. Belum lagi luka di kakiku yang sepertinya kembali membuka. 'Prangggg....' Betapa bodohnya aku. Aku malah menjatuhkan gelas berisi air di nakas itu. "Astaga, Litha!" Aku bergegas mengalihkan perhatianku ke arah sumber suara. Ku rasakan mataku mulai berair. Pria itu berlari ke arahku dengan raut ke-khawatirannya. "Rafael..." Aku segera mengalungkan lenganku di lehernya. Memeluknya erat seakan tak ingin ia pergi lagi dariku. "Hey, kamu tidak apa-apa?" tanyanya dengan nada khawatir. Aku menggeleng cepat. "Aku takut tidak bisa bertemu denganmu lagi." balasku. Dia membalas pelukanku. Akupun segera menumpahkan air mataku di bahunya. "Apa kamu sebegitu takutnya tidak bisa bertemu aku lagi sampai kamu menangis?" Rafael. Aku enggan menjawab pertanyaannya. Aku hanya semakin mengeratkan pelukanku pada pria itu. "Sssttt.. sudahlah, jangan menangis lagi!" ujarnya sembari melepaskan pelukan kami. Ia menatap manik mataku sembari kedua ibu jarinya menghapus air mataku. "Ketakutanmu tidak akan menjadi nyata, percayalah!" tambahnya. "Kamu janji?" tanyaku. Dia mengangguk mantab. Rafael mengangkat tubuh mungilku dan meletakkannya di atas tempat tidur. "Bu Laras, tolong ambilkan kotak P3K nya!" suruh Rafael. Tak lama kemudian, Bu Laras menyerahkan kotak P3K pada Rafael. Aku menatap penuh rasa bersalah ketika melihat kening Bu Laras yang terbalut perban. Itu pasti karena perbuatanku tadi. "Ada apa, Litha?" tanya Rafael. Bu Laras pun tampaknya sadar jika aku tengah memperhatikannya. Beliau sedikit mengangkat kepalanya untuk menatapku. "Maaf, Nona. Apakah saya membuat kesalahan?" tanya Bu Laras. Aku menggeleng. Tiba-tiba, air mataku menetes. Membuat Bu Laras terbelalak kemudian meminta maaf padaku. "Maafkan saya, Nona! Maaf jika saya membuat kesalahan pada Anda." ujarnya. "Sebenarnya ada apa, Litha? Apa Bu Laras menyakitimu?" tanya Rafael khawatir. "Maafkan saya, Bu Laras!" lirihku. Rafael dan Bu Laras terdiam menatapku. "Maaf karena saya sudah mencelakai Bu Laras. Maaf!" ulangku. Bu Laras tersenyum ke arahku. "Saya tidak apa, Nona. Sungguh." balasnya. "Litha, tenanglah! Aku nggak mau kepalamu sakit lagi. Sekarang, biar Bu Laras menyiapkan makananmu sementara aku mengobati lukamu, okey?" Rafael. Aku mengangguk kecil. Aku tidak mau lepas kontrol lagi yang akhirnya hanya akan melukai orang di sekelilingku. Bu Laras pun berlalu. Sementara itu, Rafael mulai mengganti perban di luka-lukaku. Sama seperti kemarin, ia melakukannya dengan sangat telaten. "Tuh kan, luka kamu buka lagi. Besok lagi kamu harus lebih berhati-hati! Panggil aku ataupun Bu Laras ketika kamu butuh sesuatu, okey?" ucap Rafael dengan nada tegas. Aku kembali mengangguk. Tak lama kemudian, Bu Laras kembali. Beliau membawa nampan yang diatasnya terdapat sepiring nasi dan segelas air. "Biar saya suapi saja ya, Nona?" tawar Bu Laras. "Biar saya saja. Letakkan saja di atas nakas! Dan bawakan kemari obat-obat Litha! "sambung Rafael yang masih sibuk mengganti perbanku. "Aku bisa makan sendiri, Raf, Bu." Rafael menatapku. "Biar aku suapi saja." balasnya. Aku hanya dapat menghela napas menanggapi ucapan Rafael yang seakan tak terbantahkan. Padahal, aku masih mampu untuk makan sendiri. Ku rasa ia terlalu berlebihan. Selesai mengobatiku, Rafael segera menyambar piring berisikan nasi dan lauk itu untuk menyuapiku. Bersamaan dengan itu, Bu Laras pamit undur diri dengan kotak P3K di tangannya. "Raf, aku bisa makan sendiri. Lebih baik kamu beristirahat. Ini sudah jam sepuluh." ujarku. "Tidak sebelum aku memastikan kamu meminum obatmu." balasnya. Beberapa saat kemudian, handphone Rafael bergetar. Namun yang membuatku bingung adalah, Rafael seakan tidak menyadarinya. Ia masih asyik menyuapkan nasi itu padaku. "Raf, handphone kamu..." "Nanti saja. Yang penting sekarang, kamu makan dulu." "Tapi bagaimana kalau penting? Mungkin saja itu ayahmu." "Aaaa...kunyah dan telan makananmu dengan baik!" Handphone itu terus bergetar. "Rafael!" geramku melihat Rafael yang masih enggan mengecek handphonenya. Rafael menghela napas kemudian mengambil handphonenya dari dalam saku. Ia membaca sebentar nama yang tertera disana sebelum akhirnya menempelkannya ke telinga. "Halo!" "..." "Masih di apartemen. Ada apa?" "..." "Ya. Setelah ini aku pulang." "..." "Ya." "..." "Hmm. Ku matikan." Aku menyeritkan alisku. Kenapa Rafael nampak berbeda ketika berbicara ditelepon? "Siapa Raf?" tanyaku. "Adikku. Namanya Devania." balasnya. "Apa ada masalah?" Rafael menggeleng. "Ia hanya mengatakan bahwa Mama menyuruhku cepat pulang karena sudah malam." "Apa kamu memiliki hubungan kurang baik dengan adikmu?" tanyaku lagi. Rafael menyeritkan alisnya. "Maksud kamu?" bingungnya. "Emmm..aku rasa kamu terlalu dingin padanya. Dari nada bicaramu...." Ucapanku terpotong saat tiba-tiba saja Rafael tertawa. Aku tidak mengerti apa yang sedang ia tertawakan. "Jangan berpikiran yang tidak-tidak! Devania adalah satu-satunya adikku. Meskipun dia menyebalkan dan bodoh, aku tetap menyayanginya lebih dari nyawaku sendiri." ujar Rafael. Aku tercengang. Menyayangi lebih dari nyawanya sendiri? Apa gadis itu sangat berarti bagi Rafael? Tapi, bagaimana Rafael bisa berbicara dengan nada seperti itu yang terkesan sangat dingin pada orang yang sangat ia sayangi? "Kenapa?" tanya Rafael. Aku menggeleng cepat dan melemparkan senyum padanya. Rafael meletakkan piring kosong itu di atas nampan kemudian membantuku minum. Setelah itu, tangannya meraih plastik berisikan beberapa macam obat milikku. Rafael membantuku meminumnya. "Selesai." "Kalau begitu, aku pulang dulu ke rumahku. Besok pagi aku akan kesini lagi." pamitnya. Aku mengangguk. Rafael membantuku untuk berbaring dan menyelimutiku hingga leher. "Rafael, hati-hati di jalan!" ujarku. Dia tersenyum kemudian mencium keningku. "Ingat, jangan lakukan apapun yang sekiranya dapat melukai dirimu sendiri!" Aku kembali mengangguk. Tidak lama kemudian, Rafael keluar dari kamar yang ku tempati. Sementara itu, akupun akhirnya tertidur akibat pengaruh dari salah satu obat yang ku minum. *   Hari demi hari berganti. Saat ini aku tengah menunggu kepulangan Rafael di depan TV. Hingga akhirnya pria itu menampakkan wajahnya dari balik pintu utama. Aku mengembangkan senyumanku menyambutnya. "Litha, malam ini kita makan malam bersama ya?" tawarnya. Aku mengangguk cepat. Tentu saja aku mau. "Tapi...dimana?" tanyaku. "Di rumahku. Aku ingin memperkenalkanmu pada keluargaku." Rafael. Senyumku hilang seketika. Keluarganya? Apa itu artinya Ibu, Ayah dan Adiknya? Rafael berjalan mendekatiku dan menangkup kedua pipiku. "Ada apa?" tanyanya. "Aku takut." lirihku. "Takut apa, Litha? Aku akan selalu disisimu." "Mereka pasti tidak akan suka padaku. Mereka akan mengusirku. Tidak! Aku tidak mau, Rafael." Rafael menarikku ke dalam dekapannya. "Hey, tenanglah! Ada aku di sampingmu. Aku akan menjagamu, Litha." bisiknya. Napasku mulai kembali teratur. Pelukan Rafael dapat dengan mudah menenangkanku. "Kamu mau ya! Aku ingin mereka mengenalmu. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan karena aku selalu di sampingmu." lanjutnya. Setelah memejamkan mata dan berpikir sejenak, aku mengangguk. Lagi pula, aku tidak bisa bersembunyi selamanya dari mereka disaat aku menumpang tinggal di salah satu apartemen yang mereka miliki. Cepat atau lambat, keberadaanku pasti akan segera mereka ketahui. Aku mengenakan dress berwarna soft blue selutut dan flat shoes hitam yang Rafael pilihkan. Rambutku dibiarkan tergerai seperti biasa. Rafael bilang, aku terlihat lebih cantik dengan rambut tergerai. Aku mengetukkan kakiku berkali-kali ketika di dalam mobil Rafael. Tanganku saling meremas satu sama lain, dan sesekali menggaruk tengkukku yang terasa tak nyaman. "Litha, kamu kenapa sih?" Aku menolehkan kepalaku ke arah Rafael, lalu menggeleng. Aku tersentak ketika tiba-tiba sebuah tangan meraih tangan kananku dan menggenggamnya. Aku menyerit bingung ke arah Rafael. Segala gerakan anehku seketika terhenti. "Kamu jangan gugup begitu dong! Mereka nggak akan makan kamu kok. Mereka cuma keluarga aku, bukan malaikat yang bakal mencabut nyawa kamu." ucap Rafael lembut. "Tapi Raf, mereka keluarga kamu. Aku takut mereka tidak suka denganku dan akan melarangku bertemu denganmu lagi." balasku jujur. Rafael tersenyum kemudian semakin erat menggenggam tanganku. "Itu tidak akan terjadi, Litha. Dan jika itu sampai terjadi, akan ku pastikan jika aku tetap akan berada di sisimu." Aku menelan salivaku kasar. Jantungku seakan berdisko sekarang. Kata-kata yang Rafael ucapkan, seakan menegaskan jika aku adalah sesuatu yang sangat berarti baginya. Tapi, benarkah? Aku hanya gadis aneh. Sepertinya itu tidak mungkin. "Kenapa sekarang bengong?" tanya Rafael membuyarkan lamunanku. Aku kembali menoleh ke arah Rafael lalu menggeleng kecil. "Aku nggak papa." jawabku sembari tersenyum tipis. Aku balas menggenggam tangan Rafael. Meyakinkannya jika aku baik-baik saja. Setelah hampir setengah jam di perjalanan, sampailah kami di depan rumah mewah yang ku yakini sebagai kediaman keluarga Rafael. Detak jantungku semakin tak beraturan. Aku sangat takut, tapi berusaha menutupinya dari Rafael. "Litha, ayo!" Aku terpenjat saat tiba-tiba Rafael mengulurkan tangannya dari luar. Sejak kapan ia keluar dan membuka pintu mobil di sampingku? Setelah menghela napas panjang, aku menerima uluran tangan Rafael dan melangkahkan kakiku keluar dari mobil. Dua orang pelayan menyambut kedatangan kami. "Selamat malam Tuan Muda, Nona!" sapa mereka kompak. Aku membalasnya dengan senyuman sembari mengangguk. Rafael menggenggam tanganku kemudian menuntunku masuk ke pintu utama yang telah di bukakan oleh dua pelayan tersebut. Tap Tap Tap ... Aku menghentikan langkahku ketika melihat dua orang wanita berbeda generasi duduk di ruang makan. Mereka tampak menunggu sesuatu. "Ada apa, Litha?" tanya Rafael membuyarkan lamunanku. "Apa itu Ibu dan Adikmu?" tanyaku. "Ya. Papaku masih ada meeting di kantor. Jadi hanya mereka yang ada." balas Rafael. Aku kembali meyakinkan diriku jika semua akan baik-baik saja. Detik berikutnya, Rafael kembali membawaku mendekat ke arah keluarganya. "Selamat malam, Ma." Aku tersentak ketika Rafael melepaskan gandengan tangannya denganku. Ia berjalan ke arah wanita paruh baya itu untuk mencium pipinya. "Malam, sayang." balas wanita itu. Aku mundur dua langkah sembari menundukkan kepalaku. Rasa takut dan khawatir itu semakin menjalar. Ku rasa aku masih tidak nyaman berada di dekat orang asing. "Siapa dia? Apa dia kekasihmu?" Pertanyaan itu keluar dari mulut gadis remaja yang sedari tadi memandangku aneh. Ku rasa dia adalah Devania, adik Rafael. Rafael kembali ke sisiku. Dengan segera, aku memeluk lengannya erat. Sangat erat. "Namanya Litha. Ya, dia kekasihku." balas Rafael. Aku melemparkan tatapan tak percaya ke arah Rafael. Apa dia bilang? Kekasih? "Dia terlihat....aneh." Aku kembali menunduk mendengar suara Devania. Ku rasa dia tidak menyukaiku. "Dia tidak seperti itu, Dev. Dia hanya malu." protes Rafael. "Hmm...baiklah. Rafael, Litha, ayo duduk!" suruh ibu Rafael dengan suara lembutnya. Rafael menggenggam jemariku yang memeluk lengannya. Membuatku kembali mendongak untuk menatapnya. "Ayo duduk!" ajaknya. Aku menggeleng cepat dan mengeratkan pelukanku pada lengan Rafael. Duduk? Itu artinya aku harus melepaskan pelukanku pada Rafael. Aku tidak mau. Bagaimana jika mereka tidak suka denganku lalu menyakitiku? "Semua akan baik-baik saja, Litha. Mereka orang baik." bisik Rafael. Aku masih belum yakin sepenuhnya. Rasanya sangat sulit jika aku harus berdekatan dengan orang lain. "Mmm...apa dia memiliki gangguan jiwa?" tanya Devania. Detak jantungku semakin tak karuan. Aku semakin mengeratkan pelukanku. Bahkan kini aku meremas keras lengan Rafael. Aku ingin pulang. Ku mohon, bawa aku pergi, Rafael. "Dev!" tegur wanita paruh baya di samping gadis itu. "Aku hanya bertanya, Ma. Karena ku pikir dia aneh. Dia seperti...." "Cukup Devania! Dia tidak seperti yang kau pikir!" bentak Rafael. "Maaf!" ujar Devania lirih. "Duduklah, Litha! Sudah saatnya makan malam. Ayo!" Aku mendengar nada ramah dari mulut wanita yang telah melahirkan Rafael itu. Aku mulai menatapnya, dan ia tersenyum ke arahku. Rafael menuntunku untuk duduk. Kami duduk bersebelahan. "Maaf, aku tidak bermaksud menghinamu, Kak." Pernyataan itu keluar dari mulut Devania. Dia tampak menyesali perbuatannya. Aku menatapnya sembari tersenyum. "Tidak apa-apa." balasku. Gadis manis itu tersenyum lebar mendengar jawabanku. "Hey, Kakak sangat cantik saat tersenyum. Lihatlah, mata Kakak berwarna biru." pujinya. "Kamu lebih cantik, Devania." balasku. “Kalau itu sudah pasti. Darah seorang Bisma Renandi kan mengalir di tubuhku.” Devania. "Sudah, Dev! Biarkan kakak-kakakmu ini makan. Kamu juga makan!" ucap wanita paruh baya itu. Aku menolehkan kepalaku ke arah Rafael. Dia tersenyum padaku. Akupun membalas senyumannya. Ternyata benar, keluarga Rafael sangat baik. Aku senang mereka dapat menerimaku. Acara makan malam di mulai. Kami makan dalam diam. Sepertinya ini kebiasaan di keluarga mereka. Tak berbicara saat makan. Selesai acara makan malam, kami masih duduk di ruang makan. Beberapa pelayan menyingkirkan piring bekas kami makan. "Bagaimana, Litha kamu menyukai makanannya?" tanya ibu Rafael. "Em...ya. Apakah Anda yang memasaknya?" "Tidak. Suami Tante tidak mengizinkan Tante masak. Koki kami yang memasaknya." balasnya. "Oh ya, Tante belum memperkenalkan diri. Tante adalah ibu dari Rafael dan Devania, nama Tante adalah Mawar." lanjutnya. Aku mengangguk mengerti kemudian membalas jawaban tangan beliau. "Nama saya Litha, Tante. Talitha." balasku. "Hey, kamu tidak pernah bilang padaku kalau namamu adalah Talitha." bisik Rafael. "Aku sudah bilang, tapi kamu salah paham dan menganggap namaku hanya Litha saja." balasku. "Aku Devania. Devania Putri Renandi. Putri bungsu di keluarga ini. Dan saat ini aku kelas dua SMA. Dan aku adalah calon dokter terbaik di masa depan." sambung Devania sembari mengulurkan tangannya. Aku menyambut uluran tangannya. Sepertinya ia anak yang periang. "Litha." balasku. "Aku benar-benar suka dengan matamu. Sangat indah." pujinya. Aku hanya tersenyum menanggapinya. "Benar, Litha. Sebenarnya dari mana kamu berasal? Sepertinya kamu dari daerah Eropa atau Amerika." Tante Mawar. "Almarhum kedua orang tua saya berkebangsaan Perancis, Tante. Tapi, Papa saya memiliki darah campuran Indonesia-Perancis-Amerika." terangku. "Pantas saja kamu memiliki warna mata biru dan rambut yang lebih terang dari kami." Tante Mawar. "Lalu dimana mereka sekarang? Apa mereka juga ada di Indonesia, sama sepertimu?" Devania. Aku terdiam. Bagaimana cara aku menjelaskannya? Ceritanya sangat panjang. Dan...saat ini aku hanya gadis jalanan sebatang kara. "Dia sudah tidak punya orang tua. Dia memiliki beberapa masalah yang tidak bisa ia jelaskan sekarang. Dia tinggal di apartemenku." sambung Rafael. Tante Mawar dan Devania terdiam. Keduanya tampak terkejut dan sekarang mereka saling pandang. Apa mereka tidak menyukaiku sekarang? Devania pamit ke kamarnya. Kini, di ruang makan hanya tersisa aku, Rafael dan tante Mawar. "Mmm...Ma, Litha, sebentar ya, Rafael mau angkat telepon dulu." ujar Rafael ketika handphonenya bergetar. Setelah mendapat anggukan kepala dari ibunya, Rafael bangkit dan pergi. Aku meremas tanganku kuat. Aku sangat gugup sekarang. Berhadapan empat mata dengan Tante Mawar sepertinya bukan sesuatu yang baik. "Litha, apa kau mau minum sesuatu?" tawarnya masih dengan nada ramah. "Ti..tidak. Makasih, Tante." tolakku. Kakiku mulai tidak bisa diam. Aku mengetukkannya berkali-kali di lantai. Aku benar-benar sangat tidak nyaman. Dimana Rafael? Kenapa dia lama sekali? "Litha, Tante ke belakang sebentar ya?" pamit Tante Mawar. Aku mengangguk. Aku bernapas lega setelah kepergian Tante Mawar. Tapi, aku kembali merasa aneh ketika menyadari bahwa arah yang dituju Tante Mawar adalah tempat dimana Rafael berada. Jantungku kembali berdebar kencang. Ku rasa ada sesuatu yang ingin Tante Mawar bicarakan dengan Rafael, dan itu menyangkut aku. Aku ingin sekali berjalan mengendap-endap kesana dan mendengarkan percakapan mereka. Tapi, bagaimana jika sampai ketahuan? Tidak. Aku tidak peduli dengan segala risikonya. Aku harus tau apa yang akan mereka bicarakan tentangku. Aku khawatir Tante Mawar akan mengatakan ketidaksukaannya padaku dan menyuruh Rafael menjauhiku. Aku berdiri dari dudukku kemudian melangkah pelan ke arah kolam renang. Aku berhenti ketika mendapati ibu dan anak itu tengah berhadapan. Dimana keduanya sama-sama tersenyum dan saling sapa. Lalu, aku bergerak ke arah kanan satu langkah, bersembunyi di balik dinding. "Raf, apa kamu yakin ingin menggagalkan rencana pertunanganmu dengan Evelyn?" Tante Mawar. "Iya, Ma. Rafael tidak pernah cinta dengan dia." "Raf, Mama selalu dukung keputusan kamu. Dan Mama akan bantu selama Mama bisa. Untuk masalah ini pun begitu." Tante Mawar. "Makasih, Ma." balas Rafael sembari tersenyum. "Tapi, Mama rasa Litha bukan orang yang tepat buat kamu. Jika kamu ingin membatalkan rencana pertunanganmu dengan Evelyn, harusnya kamu mencari wanita yang lebih baik dari Evelyn. Dan Mama rasa Litha tidak demikian." Napasku tercekat mendengar kata-kata Tante Mawar. Aku menyadari, sedari tadi Rafaelpun menyimaknya dengan baik. "Ma, Mama hanya belum mengenal Litha. Litha itu istimewa, Ma." "Rafael, Mama sudah bilang kan, Mama akan selalu mendukungmu. Mama sebenarnya tidak masalah jika kamu dengan Litha. Tapi bagaimana dengan Papamu?" "Rafael akan berusaha lebih keras untuk meyakinkan Papa, Ma. Mama harus bantu Rafael. Rafael cuma mau Litha, Ma. Bukan yang lain." "Sulit, Nak. Litha memiliki banyak kekurangan yang jelas itu tidak akan di sukai Papamu. Mama tidak tahu bagaimana cara membantumu untuk satu ini. Litha dibandingkan dengan Evelyn, pastilah semua orang akan memilih Evelyn." Dari apa yang ku dengar, sepertinya Rafael sudah dijodohkan dengan gadis bernama Evelyn. Dan sepertinya gadis itu sederajat dengan keluarga Rafael. Aku memejamkan mataku. Mencoba menenangkan diriku agar tidak melakukan hal bodoh. Aku harus tenang. Aku tidak boleh membuat Tante Mawar semakin tidak menyetujui aku dan Rafael. "Siapa kamu?" Aku terpenjat dan segera membalikkan tubuhku. Tampak di hadapanku seorang pria berusia sekitar 60 tahunan tengah menatapku tajam. Apakah dia ayah Rafael? Ku rasa aku dalam masalah besar. "Saya tanya, siapa kamu?" ulangnya dengan suara lebih keras dan tegas. Aku tidak dapat menahan ketakutanku. Napasku mulai tidak beraturan. Rasanya sangat sesak. Tubuhku bergetar. "Papa!" kaget Rafael. Aku mendengar langkah kaki Rafael mendekat. Hingga sepasang sepatunya dapat ku lihat. Ia berdiri diantara aku dan ayahnya. "Siapa gadis ini, Rafael?" "Di...dia...dia...namanya Litha, Pa." jawab Rafael. "Dia teman Rafael, Pa. Mama yang mengundangnya makan malam bersama." sambung Tante Mawar yang baru saja datang. Aku masih terus meremas kedua tanganku. Aku sangat takut melihat tatapan tajam ayah Rafael. Dia terlihat begitu tidak menyukaiku. Aku mendengar Rafael menghela napas panjang. Detik berikutnya, ia menggenggam tangan kananku dengan sangat erat. Mataku membola. Terkejut sekaligus bingung dengan perbuatannya. Apa yang akan ia lakukan? "Dia bukan teman Rafael, Pa. Dia kekasih Rafael." ujar Rafael dalam satu tarikan napas. Aku merasakan napasku berhenti. Aku sangat takjub dengan keberanian Rafael mengakuiku di depan ayahnya yang tampak marah. Tapi....ku rasa kita berdua dalam masalah. "Apa?! Kekasih? Kamu sudah dijodohkan dengan Evelyn, Rafael. Jangan buat keluarga kita malu!" bentak ayah Rafael. Aku tersentak kemudian memeluk erat lengan Rafael. Keringat dingin mulai membasahi wajahku. "Pa, aku tidak mencintai Evelyn. Aku hanya mencintai Litha, Pa. Tolong, untuk sekali ini saja, pertimbangkan keinginan Rafael." pinta Rafael. "Tidak. Kamu harus tetap bertunangan dengan Evelyn bulan depan." Apakah itu artinya Rafael akan dimiliki perempuan lain? Aku semakin mencengkram erat lengan Rafael dan sedikit mundur ke belakang pria itu. "Dan lihatlah, bahkan dia gadis yang aneh. Ku rasa dia memiliki gangguan jiwa." lanjut ayah Rafael. "Papa!" protes Rafael. Aku semakin memperdalam tundukan kepalaku. Aku tidak ingin ada keributan, apalagi itu karena aku. Napasku semakin tak beraturan. Tuhan...tolong, jangan sampai aku melakukan hal bodoh di depan keluarga Rafael. "Rafael! Kamu itu penerus Renandi Grup. Kamu itu orang terpandang. Semua orang akan menyorot kehidupanmu dan itu berdampak besar bagi perusahaan. Kamu ingin menghancurkan citra perusahaan dengan memacari gadis ini?" "Papa, sudah, Pa! Jangan memarahi Rafael terus1" lerai Tante Mawar. "Ingat Rafael, Papa tidak akan tinggal diam jika kamu berniat menghancurkan perusahaan yang sudah Papa pimpin hampir 30 tahun, meskipun kamu anak Papa." ancam ayah Rafael. Pria itu kemudian melenggang pergi menaiki tangga. Meninggalkan aku, Rafael dan Tante Mawar yang masih sama-sama terdiam. Aku menghancurkan semuanya. Suara isakkan kecil keluar dari mulutku. Aku hampir saja jatuh merosot ke lantai jika saja Rafael tidak cepat menahannya. Rafael menarikku ke dalam dekapan hangatnya. Membiarkanku menangis di d**a bidangnya. "Semua akan baik-baik saja, percayalah! Aku ada di sampingmu." ujarnya. Aku menumpahkan kepedihan dan ketakutanku di d**a bidang Rafael, tanpa membalas pelukannya. Setelah beberapa saat, Rafael mengurai pelukannya dan sedikit menunduk untuk menatap mataku. Ibu-ibu jarinya dengan lembut menghapus jejak air mata di pipiku. Di bibirnya tersungging senyum hangat, seakan meyakinkanku jika semua akan baik-baik saja. "Rafael, Mama ke kamar dulu ya. Mama akan bantu bicara pada Papamu. Sekarang lebih baik kamu mengantar Litha kembali ke apartemen!" ucap Tante Mawar lembut. Rafael mengangguk. "Makasih, Ma. Kalau gitu Rafael pamit untuk mengantar Litha." pamit Rafael kemudian menyalami ibunya itu. Di dalam mobil, tidak ada perbincangan antara aku dan Rafael. Kami sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing. Sampainya di apartemen, aku segera masuk ke kamarku untuk berganti pakaian. Rafael menungguku di ruang tamu. "Bagaimana acara makan malamnya, Nona?" tanya Bu Laras antusias. Aku terdiam. Rasanya aku tak ingin mengingat ucapan ayah Rafael padaku. Dan sepertinya, Bu Laras paham apa yang baru saja terjadi padaku. Beliau berusaha mengalihkan pembicaraan ke arah lain. "Nona, sepertinya Tuan Muda masih menunggu Anda di ruang tamu." ujarnya. Aku mengangguk kemudian duduk di tepi tempat tidurku. "Rasanya aku sangat lelah, Bu. Mungkin aku akan langsung beristirahat saja." balasku. "Oh...kalau begitu biar saya siapkan obat Nona. Tunggu sebentar ya, Nona?" pamit Bu Laras. Namun, ketika Bu Laras membuka pintu, muncul Rafael di sana. Ia membawa nampan berisi segelas air mineral dan obat-obatan milikku. Ia tersenyum kemudian masuk dan menghampiriku. "Raf, kenapa belum pulang?" tanyaku hati-hati. "Aku ingin memastikan kau meminum obatmu dengan teratur." balasnya sembari membuka satu per satu kemasan obatku. Aku menatap pilu ke arah obat-obatan itu. Beberapa diantaranya adalah obat yang diperuntukan untuk orang dengan gangguan mental sepertiku. "Apa aku akan lebih baik jika terus mengkonsumsi obat itu?" tanyaku. "Apa yang kamu bicarakan? Kamu baik-baik saja, Litha. Ini hanya vitamin." dusta Rafael. Aku tersenyum miris mendengar ucapannya. Apakah ia masih berusaha meyakinkan ku bahwa aku tidak gila? Rafael, aku tahu apa yang terjadi pada diriku sendiri. Kamu tidak dapat membohongiku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD