Dua

1563 Words
Setibanya Julia di depan apartemen, ia langsung beranjak menuju parkiran dengan langkah besar. Didapatinya sebuah truk berukuran sedang, yang membawa barang-barang miliknya. “Mrs. Ross?” tanya seorang pria keluar dari dalam truk sambil mengulurkan tangannya pada Julia.   Julia mengangguk lalu menyambut uluran tangan supir truk yang telah ada di hadapannya. Telapak tangan yang lebar. Disana Julia juga mendapati keberadaan Margareth. “Kalian bisa pergunakan lift barang untuk memindahkannya,” saran dari Margareth. “Terima kasih, Margareth.” Barang-barang milik Julia mulai dipindahkan. Mulai mengisi apartemen barunya yang masih kosong. Tak banyak yang Julia bawa. Ia hanya membawa barang-barang yang ia beli. Tak ada barang yang berhubungan ke Rob. Julia juga sudah membeli ranjang baru yang akan menemani malam-malamnya. Julia ingin mengubur dalam-dalam semua masa lalunya tanpa tersisa. Barang-barang berukuran besar semuanya sudah masuk dalam apartemen. Meskipun belum dapat ditata pada tempatnya, paling tidak sudah ada di dalam, itu yang menjadi pertimbangan bagi Julia. Sungguh tidak pernah terbayangkan oleh Julia sebelumnya jika keputusannya untuk pindah ke LA akan menguras tenaga dan pikirannya. Butuh waktu nyaris 3 jam sampai truk yang membawa barang Julia pergi meninggalkan parkiran apartemen. Tersisa dua buah kardus berisi buku-buku dan beberapa barang pemberian teman-temannya di New York. Mungkin terlihat sepele, namun bagi Julia sangat berharga. Jarum jam menunjukkan pukul 5 sore. Langit mulai berubah warna menjadi jingga, merayap menuju gelap. Matahari yang bergelantung rendah menuju peraduan. Julia melangkahkan kaki menyusuri taman menuju pintu lobi apartemen. Dan kedua tangannya penuh dengan dua kardus di tangan kanan dan kiri. Julia harus melewati sebuah pintu lobi yang tampak tertutup. Ia mencoba mendorong pintu dengan tubuhnya, sampai seorang pria yang tiba-tiba muncul untuk membantu Julia dengan memegangi pintu agar tetap terbuka. “Terima kasih,” ucap Julia dengan senyuman. Pria itu mengangguk pelan dengan senyuman yang manis. Pria bertubuh atletis dibalik t-shirt yang membungkusnya dengan ketat. Sungguh tampan, pikir Julia.   “Sepertinya saya baru melihat Anda,” tukas pria itu. Ia berjalan selangkah didepan Julia. “Iya, saya baru pindah hari ini.” Julia berucap untuk menjelaskan. Pria itu berbalik dan menjulurkan tangannya kehadapan Julia, “Kenalkan namaku, Max Dalton.” Suaranya terdengar sangat lelaki. Julia hanya menatap pria itu. Sesungguhnya Julia tidak dapat membalas uluran tangan pria tampan dihadapannya karena kedua tangannya penuh. Pria itu tampak bingung pada awalnya, sebelum tiba-tiba terkekeh saat menyadarinya. “Biar aku bantu bawakan, aku memang pria b******k,” kata Max sambil meraih salah satu kardus dari tangan Julia tanpa bisa Julia cegah. Julia hanya tersenyum geli. Mereka saling melirik malu. Mereka meluncur menggunakan lift. Tak ada percakapan, hanya keheningan dan saling mencuri pandang. Max tinggal di lantai 10, angka yang di tekannya pada tombol lift. Dan sesampainya di lantai tersebut. Pintu terbuka secara otomatis. “Aku sudah sampai,” Max memulai percakapan. “Terima kasih bantuannya, Max,” ucap Julia dengan penekanan di akhir kalimatnya. “Senang berjumpa denganmu…” kalimat Max menggantung dan menatap Julia intens. “Julia. Ya, namaku Julia Ross,” Julia menyebutkan nama lengkap dirinya dengan suara yang jelas. Max tersenyum. Senyum menawan di wajah tampannya. “Sampai bertemu lagi, Julia. Bye,” pamit Max keluar dari lift. “Bye,” desis Julia seiring pintu lift yang kembali tertutup. Meninggalkan dirinya sendirian dalam ruang sempit ini.   *** Dear Julia,   Aku kirimkan dokumen yang dirimu minta Dear.   Lily   Pesan email dari Lily yang masuk dalam inbox Julia. Ruang apartemen Julia malam ini masih berantakan. Kardus-kardus masih tergeletak memenuhi isi ruangan. Julia butuh waktu untuk merapikannya perlahan. Tangan Julia meraih tas miliknya yang tergeletak di lantai dengan terbuka, mencari ponselnya lalu menekan nomor telepon Lily. Dering kedua terdengar jawaban dari seberang sana. “Hallo Lily, terima kasih untuk emailmu,” ujar Julia memulai percakapan. Julia berjalan ke arah balkon. Menggeser pintunya dan berdiri disana. Kegelapan malam terbentang di hadapan Julia, dengan semilir angin yang menusuk hingga ke sum-sum tulang. “Aku hanya membantu saja. Bagaimana barang-barangmu?” tanya Lily dengan suara antusias. Julia menghela nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ia merasa Lily selalu memiliki energi lebih. Dan Julia merasa beruntung memiliki Lily sebagai sahabatnya. “Besok aku akan membereskannya. Dan aku tidak bisa ke kantor besok,” jawab Julia dengan penyesalan diakhir kalimat. Julia memutuskan kembali masuk ke apartemen, meninggalkan balkon. Terdengar suara juicer dari ponsel Lily. Sepertinya gadis itu sedang membuat juice. “Kau ingin aku membantumu?” tanya Lily menawarkan diri. Julia melayangkan pandangannya ke seluruh ruangan. Ruangan yang bak kapal pecah. “Tidak perlu, Lily. Terima kasih. Aku akan membereskannya sendiri.” Lily menuang juicenya dalam sebuah gelas besar, meneguknya dengan cepat. Julia dapat mendengarnya dari telepon yang menempel di telinganya. Mendengar setiap teguk yang masuk dalam kerongkongan Lily. “Aku baru akan masuk hari Senin ya. Jika ada yang mencariku.” “Ya. Baiklah. O iya. Aku ingin mengingatkanmu ada pertemuan hari Senin di hotel Normandi,” Lily mengingatkan Julia akan sebuah pertemuan sambil membuka agenda ditangannya. Julia menelan ludah saat mendengar kalimat yang meluncur cepat dari mulut Lily. Mencoba mengingat. Dan Julia merasa tetap tak bisa mengingatnya. Keheningan menyelinap beberapa saat, seakan Lily memberi Julia jeda waktu untuk mengingat. Dan ia merasa tetap tak bisa mengingatnya. “Peluncuran buku milik Charlie. Dia mengundangmu sebagai tamu istimewa, Julia sayang.” Suara Lily terdengar antusias. Otak Julia berputar untuk mengingat agendanya sendiri. “Aku akan menghubunginya nanti. Terima kasih, Lily. Kau memang sahabat yang baik. Ya Tuhan, aku merasa beruntung memilikimu,” ujar Julia dengan suara yang merasa diberkati. Julia tersenyum lebar dengan kelegaan seorang diri. “Kau ini. Baiklah aku akan membiarkanmu untuk istirahat. See you, Dear.” Lily memutus telepon. Julia meletakkan ponsel miliknya diatas meja. Beranjak dari duduk menuju kamar. Hanya ruang kamar tidurlah yang sudah ia bereskan. Tertata sesuai dengan keinginannya. Julia berusaha untuk membuat tempat tinggalnya senyaman yang ia harapkan. Julia merasakan tubuhnya lengket karena peluh dan butuh segera untuk mandi. Butuh menyegarkan diri. Ia berjalan ke arah kamar mandi. Menyalakan kran di bathtub. Meraih handuk yang kemudian diletakkan tak jauh dari bathtub. Julia ingin berendam, ingin memanjakan dirinya sendiri. Sambil menunggu air memenuhi bathtub, diraih sikat gigi dan pasta gigi yang Julia tempatkan di sebuah wadah diatas wastafel. Menggosok gigi, dan dilanjutkan membersihkan wajah mulusnya dengan sabun khusus wajah. Julia mengamati wajahnya sendiri yang penuh busa sabun. Merenung sesaat. Didapatinya guratan yang mulai muncul di keningnya. Keheningan mengiringi Julia masuk ke dalam bak mandi. Menanggalkan seluruh pakaiannya di lantai. Pakaian, bra dan celana dalam miliknya teronggok di lantai. Rambut panjangnya yang tergerai, Julia jepit ke atas. “Oh God,” desis Julia dengan mata memejam saat air yang dingin menyergap tubuh telanjangnya. Terasa begitu menyenangkan dikulit, membangunkan saraf-saraf ditubuhnya yang lelah. Tinggi air sudah mencapai setengah bathtub. Sudah menutupi tubuh Julia. Julia meluruskan kaki jenjangnya, merendam tubuhnya. Dingin yang terasa begitu menyenangkan. Julia meraih kepala kran air untuk mematikannya. Keheningan yang menenangkan, sesekali Julia menenggelamkan diri sendiri sampai kepalanya masuk dalam air. Bertahan beberapa saat kemudian muncul kembali. “Terima kasih Tuhan,” desis Julia dengan khidmat.   *** “Julia Ross, aku ingin menikmati tubuh seksimu,” desis seseorang sambil menatap layar CCTV dihadapannya. Menyaksikan tubuh Julia yang telanjang tanpa sehelai benangpun. Dijulurkannya tangan untuk memperbesar object di layar. Tepat pada bagian p******a Julia. “Aku ingin menghisapnya, membuatmu berteriak meminta dan memohon,” gumamnya, matanya berkabut gairah, tangannya menggosok-gosok miliknyanya yang ia keluarkan dari dalam boxer. Miliknya yang tegak hanya dengan melihat seorang Julia Ross telanjang di apartemen.   *** Ding!!! Suara lift terbuka, Julia berjalan keluar meninggalkan lift dibelakang langkahnya. “Hello Julia.” “Hai Nick,” balas Julia pada Nick sambil lepas lalu, pria yang bertugas menjaga keamanan apartemen. Nick juga yang kemarin membantu Julia untuk memindahkan barang-barang. Julia berjalan menyusuri taman di depan apartemen. Hari Jumat yang cerah bagi Julia. Beberapa orang sedang menikmati pagi hari mereka dengan bersantai di kursi taman. Julia berjalan menyeberangi jalan menuju sebuah mini market yang letaknya tepat di seberang apartemen yang dia tinggali. Hari ini Julia memiliki banyak hal yang harus dia lakukan, dan semuanya sudah ia buat dalam bentuk catatan. Julia tak ingin melupakan dan ada yang terlewati. Mini market yang ramai pengunjung. Disambarnya sebuah keranjang belanjaan. Rak berjejer. Julia memutuskan untuk mulai memilih dari keperluan dapur, menyusuri rak-rak mini market. Memasukkan barang-barang yang memang dibutuhkannya. Dalam waktu 15 menit keranjang ditangan kiri Julia sudah hampir penuh. Dan tanpa ia sadari seseorang sedang mengamati dirinya dari balik salah satu rak. “Hi Julia,” sapa seseorang keluar dari balik rak. Sapaan yang membuat Julia terkejut hingga membuatnya mengelus d**a. Julia menghela nafas dalam-dalam, dan menghembuskannya perlahan. “Hi. Kau--” kalimat Julia menggantung, ia mencoba mengingat sambil menarik nafas. “Aku Dave. Kita bertemu di--“ “Lift,” sambar Julia cepat. Mereka mengangguk seakan sepakat. Tersenyum bersama. “Ada yang bisa aku bantu untukmu, Dave?” Pria itu menggeleng. Keduanya berjalan perlahan menuju kasir. Terlihat antrian beberapa orang di depan mereka. Sepertinya tidak akan lama jika melihat isi keranjang orang-orang itu. “Kau…aku melihatmu mirip sekali dengan Grace,” ujar Dave dengan suara pelan bahkan nyaris berbisik. Kening Julia berkerut. Ia merasa tidak paham dengan yang dimaksud pria di hadapannya. Pria yang menurut Julia berusia sekitar 50 tahunan. “Maksudmu?” pertanyaan yang refleks meluncur dari mulut Julia. Dave mendekatkan dirinya ke arah Julia. “Apa hubunganmu dengan Grace? Dia…Dia seorang model yang ditemukan mati karena jatuh dari balkon apartemen,” Dave menjelaskan panjang lebar dengan suara yang nyaris membuat Julia terperanjat. Ia menatap Dave dengan tatapan bingung, dirinya terkejut dengan hal yang baru didengarnya. Julia masih menatap Dave dengan kelopak mata melebar. Antrian berkurang 1, Julia dan Dave serempak melangkah ke depan. “Kalian mirip sekali. Apakah kau--” “Tidak,” tangkis Julia cepat. Ia menelan ludah. Melirik ke kanan dan kiri. “Aku tidak memiliki saudara. Aku anak tunggal,” sambung Julia lagi. Kali ini Dave yang terkejut. Ia menatap Julia dengan tatapan tak percaya. “Mustahil,” desis Dave, meletakkan belanjaannya di sembarang tempat dan meninggalkan diri Julia dalam antrian. Julia juga menatap bingung dengan sikap Dave. Pria itu telah menghilang di keramaian jalan. Julia menghela nafas panjang. Hingga ia tidak menyadari antrian telah sampai pada dirinya.   ***                                    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD