Chapter 2 - Lost Control

2098 Words
"Ya! Berhenti meminum milikku!" desis Keyna marah sambil mengangkat tinggi dan membalikkan gelasnya yang sudah kosong diatas bibirnya berharap masih tersisa setetes wine disana. Rhea mendengus kesal. "Baru sebotol dan kau sudah mabuk, Keyna?" ujarnya sambil menegak kembali gelas ditangannya. "Apa kau akan tetap berada disana?!" Gestya meneriaki Rhea tepat disamping telinganya. "Aku sudah mendengarmu, b*ngsat!" teriak Rhea tak kalah besar, meletakkan gelasnya dan berjalan mengikuti Gestya menuju lantai dasar. Bergabung dengan para manusia yang sudah tak sadarkan diri. Menari dan tertawa sepuasnya. Rhea hanyut dalam kondisi. Perlahan ia menggerakkan tubuhnya mengikuti dentuman keras. Ini malam minggu jadi tak heran jika klub malam sangat ramai. Beberapa pria tampak berusaha mendekati Rhea, mengikuti pergerakan tubuhnya. Semakin mendekat pada Rhea. Rhea terus bergerak sesuka tubuhnya, tak memperdulikan dunia disekitarnya. Para pria yang menatapnya lapar dan m***m. Bahkan para wanita yang setengah sadarpun menatapnya benci. Gaun minim hitam melekat pas ditubuh sintalnya, menunjukkan bagian tubuhnya yang begitu indah. "Apakah kau menyukainya?" Tanya seorang pria dibelakang Rhea. Tubuhnya sangat dekat dengan Rhea, bau alkohol menguar dari nafasnya. Rhea menoleh dan tersenyum. "Tentu saja." Gumamnya tak jelas. Kembali menggerakkan tubuhnya. Pria itu tersenyum menang, "Bagaimana jika aku membawamu ke tempat yang menyenangkan?" ----- Alvaro mengernyit saat nama Sean tertera dilayar ponselnya. Ia baru saja menjejakkan kakinya di lobby apartemennya saat membalas panggilan telepon Sean. "Ha-" "Tunanganmu, Al." Alvaro mengernyitkan keningnya saat Sean menyebut tunangannya, siapa lagi kalau bukan Rhea? "Rhea? Kenapa?" "Gimana kalo lu kesini aja?" Ajak Sean, ada nada mencibir dalam kalimatnya. "Lihat langsung aja bro." "Ngomong apa sih?" Alvaro menggeram. Sean tidak mungkin mabuk, terlebih ini baru jam 10 malam. Pria itu mungkin baru dalam perjalanan menuju club malam. "Blue Angel." Gumam Sean tak jelas terkalahkan dengan hingar bingar club malam. "10 menit, Al. 10 menit sebelum gadismu dalam bahaya." Alvaro seketika berhenti. Rahangnya mengeras saat mendengar Rhea dalam bahaya. "Katakan apa maksudmu, sialan." Langkah Alvaro kian lebar sampai ia berlari menuju basement, mengemudikan kuda besinya menuju Blue Angels Club. Ponselnya sudah terbanting dikursi belakang saat ia terakhir mendengar kalimat Sean. "Seharusnya kau bisa mengontrol gadismu, Alvaro. Dia tampak seperti gadis kesepian yang perlu ditemani. Mungkin juga dihangatkan?" Semua makian terlontar dari bibir tipis Alvaro, bahkan pedal gas terinjak habis olehnya. Yang terpenting adalah Rhea. Gadis bodoh itu benar-benar harus diberi pelajaran. Langkah Alvaro semakin lebar saat menjejakkan kakinya di lobby club malam, nafasnya terengah karena terburu-buru juga kepalan tangannya yang kian mengetat. Ia melangkahkan kakinya memasuki club, mengedarkan pandangannya sampai netranya menatap dua gadis yang dikenalnya terduduk disebuah meja diujung lorong. Ia mendengus, lalu berbalik menuju tangga. Sekali lagi ia mengedarkan pandangannya sampai akhirnya ia menyipit saat menyadari perhatian banyak orang terpusat pada dua gadis yang setengah sadar dan sedang meliuk dengan wajah senang. "Rhea." gumam Alvaro sambil melangkah menuruni tangga, menyibak kerumunan orang untuk mencapai kediaman Rhea. Kepalan tangannya kian mengetat kala melihat seorang pria mencoba mendekat pada Rhea. "Bagaimana jika aku membawamu ke tempat yang menyenangkan?" Bajingan s****n. Amarah Alvaro tersulut kala mendengar ajakan pria itu pada Rhea. Sebelum Rhea menjawab, apalagi pria itu menyentuh gadisnya, Alvaro melayangkan bogem mentahnya pada wajah pria itu. Bugg.... Akkhhh.... "Menjauh darinya, b******k!" Teriak Alvaro lantang. Rhea yang masih asik meliukkan tubuhnya mengikuti irama menoleh pada pria yang menggodanya. Ia terkapar dilantai, darah segar mengucur dari sudut bibirnya. Rhea tekejut. Namun ia jauh lebih terkejut saat mendongakkan kepalanya, menatap tubuh besar dengan mata berapi-api dan tangan yang terkepal kuat. Tanpa sadar Rhea melangkah mundur, mengerjapkkan matanya beberapa kali dan menatap sosok didepannya lagi. Oh tidak. Gumamnya. "Beraninya kau menyentuh istriku, b******n!" sekali lagi Alvaro menhantam pria itu dengan kepalan tangannya. "Maaf, aku tak tau dia istrimu." Ujarnya. Ia sedikit takut menatap Alvaro yang tampak seperti iblis ketika amarah menguasainya. Alvaro mendengus dan menggeret Rhea menjauh. Mendudukkan Rhea di kursi tingginya. "Apa yang kau lakukan?!!" bentaknya pada Rhea. Rhea menatap Alvaro didepannya, memiringkan kepalanya dan tersenyum tenang, "Kau, apa yang kau lakukan disini?" ujarnya. Alvaro mengacak rambutnya frustasi, "Bukankah tadi aku menyuruhmu istirahat?" matanya menatap lurus pada Rhea. "Keyna, lihat dia." Rhea menunjuk Alvaro dengan telunjuknya sambil menatap Keyna, "Bukankah dia tampan, Key?" tawa Rhea pecah seketika, Keyna ikut terbahak medengarnya. "Kudengar dia mengatakan kau istrinya." Ujar Keyna. "Oh no baby. I'm not his wife." Rhea menggeleng cepat, "Not yet." Rhea kembali tertawa terbahak dengan Keyna. Wanita bodoh! Bagaimana dia bisa semabuk ini? Alvaro menghela nafasnya kasar. Aku sungguh membencimu, Audrea. Audrea yang keras kepala dan bodoh. - Alvaro --- Mentari fajar menembus tirai, membuat Rhea sedikit menggeliat. Entah mengapa ia merasa lebih nyaman daripada pagi-pagi sebelumnya. Ia merasa hangat namun tidak membuatnya kegerahan. Ia menggeliat sekali lagi, sesuatu menekan perutnya juga pahanya. Ia berusaha membebaskan diri. "Berhenti menggeliat." Suara berat itu memenuhi telinga Rhea. Ia tersenyum samar, sejak kapan gue ngebayangin dia? gumam Rhea tak jelas. Ia menarik selimutnya lebih tinggi menutupi seluruh tubuhnya. "Rhea, berhenti bergerak atau aku akan membuatmu terus bergerak." Suara berat itu terdengar semakin serak dan rendah. Rhea menggeliat -lagi- bahkan sekarang ia merasa tubuh belakangnya tertekan sesuatu yang bidang. "Kau sudah gila ternyata, Rhea." Rhea terkekeh kecil, menggeliat lagi dan membalikkan tubuhnya. Menyembunyikan wajahnya dan kembali tertidur. Aku tak akan bisa tidur jika kau terus bergerak seperti ini, bodoh. - desah Alvaro frustasi. Namun kembali membawa Rhea dalam dekapannya berharap gadis itu tertidur dengan tenang. ---- 10.17 AM Rhea menggeliat dengan mata yang masih buram, samar-samar ia mencium sesuatu yang tidak biasanya ia temukan dalam kamarnya. Harumnya terlalu maskulin, seperti Alvaro. Gumamnya tanpa sadar. Ia mencari ponselnya namun tak menemukan apapun, sampai kemudian tubuhnya menegang. Ia merasakan sebuah tangan kekar memeluk perutnya posesif. Hembusan hangat nafas yang menyapu lehernya.  Tengkuknya meremang. Mati gue. Detak jantungnya berpacu cepat, dengan hati-hati dan takut ia membalikkan tubuhnya, "Alvarooooo!!!!!!!!" teriaknya kencang, "Lo ngapain dikamar gue?" "Tidur." Alvaro menarik selimut untuk menutupi tubuh bagian atasnya masih dengan mata tertutup, "Ini kamar gue." "Apa?!" Rhea membelalakkan matanya dan menatap sekitarnya. Ini bukan kamarnya. dengan segera ia bangkit dan menuju kamar mandi tak jauh dari ranjang Alvaro. Namun langkahnya terhenti saat melewati sebuah cermin besar yang menempel pada lemari pakaian Alvaro. "Kayaknya kemarin gue make baju item kenapa sekarang jadi kemeja putih? Gede banget lagi." Rengutnya didepan cermin. "Gue yang ganti kemarin," suara berat itu terdengar lagi, namun lebih ringan dari sebelumnya. Rhea mengangguk mengerti. Tunggu.. Dia.. Alvaro.. Mengganti bajunya? Mengganti bajunya?? "Apaa??!!!!!!!!" Rhea kembali berteriak membuat Alvaro terpaksa bangun dan menyender pada kepala ranjangnya, "Apa yang kau lakukan?" Rhea menatap Alvaro cemas. Alvaro menggidikkan bahunya, "Kau yang memintanya padaku, Rhea." ujarnya tenang, "Bahkan sampai memohon." Rhea merasa wajahnya panas sekarang. sangat panas. Dengan cepat ia berlari menuju kamar mandi dan menguncinya. Alvaro yang masih duduk manis diranjangnya terkekeh pelan, ia bahkan sudah ingin tertawa keras melihat bagaimana Rhea merona didepannya hanya karena perkataannya. Rheanya. Gadisnya. Miliknya. "b******k!" cemooh Rhea menatap cermin yang memantulkan bayangannya, "Kenapa bisa gue jadi sama dia? Kemarin gue dugem juga cuma sama para manusia pengganggu itu deh." Rhea berusaha mengingat, namun kepalanya pusing. Ia merasa mual sekarang. Namun jauh didalam hatinya sebenarnya ia sedikit lega, apapun itu ia bersama Alvaro. Jadi setidaknya tak akan muncul masalah karena Alvaro adalah calon suaminya. Rhea tersenyum samar, ia merasa pipinya kembali memanas, ia yakin wajahnya pasti lebih merah dari tomat sekarang. "s****n!" Segera ia membasuh tubuhnya dengan air dingin agar tubuh dan pikirannya juga mendingin. --- "Dimana mobilku, Al?" Rhea mengeringkan rambutnya dengan handuk saat keluar dari kamar mandi. Tak ada jawaban. "Alvarro..." suara Rhea mengecil saat melihat Alvaro. Pria itu masih tertidur, bergelung dengan nyaman dibalik selimut tebalnya. Wajahnya terlihat tenang, nafasnya teratur. Rhea tak bisa menahan senyumnya. Perlahan ia mendekat, berjongkok di sisi ranjang dan menatap Alvaro. "Dia bahkan masih megang ponsel, sibuk banget." Rhea menatap ponsel hitam itu malas. Drrrttttt...... dddrrrrttttt..... dddrrrrrrrtttttttttt... Alvaro membuka matanya cepat dan menangkap mata Rhea yang lurus menatapnya. Rhea terkejut dan mengalihkan pandangannya segera. Sekilas ia melihat Alvaro menggerakkan ibu jarinya menggeser layar ponsel. "Halo," sapanya saat menerima panggilan namun tak mengalihkan pandangannya pada Rhea, membuat Rhea merona tanpa sadar. "Baiklah.." ujarnya lagi lalu membuang ponselnya sembarangan. "Kenapa?" Tanyanya pada Rhea yang kini sudah hendak bangun dan berjalan menjauh. "Tidak." Teriak Rhea. Alvaro mengernyitkan keningnya, ia sungguh ingin menggoda gadisnya itu. Ini kedua kalinya dalam kurun waktu 60 menit. "Tunggu disini. aku akan turun dan mengambil pakaianmu yang kupesan." Ujarnya sambil beranjak bangun dari ranjang. Memakai kaos putih polosnya dan melewati Rhea keluar kamar. --- "Cukup?" Tanya Alvaro saat melihat Rhea sibuk dengan roti dan selai di meja makan kemudian duduk dihadapannya. "Apa?" Rhea menatap Alvaro bingung. Alvaro menunjuk tubuhnya dengan dagu. Rhea mengangguk mengerti, "Bagaimana kau bisa tau ukuranku?" Alvaro menatap Rhea datar, timbul ide nakal dikepalanya. Dengan senyuman lembut ia menatap Rhea, "Bagaimana bisa aku tak tau jika aku merasakannya semalam?" Rhea tersedak seketika, wajahnya merah padam antara malu, marah, dan gemas ingin menjambak mulut manis Alvaro. "Kau!" Rhea meletakkan gelasnya dan mengacungkan pisau selai tepat didepan Alvaro, "Katakan padaku apa yang kau lakukan padaku semalam!" desisnya. Alvaro berusaha membuat wajahnya sedatar mungkin, "Kau tak mengingatnya?" tanyanya dengan satu alis terangkat seolah ia heran. "Kau yang memohon padaku untuk melakukannya. Kau merengek padaku, Rhea. Bagaimana bisa pria normal sepertiku menolaknya?" ujarnya lagi dalam nada tenang. "Kau mem-" "Hentikan!" potong Rhea cepat. Ia sudah tak sanggup mendengarnya lagi. Apa dia begitu mabuk semalam sampai ia bisa seperti jalang murahan yang menawarkan tubuhnya pada seorang pria? Rhea menggeleng kasar. Beranjak dari meja makan dan kembali menuju kamar Alvaro. Alvaro hanya tersenyum menatap Rhea yang linglung padahal ia sangat ingin tertawa. Kau sangat bodoh, Rhea. Dan aku menyukainya. - Alvaro --- Alvaro menatap Rhea yang tengah sibuk didepan cermin, menghadap kesana kemari memastikan tampilannya rapi. "Kau akan pergi?" Tanya Alvaro. Rhea mengangguk, "Aku harus kerja." Ujarnya lagi. "Oh ya, dimana mobilku?" Alvaro terlihat kikuk, "Kau tidak melupakannya kan?" selidik Rhea. Tak ada jawaban. "Ya! Apa kau membiarkan mobilku semalaman berada di underground parking area?!" desak Rhea. Alvaro menatap Rhea dengan perhitungan, "Maafkan aku, aku tak sempat memikirkan apapun karena kau terus merengek padaku, sebenarnya aku ingin menyuruh seseorang untuk mengambilnya tapi bahkan kau tak membia-" "Berhentii..!!!!!!" potong Rhea dengan suara keras. "Cukup dan jangan ungkit itu lagi dihadapanku!" desisnya marah. Alvaro menarik nafas yang terdengar seperti nafas lega, "Aku akan mengantarmu sebagai permohonan maaf." "Lalu Veyron?" "Aku akan menyuruh seseorang untuk mengambilnya dan mengantar ke rumah sakit." Jawab Alvaro tenang. "Baiklah." --- Minggu, 15.35 "Kemana aja lu? Etdah baru gue ajak nuker shift lo langsung dateng telat. Sialan." Umpat Arka saat melihat Rhea melangkah santai menuju ruangannya. "Masih mending gue mau tuker shift, tau gitu gue kagak mau tuker shift deh sama tu cowok gila." Desis Rhea kesal. Tak terasa jam berlalu cukup cepat. Rhea memandang arlojinya. "Satu setengah jam lagi gue pulang," ujarnya pada dirinya sendiri. Rasanya kakinya seolah ingin segera beranjak meninggalkan rumah sakit ini. Meskipun Rhea pewaris tunggal dari rumah sakit tempatnya bekerja ini, ia sama sekali tak menunjukkan kekuasaannya, dia bersikap sama saja didepan siapapun. Begitulah Rhea. Bahkan hanya segelintir orang yang mengetahui bahwa ia adalah pewaris tunggal yayasan rumah sakit tersebut. Salut sama Rhea. Demi membunuh rasa bosan, Rhea berjalan menuju kantin di lantai satu. Namun entah mengapa kakinya seolah berjalan menuju UGD. Rhea tersadar saat seorang suster menubruknya karna tergesa gesa membawa peralatan medis. "Yaiiss, gabisa ati ati apa yaa," ujar Rhea seenaknya sambil berjalan melihat-lihat. "Rhea," Rhea menoleh dan mendapati Karin memanggilnya. "Apaan?" jawab Rhea sambil duduk santai di dekat resepsion UGD. "Lo bisa bantuin gue?" Tanya Karin. "Tolong check kondisi pasien atas nama Dewi Wulantari sama Prasetya di kasur 07 sama 15. Gue harus urusin pasien ini lebih dulu." Lanjut Karin. "Etdah lo mintak tolong tu yang normal dong, lo nanyak tapi asal nyerocos aja, belum tentu gue mau bantu elo." Decih Rhea sambil bangkit menyambar stetoskop dimeja resepsion UGD dan segera menuju pasien yang dikatakan Karin. "Udah buruannn..." Seru Karin kemudian. "Selamat malam, saya Rhea. Dokter umum dirumah sakit ini" ujar Rhea lembut sambil tersenyum. Ia mulai mengeluarkan stetoskop, "Saya periksa dulu yaa," Rhea menempelkan stetoskopnya pada tubuh pasien dan mulai memeriksa. Rhea berjalan santai menuju resepsion UGD sambil memainkan stetoskop di tangannya. Dua pasien yang diserahkan Karin padanya sudah selesai diperiksanya. Ia bersenandung santai sampai kemudian suara ribut muncul dari pintu UGD. Tampak olehnya 2 lelaki berjas berlarian mengikuti kasur ambulan yang bergerak mendekatinya. Tapi kemudian.... Rhea memucat, Matanya membulat sempurna, Aliran darahnya seolah terhenti begitu saja. Bertabrakan dengan jantungnya yang berdetak jauh lebih kencang. Rhea melangkah sambil menahan nafasnya tanpa sadar, Degg... Jantungnya yang seolah berpacu begitu kencang mendadak berhenti begitu saja. Meninggalkan sesuatu yang terasa menyakitkan. Bibirnya mengatup rapat saat mengetahui siapa yang berada di atas brankar ambulance tersebut. Alvaro. Ya. Alvaronya. Tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD