Prolog

504 Words
Bulan purnama ditabuh, kian larut malam pun makin ramai. Dingin seolah dilupakan demi menyaksikan orang-orangan kayu dihidupkan oleh tangan tuhannya. Sang dalang sedang bercerita di atas panggung. Selamat Datang di Gelak Tawa Para Penikmat Malam Kisah rekaan yang sangat lucu. Mereka duduk di sembarang tempat. Di pinggir jalan, di bawah pohon, di teras rumah warga, dan tempat tinggi. Beruntung bagi mereka yang berjongkok di depan panggung, lebih mudah menikmati jalan ceritanya. Menyembunyikan tubuh kedinginan mereka dengan sarung-sarung tipis, mereka menyesap lintingan rokok juga minuman hangat. Para ibu pun duduk di sana, mendekap bayi mereka yang terlelap. Menenangkan anak-anak dari tangis, tanpa menghiraukan malam semakin dingin. Tabuhan malam itu membuat bulan purnama berhasil cerah. Tanda alam menikmati persembahan manusia. Siapa sangka takdir satu di antara mereka sedang dipermainkan? Gendang, saron, gong serentak berhenti berbunyi satu gadis berkebaya merah diseret beberapa orang dari panggung. Menjeda senandung tersohor Laras. Perayaan hasil panen rakyat banyak berubah. Tawa mereka seketika senyap tidak berbekas. Tangis dan u*****n menggema di perjalanan pengarakan tumbal menuju hutan. Gadis cantik itu akan mereka korbankan. Laras meronta-ronta, menjerit, cakaran kukunya tidak mampu membebaskan diri dari pria-pria berbaju hitam. Obor-obor menyala menggiring gadis malang pada peristirahatan terakhir. Sebagai penyelamat desa dengan paksaan. "Warga sekalian. Malam ini tepat bulan terlihat penuh dan terang menyinari malam. Para leluhur setuju bersama kita. Laki-laki berbaju hitam menunjuk Laras. Suara beratnya mundur riuh mereka di belakang. orang tua pemegang tongkat ular. "Beruntungnya kamu, Laras. Berbargalah keluargamu. Kamu adalah pahlawan desa ini. " Mata angin Laras berjatuhan menyaksikannya menggeliat dari cengkeraman seseorang. Wanita yang telah menerimaya " Omong kosong kau, Wirasana! "Jerit Laras pada pria tua itu. "b******n!" Jerit Laras memberontak. "Ikat!" titah Wirasana sangat tenang namun tajam. Orang-orang itu menuruti perintahnya, mengikat juga tangan Laras. Gadis itu tertawa keras di sela tangisnya. Mereka pun saling berpandangan. Sinden mereka sudah gila. "Bunuh aku Wirasana. Keturunanmu yang akan mengalahkan akibatnya. Sembah aku Wirasana selamanya. Jika kau dan keturunanmu ingin selamat." Tamparan tentang pipinya, lantas darah segar dari ujung bibir. Laras semakin menantang. Tangannya tergepal di kedua sisi. Pria tua yang berdiri memegang amarah yang akan mempengaruhi citra dipindahkan. Laras berseringai, mendongak dari posisinya bertulut di hadapan Wirasana. "Ingat baik-baik hari ini, karena satu saat ada satu darahmu yang menjadi aku." Matanya menuju pilihan manusia bergenggaman tangan. Lelaki terkasihnya memeluk wanita lain. Tawa Laras pecah menyuarakan kesakitannya, seakan gemuruh petir dan angin mematikan obor-obor adalah undangannya. Hutan menjadi gelap seketika. Mereka bergetar getaran. Hujan lebat tidak lantasentikan tawa Laras. Dia menggila, terlihat samar oleh kilatan petir. "Lempar!" Diperintahkan Wirasana diproses. Orang-orang berbaju hitam ragu menerima Laras. Namun, sumpah tatapan membunuh Wirasana lebih sulit. Laras tersungkur di atas tanah basah. Lubang kematiannya. Gadis itu terus tertawa sambil membawa tanah dan hujan membenamkan seluruh tubuh. Sampai tawa yang hilang meninggalkan nafas terengah-engah para pemegang cangkuk. Di antara secuil rasa iba, mereka lega Laras telah mati. Hanya saja mereka keliru. Mereka berlari tak tentu arah meninggalkan cangkul dan obor. Menyelamatkan diri di tengah hujan badai. Gelak pedih gadis itu kembali menggema di seisi hutan. Laras memang sudah mati. Senandungnya akan terus terdengar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD