Tiga

1998 Words
  Satu persatu barang diletakkan pada tempat yang menurut Julia di posisi yang tepat. Dengan suka cita Julia menyusun pajangan-pajangan pemberian sahabat-sahabatnya di atas meja. Frame foto berjejer dari ukuran yang besar hingga kecil, moment yang berbaris rapi. Lukisan yang tergantung di salah satu dinding. Ruangan apartemen yang akan membuatnya nyaman untuk tinggal. Disinilah hidup Julia kini. Julia menyelesaikan semua yang direncanakannya saat hari menjelang sore, dengan secangkir kopi yang masih mengepul, sosok Julia yang tinggi semampai berjalan ke arah balkon, berdiri disana sambil menikmati kopi dalam mug digenggamannya erat, dengan diselingi hembusan angin sore yang menerpa wajah cantiknya. Langit mulai berubah warna, memancarkan seburat jingga di garis batas peraduan. “Apa hubunganmu dengan Grace. Dia... Dia seorang model yang ditemukan mati karena jatuh dari balkon apartemen.” Kalimat Dave yang terngiang kembali di telinga Julia bagai musik yang di putar ulang. Mata coklat milik Julia menatap ke bawah, didapatinya hamparan hijau taman. Lalu menatap ke atas. Mendongakkan leher jenjangnya. Bangunan yang menjulang beberapa lantai diatasnya. Julia terdiam sesaat membayangkan cerita yang didapatkan dari Dave hari ini. “Grace,” desisnya berhasil mengingat nama wanita yang dikatakan mirip dengan dirinya. Banyak pertanyaan yang mengisi ruang kepala Julia saat ini. Semua terhampar bak puzzle dalam potongan kecil. Julia beranjak masuk apartamennya kembali, mengunci balkon. Melangkah menuju kamar mandi. Rutinitas dimulai Julia dengan melepaskan semua pakaiannya saat memasuki kamar. Ia merasakan tubuhnya lengket karena keringat. Dengan ketelanjangannya, langkah kaki Julia tertuju ke kamar mandi, menyiapkan bathtub dengan air hangat. Memandangi tubuh polosnya di dalam cermin depan wastafel. Menatap dengan lurus. Hingga sebuah rasa tiba-tiba mendesir dalam jiwa Julia, bagai serbuan badai dan membekap dirinya. Rasa sepi, rasa rindu, dan rasa membutuhkan seseorang yang dapat membahagiakannya. Perasaan kosong yang tiba-tiba hadir. Menyeruak dari dalam dirinya. Julia menyadari dirinya juga seorang wanita yang bisa merasakan kesepian, rasa ingin dicintai meski Julia selalu berusaha untuk menghindarinya. Julia menyentuhkan telapak tangannya sendiri pada leher jenjangnya, gerakan yang pelan diatas kulit halusnya, kemudian turun ke bahu, lalu menuju p******a miliknya. Rasa yang mulai terbangun, Julia mulai memainkan jemari lentiknya di kedua p****g, dan refleks Julia menggigit bibir bawahnya sendiri, menahan rasa yang dia ciptakan sendiri. "Hmmm..." desahan Julia saat jarinya sampai di titik kewanitaannya. Julia dengan tidak sabar mencari klirotis miliknya, mencari apa yang dia dambakan. Jemari Julia terus bergesekan dengan titik di pusat dirinya, menyentuh perlahan dan gerakan yag seirama hingga ia merasakan ingin meledak jika saja bayangan di kepalanya tidak datang mengintimidasi. Memporak porandakan dunianya. “Kau memang wanita yang tidak becus memuaskanku, Julia. Kau wanita payah untuk sex.” Makian Rob yang selalu mengisi kepala Julia. Suara mencemooh, nada yang mengejek dan tawa panjang serta seringai jahat yang masih teramat jelas dalam ingatan Julia Ross. Seketika dunianya runtuh, dirinya terhenyak dengan nafas naik turun. Menatap nanar dirinya sendiri dalam cermin. “Kau begitu menyedihkan Julia. Sexmu payah. Tubuhmu tak berguna.” Suara Rob lagi. Sekali lagi Julia menatap dirinya di dalam cermin. Matanya mulai merah, nafas yang tak beraturan, dan rambutnya yang acak-acakan. Terasa menjijikan dan beratakan, hingga menyulut amarah yang mulai terbangun. “Julia Ross, sehebat apapun karirmu, kau tetap wanita payah di ranjang.” Hinaan lainnya yang masih terus terngiang. Bak alunan musik yang diputar ulang tanpa jeda. Bayangan wajah Rob melintasi kepala Julia. Berulang dan berulang, Julia meggelengkan kepalanya seakan mampu mengusir bayangan di kepalanya. Hingga ia menatap kembali dirinya di cermin, namun halusinasi telah membekap dirinya, jiwanya dan juga alam sadarnya. Wajah Rob tampak nyata muncul di dalam cermin di hadapan Julia. “Tidaaaakkk!!!,” teriak Julia sambil melempar sebuah gelas ke dinding dan seketika terdengar suara keras, praaaaanggg!!! Pecah seketika. “k*****t kau, Rob!!!” pekik Julia kencang memenuhi seisi ruangan. Nafasnya naik turun tak beraturan, tangisnya pecah memenuhi ke setiap sudut kamar miliknya. Tangis yang tak mampu lagi ia bendung. Tubuh Julia terasa oleng, hingga berpegang pada tepian wastafel dan Julia terduduk di lantai. Kaki yang bagai jelly membuat Julia merambat ketepian bathtub, menangis tersedu-sedu, meratapi dan mencoba menyingkirkan suara-suara b******k ditelinganya. Rasanya begitu menyiksa bagi Julia. Masa lalu yang terus menghantui kehidupannya, bahkan alam bawah sadarnya masih terluka hebat.   Berselang 30 menit kemudian. Tik tok tik tok.   Dalam kamar yang hening dan temaram, saat Julia merasakan kantuk yang tak mampu ia tahan lagi usai tangisnya, meratapi hal yg sudah lalu. Julia dengan tubuh yang masih telanjang tanpa mengenakan apapun, membuka nakas dengan tangan gemetar, mencari sesuatu yang teramat ia butuhkan saat ini. Masih ada sisa tangis dalam tarikan nafas Julia, diacak-acaknya seisi laci hingga beberapa potongan kertas terjatuh ke lantai. Sebuah botol yang tertutup rapat berisikan beberapa tablet obat berukuran sedang, dikeluarkannya satu tablet. Meletakkannya diatas lidah. “Minumlah ini saat kau mulai gelisah Julia,” pesan dokter psikiatri yang menanganinya paska perceraian. Dengan segelas air yang selalu Julia sediakan di dalam kamar, ditelannya obat itu hingga meluncur dengan mulus dalam tenggorokannya. Tangan yang kian terasa gemetar. Kepala mulai terasa berat. Dan Julia langsung membaringkan tubuhnya, mengabaikan tubuh polosnya, ia berbaring di atas kasur. Julia merasakan tubuhnya lelah secara emosional, kepala yang tiba-tiba kosong bagai ditarik dalam gelombang masa lalu. Julia merasakan kegelisahan yg teramat sangat. Tubuhnya seakan meronta dalam depresi yang tiba-tiba berulang. Kejiwaan Julia sakit, dan ia sepenuhnya sadar akan hal itu. Julia mengejang dalam rasa yang ia tangisi. Julia menyentuh semua bagian tubuhnya, membangun gairah yang dia tidak sadari. Julia berbaring miring, searah dengan sebuah cermin yang menempel di salah satu sisi dinding bercat putih bersih. Julia terus memilin kedua p****g miliknya yang sudah mengejang karena rasa dingin ruangan, dan ia merasakan kewanitaannya mulai berkedut. Jemari Julia dengan rakus mencari klit yang dia rasakan mulai basah diantara kedua pahanya. Julia terus menggesekkan jemarinya sendiri, membuka lebar kedua kakinya dan gerakannya kian lama kian memuncak dan ia merasakan klimaks yang dibuat sendiri hingga membawanya terlelap dalam tidur, dalam tangis yang tidak ia sadari.   ***   “b*****t!! Kau membuatku ingin menjilat klitmu, Julia Ross,” desis seseorang saat menyaksikan Julia  menggmencapai puncak kenikmatan dengan menggunakan jarinya sendiri diatas ranjang tidurnya. Pria itu bergegas meninggalkan apartemen miliknya dengan pengaman yang sudah terpasang di miliknyanya. Dengan langkah lebar ia meninggalkan ruangan miliknya. Ditekannya tombol lift lantai dimana Julia berada. Lift meluncur cepat dan hanya dalam hitungan menit lift berhenti mulus di lantai 12. Lorong yang sepi. Dan dengan akses yang ia miliki, ia mampu masuk ke dalam apartemen siapapun, termasuk apartemen milik Julia Ross. Dapat dipastikan tidak ada sosok lain yang melihat kemunculannya. Jam menunjukan pukul 23.00. Didapatinya ruangan yang gelap, hanya lampu yang menempel di dinding yang menyala. Temaram namun masih tampak jelas di pupil matanya yang mulai melebar. Pria itu bergegas menuju ke kamar milik Julia, dan matanya langsung berkabut gairah saat didapati tubuh telanjang Julia yang terkulai di atas ranjang tanpa selimut. Kulit yang putih mulus. Miliknya sudah berkedut, membengkak dan butuh pelampiasan. Pria itu langsung menanggalkan seluruh pakaian yang dikenakannya, dan membebaskan miliknya yang sudah terpasang pengaman dari dalam celana. Pria itu berjalan ke meja nakas, mengeluarkan sebuah botol kecil, meneteskan sesuatu dalam gelas air putih milik Julia yang ada di atas nakas. Ditatapnya Julia, ia telah menyiapkan sesuatu sebagai tindakan antisipasi jika Julia terbangun. Julia tidur tak bergerak, tertidur dengan posisi yang begitu menggoda. Gairah yang telah memuncak. Pria itu langsung menyentuh kulit mulus Julia yang polos tanpa penutup. “Kau sungguh terlihat lezat, Julia,” desis pria itu sambil meraba kulit perut Julia sebagai permulaan dan merambat ke dadanya, membelai lembut keduanya bergantian. Pria itu mengusap dengan gerakan melingkar dengan ujung jarinya pada kedua buah d**a milik Julia. “Hmmm…” erangan pelan yang meluncur dari mulut Julia di alam bawah sadar. Kaki Julia menggeliat. Pria itu kemudian menyicip milik Julia yang sudah mengeras dan tampak menggoda hingga miliknya berkedut hebat. “Hmmm...” desahanan Julia yang kembali terdengar kali ini penuh kenikmatan dengan mata yang masih terpejam rapat. Dan tiba-tiba jemari Julia bergerak-gerak seakan mencari titik dirinya. Pria itu mengikuti gerak jemari lentik Julia. Pria itu tersenyum miring sambil menyingkirkan jemari Julia dan mengganti dengan lidahnya. Perlahan pria itu menjilat organ intim milik Julia dengan awal yang lembut hingga Julia membuka kedua pahanya dengan sendirinya, tanpa diperintah, tanpa paksaan. Jilatan yang membuat kewanitaan Julia basah dan terasa membutuhkan pelampiasan. Dengan lembut namun menguasai pria itu melumat titik pusat Julia tanpa ampun, mengecap semua rasa, bermain-main dengan lidah yang menggelitik klit yg berkedut hingga Julia tersadar dan seketika terduduk dengan kedua paha yang terbuka lebar. Titik yang dirasa Julia mengeluarkan cairan hangat. Nafas Julia terdengar cepat, naik turun tak beraturan. Keningnya basah, dan tak hanya itu, Julia juga mendapati dirinya yang tiba-tiba klimaks. Kedua pahanya terasa lembab. Diraihnya gelas berisikan air putih yang masih tersisa setengah diatas meja nakas. Menenggaknya hingga habis, mengusir dahaga yang Julia rasakan pada tubuhnya. “Ya Tuhan, aku merasa seperti nyata,” desis Julia pelan seorang diri diantara keheningan kamar tidurnya. Mata coklat Julia menyapu tiap sudut kamarnya, tak ada siapapun. Ia bangkit dari tempat tidur, berjalan keluar kamar dengan tubuh polos, dan hanya ruang gelap yg menyambut dirinya. Tiba-tiba Julia merasakan kepalanya pusing. Terasa berat dan pandangan matanya berkunang-kunang. Tubuh Julia terasa tak imbang hingga dia merasa perlu berpegang pada dinding didekatnya agar tidak terjatuh. “Kenapa kepalaku terasa sakit?” tanya Julia bingung seorang diri. Julia memutuskan untuk kembali ke ranjangnya dan langsung merebahkan diri. Langit-langit kamar yang ditatapnya seakan bergerak. Berputar-putar dan kegelapan menyergap Julia, bagai meninjunya telak. “Rasanya aku...” Julia meracau tidak sadarkan diri. Ia kembali terlelap dalam tidurnya yang kian dalam. Tidak butuh waktu lama bagi pria itu untuk kembali muncul dari persembunyiannya, setelah beberapa menit selepas Julia tertidur. Tubuh Julia sudah tak bergerak. Julia tertidur dalam posisi telentang dengan kaki terjuntai, dan pria itu memisahkan kedua paha mulus Julia. Ditekuknya sebelah paha di atas kasur, dan yang satunya dibiarkan tetap terjuntai. Menampakan milik Julia yang terlihat menggoda dengan kelembapan. Pria itu memulainya lagi dengan mencium bibir Julia dengan lembut, menjelajahi tiap inci kenikmatan yang tersaji hingga ia mendapatkan respon dari Julia dengan balasan ciuman yang berubah menjadi liar. Keduanya saling melahap, lidah bertemu lidah, hingga Julia terdiam beberapa saat ketika ciuman pria itu jatuh ke leher jenjangnya yang mulai berkeringat. Bermain dengan telinga Julia, menjilat disana dengan gerakan berirama. Julia mencoba untuk menghirup oksigen sebanyak yang dia butuhkan. Kesadaran yang terasa samar bagi seorang Julia Ross. Nafas dan kerja jantungnya yang tiba-tiba cepat. Mereka saling bertatapan sekilas. Mata Julia terasa berkabut. Antara batas nyata dan halusinasi yang dirasakan Julia, ia mendapati sosok seorang pria tampan, dengan alis tebal, dan mata indah yang saat ini sedang menatapnya dengan tatapan penuh gairah. Pria itu tersenyum menatapnya yang polos, dan tatapan kosong. “Kau…” “Hi Julia,” sapa pria itu dan langsung meraup kedua p******a Julia yang ada dihadapannya, menghisap dan menjilat silih berganti hingga Julia mengejang dengan tubuh melengkung mengabaikan segalanya. Otaknya seakan kosong. Seluruh tubuh Julia dalam kendali pria itu. Obat yang mengandung zat s*op*lamine yang diteteskan pada minuman milik Julia, mulai bekerja dalam tubuhnya. Julia bagai terhipnotis, meski ia terjaga dan ia melakukan semuanya tanpa tekanan dan intimidasi. Pria itu mulai menggesekkan ujung miliknya pada permukaan milik Julia yang mulai basah lagi, gerakan yang sangat lembut dan naik turun. Julia mulai mengeluarkan desahan panjang. Pria itu terus menggesek, hingga terasa menggelitik dan membangun gairah dalam diri Julia pada pangkal pahanya. “Aaaahhh," suara desahan Julia sambil menggigit bibir bawahnya. Milik Max yang sudah membesar dan berdiri tegak sejak pria itu melihat Julia melakukan pada dirinya, sudah tak tertahankan lagi. Mereka bertatapan dan telah di selimuti kabut gairah. Saling berciuman, telapak tangan Julia menangkup wajah pria dihadapannya. Pria itu langsung menusukkan miliknya ke dalam pusat diri Julia yang telah kuyup. Memenuhi seluruh rahimnya. Seketika Julia mengejang, melepaskan ciuman dan mendesah. Pria itu mulai menggerakannya saat Julia mulai menyesuaian tubuhnya. “Panggil aku Max, Julia,” pinta pria itu. “Hmmm...” desahan Julia yang terdengar seksi. Max melahap kembali kedua buah d**a milik Julia yang terjuntai di hadapannya. “Milikmu sungguh nikmat, Julia Ross,” bisik Max ditelinga Julia dan dilanjut dengan mengigit pelan daun telinga Julia, mengirimkan getaran yang kian memicu gairah. “Mmm...Max... Aku...” erangan yang meluncur dari mulut Julia sambil mencengkram bahu kekar Max yang menjulang di atas tubuhnya. Keduanya bertatapan, saling membelai dan tiba-tiba Max melepaskan miliknya. Reaksi Julia seketika menatap Max dengan mata penuh kecewa dan berkabut gairah. Max tersenyum, membelai wajah wanita dihadapannya lalu mencium ujung hidungnya.  “Tenang sayang, baru permulaan, akan ada banyak klimaks untukmu, Julia,” ucap Max yang kemudian dilanjutkan dengan ciuman yang lebih panas.   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD