Chapter 2

1277 Words
 Ospek berjalan selama tiga hari dan selama itu pula Putri harus siap siaga untuk mengikuti Rio ke mana pun laki-laki itu pergi. Dan di hari ketiga ini adalah hari paling membahagiakan bagi dirinya. Putri bisa terbebas dari segala bentuk perintah Rio. Dan Rio adalah ancaman terbesar baginya selama tiga hari ini.  “Kak, aku tuh kesal ya sama kak Rio. Masa dia perintah aku ini itu. Capek tau. Dia kira aku babu dia apa,” ucap Putri bersungut-sungut, “terus itu kenapa rektor dan semua anggota BEM gak negur dia. Dasar. Kesal aku tuh.”  Ano hanya tersenyum dan memaklumi bagaimana kesalnya Putri diperlakukan seperti itu, toh ini juga salah adiknya. “Kamu yang sabar ya,” balas Ano.  “Huft, untung saja hari ini terakhir ospek.”  “Hmmm, lagian kemarin itu salah kamu juga, Put.”  “Ya, aku tau. Tapi kan nggak usah sampai segitunya, Kak. Lagian nih aku ngerasa kayak semua orang takut sama Kak Rio deh. Termasuk Kak Ano juga, kan?”  “Hush, kamu ini. Kakak bukannya takut sama dia, tapi kakak dan semua orang di kampus menghormati dia karena sifat dia sebagai pemimpin itu bertanggungjawab dan dapat menyelesaikan tugas dengan tepat. Dan juga dia sering mewakili kampus untuk lomba-lomba di tingkat internasional loh, Put. Dan satu lagi, keluarga dia juga donatur di kampus kita.”  “Ihhh, auk deh males banget bahas dia.”  “Jangan terlalu benci gitu, nanti suka bisa berabe. Cinta dan benci beda tipis."  “Ihhh Kak Ano, aku tuh setia sama Kak Vando, ya. Jangan jadi tukang kompor deh.”  “Hmmmm iya deh.” Setelah sampai kampus, keduanya berpisah. Ano ke ruang BEM dan Putri yang berkumpul di lapangan. Ajaibnya hari terakhir ini tidak ada kegiatan dan hal ini menambah kebahagiaan bagi gadis itu dan semua mahasiswa tentunya.  “Alhamdulillah Ya Allah, engkau telah mengabulkan doa hambamu ini. Gak sia-sia semalam sholat tahajud hehe.”  “Putri.” Tiba-tiba saja ada Rio yang berada di samping gadis itu.  “Eh Kak Rio. Ada apa, Kak?”  “Bisa tolong bantu gue? Eh bukan bantuan sih karena ini kan memang tugas lo.”  Seketika senyum cerah Putri memudar. Baru saja dia bahagia, tiba-tiba saja kesenangannya direnggut oleh si biang kerok. Dan dengan tidak elitenya, Rio langsung pergi begitu saja menyisakan Putri yang mencak-mencak tampak kesal. Dengan sangat terpaksa gadis itu kembali harus mengikuti Rio. Putri harus bersabar, ya setidaknya ini adalah hari terakhir. “Kamu angkat kardus itu," perintah Rio dengan menunjuk kardus coklat di pojok ruangan.  “Ha? Aku? Angkat ini? Gak ah. Berat tau, Kak.”  “Nggak usah mengeluh. Beratnya nggak sampai 100 kg. Nggak usah lebay.” Setelah mengatakan dengan dinginnya, Rio kembali meninggalkan Putri yang tengah bersungut-sungut. Bendera perang tengah dikibarkan secara terang-terangan oleh Rio. Dan Putri akan melawannya.    Tak disangka ternyata Rio menuju ke area parkiran dan hal ini menimbulkan tanda tanya besar di kepala Putri. Haruskah Putri bertanya? Harus. Wajib.  “Sudah, sampai sini saja.” Putri pun meletakkan kardus yang ia bawa di samping mobil Rio, “gue mau ucapin terima kasih karena sudah bantu gue selama tiga hari ini. Ya meskipun itu memang tugas lo sih. Dan juga gue mau minta maaf kalau gue ada salah.”  Emang lo banyak salah, dosa lo di gue banyak, batin Putri mengumpat.  “Iya. Btw, Kak Rio mau ke mana?”  “Kepo.”  “Gak kepo, Kak, cuma tanya doang. Emang susah jawabnya?”  “Gue mau ke panti.”  “Panti? Panti jompo? Panti asuhan?”  “Panti asuhan. Sudah lo sana pergi, balik masuk ke kampus. Gue mau berangkat.” Rio segera masuk ke dalam mobilnya setelah memasukkan kardus-kardus yang ia dan Putri bawa tadi.  Blam  Rio menoleh ke samping kemudi dan mengernyit bingung kala mendapati gadis itu masuk. “Ngapain lo masuk?”  “Aku mau ikut Kak Rio,” jawab Putri disertai cengirannya.  “Nggak.”  “Ayolah, Kak. Please.”  “Nggak. Kalau gue bawa lo, nanti urusannya ribet. Mending lo keluar dan balik ke dalam. Makan di kantin sana.”  “Aku sudah makan dan masih kenyang.”  “Yaudah, minum doang.”  “Aku nggak haus.”  “Arrrgghh. Ke perpustakaan.”  “Males baca.”  “Ke laut aja sana. Ribet bener lo!"  “Ngapain ke laut? Aku bukan ikan, Kak. Atau jangan-jangan kakak kira aku putri duyung ya?"  “Bisa naik darah gue lama-lama deket lo.”  “Kakak sendiri ih yang bikin ribet. Sudah kuy jalan, katanya mau ke panti.”  Rio segera menjalankan mobilnya ke panti asuhan di mana tempat biasa dia menyumbangkan baju-baju serta barang-barang yang masih layak pakai. Dalam perjalanan tak henti-hentinya Putri berceloteh menanyakan ini itu yang menurut Rio tidak penting sebetulnya. Keberadaan Putri di dalam mobilnya membuat laki-laki itu sedikit kesal. Dan ini adalah kali pertama dia membawa seorang gadis masuk ke dalam mobilnya. Pertama kali? Aneh, bukan? Ya, Rio tidak pernah mengizinkan siapa pun perempuan masuk ke dalam mobilnya jika tidak dalam keadaan emergency.  “Kak, kira-kira aku cocok nggak sih jadi model? Kata mama, muka aku itu kayak baby face dan imut gitu. Kata papa juga muka aku cocok buat jadi model. Tapi katak kakak aku semuanya pada nggak setuju kalau aku jadi model. Jadi, menurut Kak Rio aku cocoknya jadi apa?”  “Huft, apa perlu gue jawab pertanyaan lo itu?”  “Ya jawab aja sih.”  “Gue nggak tau lo itu cocoknya jadi apa, yang jelas semua cita-cita lo itu yang menentukan adalah diri lo sendiri, bukan mama, papa, apalagi kakak lo.”  “Oh begitu. Ok ok nanti aku pikirin lagi mau jadi apa.”  Pertanyaan nggak penting anjir! umpat Rio dalam hati.  “Sudah sampai, nih. Lo bantu gue angkat kardus tadi," perintah Rio ketika keduanya sudah sampai di sebuah panti asuhan dengan halaman yang luas. Sejuk dan asri, begitulah kesan pertama memasuki halaman panti ini. Dengan taman kecil di sudut sana membawa sedikit keindahan dalam pandangan.  “KAK RIOOO.”  Satu persatu anak kecil sudah mengerubungi Rio dan Putri. Putri dibuat terkejut dan juga cukup senang karena banyak anak kecil di sekitarnya. Ini adalah pengalaman menarik dan sudah tidak asing bagi gadis itu.  “Kak Rio bawa apa, Kak?”  “Kak Rio bawa mainan, gak?”  “Kak Rio ini siapa?”  “Kak Rio, kakak cantik ini pacarnya kakak ya?”  “Anak-anak ayo beri ruang Kak Rio dulu. Kasihan itu Kak Rio nggak bisa bergerak. Ayo semuanya kita masuk dulu.” Seketika semua anak kecil itu bubar dan masuk ke dalam dengan membawa kardus-kardus yang keduanya bawa. Tampak jelas jika anak-anak di sana bahagia dan senang dengan kehadiran Rio.  “Selamat siang, Bu. Maaf Rio baru bisa ke sini sekarang soalnya lagi sibuk siapin ospek di kampus,” jelas Rio kepada ibu panti. Putri hanya mampu menyimak.  “Iya, tidak apa-apa. Ini siapa? Teman kamu, ya?”  “Selamat siang, Bu. Perkenalkan saya Putri, juniornya Kak Rio di kampus.”  “Oh Putri. Ayo Putri, Rio masuk, kita mengobrol di dalam.”  Ketika semua anak tengah sibuk dengan barang-barang yang Putri bawa, Rio beserta Putri tengah asyik berbincang dengan ibu panti. Berbincang singkat tentang kejelasan anak-anak yang tinggal di sana.  “Oh iya, Bu. Kebanyakan anak-anak di sini asalnya dari mana?” tanya Putri.  “Mereka adalah anak terlantar yang ada di jalanan. Kadang juga ada aja orang yang meletakkan bayi di depan pintu panti ini dan jadilah mereka tinggal di sini.”  Tak terasa Putri menitikkan air matanya kala mengingat nasibnya dulu sama seperti anak-anak yang tengah berada di sana. Tanpa Putri sadari, Rio tau jika gadis itu tengah bersedih.  --- Terima kasih sudah mampir Jangan lupa tinggalkan jejak >
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD