Part 2. Finding Max

969 Words
    "Bagaimana jika kau melanggar perjanjiannya?" tanya Sean ketika kembali menjalankan laju mobilnya.     "Tenang saja! Aku wanita yang bisa kau pegang omongannya. Aku tidak suka melanggar janjiku sendiri!" jawab Alana penuh penekanan.     "Wow, jawaban yang sungguh mengagumkan!" ujar pria itu menatap Alana sekilas.     Entah ini merupakan pujian atau hinaan tapi yang jelas Alana merasa jika pria disampingnya itu sedang merendahkan dirinya.     "But, I keep your promise!" lanjut Sean lagi.     "Up to you," jawab Alana sembari mengedikkan bahunya.     "Jadi, mau aku antar kemana?" tanya Sean.     "Ke..." Alana tampak berpikir, "Apa kau kenal dengan Max Joysilio Gibson?" tanyanya kemudian.     "Ada hubungan apa kau dengan Max?" bukannya menjawab pria itu malah bertanya balik.     Tapi, dari pertanyaan si pria, sepertinya dia mengenal Max. Alana sungguh senang, ia merasa mendapatkan secercah harapan.     "Kau mengenal Max?" tanya Alana lagi dan dengan sengaja mengabaikan pertanyaan Sean sebelumnya.     "Tidak!"     "What?! Kau tidak mengenalnya?"     "Tidak. Entahlah, dia tidak terkenal."     "Kalau begitu, batalkan saja perjanjian kita untuk apa aku susah payah menjadi kacungmu jika kau saja belum pasti bisa mengantarkanku ke rumah Max dengan selamat! Atau jangan-jangan kau memiliki niat jahat padaku, ya?" Alana menatap pria tampan itu dengan tajam.     Tentu saja Sean dengan serta merta menoyor kepala Alana, "Curigaan sekali! Kau kan miskin, jadi untuk apa aku berbuat jahat padamu? Tidak ada untungnya."     "Menyebalkan sekali! Dasar kau manusia aneh!"     Sean tertawa melihat wajah Alana yang di tekuk, "Tenanglah, aku akan mengantarmu ke rumah Max."     "Jadi, kau mengenal Max?"     "Hmm, dia sahabatku."     "What?! Sahabat?! Sepertinya Max sudah gila mau bersahabat dengan orang gila sepertimu."     "Kacung di larang mengatai majikan," ucap Sean.     "Luar biasa sekali... Bahkan, kau seolah menganggap dirimu sudah resmi menjadi majikanku?"     "Kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Jadi, apa hubunganmu dengan Max?"     "Bukan urusan mu!"         Selama di perjalanan mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Sean sedang sibuk memikirkan apa hubungan gadis disampingnya dengan sahabatnya dari Senior High School. Sedangkan Alana, ia sedang sibuk memikirkan apa Sean benar-benar mengenal kakaknya atau dia sedang di tipu.     Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, akhirnya mobil Sean memasuki sebuah kawasan kompleks elite dan tidak lama mobil tersebut berhenti di sebuah pekarangan rumah yang begitu mewah.     "Turunlah," seru Sean lalu turun dari mobilnya diikuti oleh Alana dibelakangnya.     "Ini rumahmu?"     "Bukan."     "Lalu? Rumah siapa ini?"     "Lihatlah."     Bertepatan dengan jawaban Sean, seseorang muncul dari rumah tersebut.     "MAXXX...! I MISS YOU!" Alana berlari ke arah Max dan langsung memeluk Max dengan begitu eratnya. Max pun menyambut pelukan Alana dengan penuh kasih sayang.     "Hi, my little sister. I miss you too," jawab Max masih sambil memeluk Alana.     Sean yang kurang mengerti dengan situasi yang terjadi di hadapannya pun hanya memutuskan untuk diam saja. Menunggu adegan romantis di depannya berakhir.     "Kalian saling kenal?" tanya Max ketika sadar jika dibelakang Alana ada Sean yang sedang memperhatikan mereka.     "Tidak." Jawab Alana dan Sean bersamaan.     "Jadi, Bagaimana bis—"     "Ceritanya panjang. Kau tidak mau membiarkanku masuk? Kakiku pegal memangku koper sepanjang perjalanan karena temanmu itu sungguh, sungguh BAIK," Sindir Alana.     Max akhirnya mempersilakan Alana dan Sean untuk masuk ke dalam rumahnya. Setelah Sean dan Alana duduk di sofa yang ada di ruang tamu rumahnya. Max kembali mengulang pertanyaannya.     "Jadi, bagaimana bisa kal—"     "Oh ayolah, Max! Kau harus memberi kami minum dulu sebagai Tuan rumah yang baik," Potong Alana dengan cepat.     "Bi Ninaaa..." panggil Max.     Bi Nina adalah seorang wanita tua yang bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah Max.     "Ada apa, Tuan?" tanya Bi Nina ketika sudah berdiri di hadapan Max.     "Tolong siapkan minum dan makanan ringan untuk tiga orang, ya?"     Begitulah Max, dia memang selalu sopan kepada siapapun.     "Baik, Tuan," Jawab Bi Nina.     Tidak lama kemudian, minuman sudah tersaji di meja. Alana yang memang sedang sangat kehausan pun langsung meminum minumannya hingga tandas tak bersisa.     "Huh, leganya!" seru Alana sambil mengusap lehernya.     "Apa kau tidak beri minum oleh Sean?"     "Tidak. Bahkan, dia saja tidak memberiku kesempatan untuk menaruh koperku di bagasi mobilnya. Pelit sekali!"     Sean kembali menoyor kepala Alana, "Ish! Jangan sentuh aku sedikitpun!" protes Alana.     "Kau berkata seolah kau tidak sadar jika sudah menjelek-jelekkanku secara terang-terangan," Sindir Sean.     "Oh ya? Aku memang tidak sadar."     "Stop! Kenapa kalian jadi berdebat? Sekarang, ceritakan saja kenapa kalian bisa bertemu?" potong Max.     "Bagaimana jika kalian memberitahuku dulu sebenarnya apa hubungan kalian?" potong Sean, memperhatikan mereka wajah Max dan Alana secara bergantian.     "Dia adik kandungku," jawab Max.     "Wah, kau tidak pernah memberitahuku jika kau memiliki seorang adik yang begitu cantik! Sayangnya, dia sungguh menyebalkan!"     Alana memutarkan kedua bola matanya, jengah.     "Jangan sekalipun kau berani menggoda adikku, Sean! Kau boleh menggoda seribu wanita manapun di luar sana. Tapi, tidak dengan adikku!" ucap Max dengan penuh penekanan.     "Tenang, Dude. Aku tidak tertarik dengan adikmu. Tapi, harus kau ketahui. Adikmu berhutang budi padaku," ucap Sean lagi sembari melirik ke arah Alana.     "Maksudmu?" tanya Max tidak mengerti.     "Oh iya, satu hal yang perlu kau tahu. Adikmu ini gila, Max! Kau tahu, tadi dia secara mendadak me—" Aaarghh!" erang Sean karena Alana yang tiba-tiba saja menendang tulang keringnya.     "That b***h!" umpat Sean sambil mengusap kakinya yang di tendang oleh Alana.      "Dengarkan aku saja, Max. Temanmu ini sangat cocok jadi penulis koran gosip rupanya. Mulutnya sangat pandai mengarang cerita," ucap Alana.     Max mengalihkan pandangan yang awalnya tertuju pada Sean kini menjadi melihat kearah Alana.     "Dia tadi menyetop mobilku secara mendadak! Bayangkan saja, jika saat itu aku tidak sigap menginjak rem? Mungkin, adikmu ini sudah datang ke sini dalam keadaan yang tidak bernyawa!" ucap Sean dengan cepat.     Ia bahkan tidak terpengaruh dengan tatapan membunuh dari Alana.     "Alana, apa benar yang dikatakan Sean?" tanya Max.     Alana kembali memutar kedua bola matanya, "Aku hanya mencoba untuk memberhentikan mobilnya. Yah, mana aku tahu jika tindakanku itu bisa berakibat fatal. Tapi, sudahlah, Max. Lihatlah, buktinya aku baik-baik saja," ucap Alana, berdiri dan memutar-mutar tubuhnya.     "Oh, kau tidak berubah ternyata," ucap Max.     "Berubah apanya?"     "Masih tetap bodoh seperti biasanya!" sindir Max secara terang-terangan.     "Ish! Kau menyebalkan, Max!" protes Alana.     "Dengar! Kau tidak boleh melakukan hal aneh selama berada di Jakarta. Mom dan Dad bisa membunuhku hanya karena aku tak pandai menjaga anak perempuan kesayangan mereka!" Max memberi peringatan.     "Oke! Aku janji tidak akan nakal!" ucap Alana, menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Max.     Itu adalah kebiasaan yang selalu dilakukan Alana dan Max ketika mereka membuat suatu perjanjian.     Sean berdiri, "Sepertinya aku harus pulang sebelum aku muntah melihat adegan romantis kakak dan adiknya," ucapnya.     "Pergilah yang jauh, Tuan pemaksa!" usir Alana.     "Bye, honey. Jangan lupa dengan janjimu." 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD