Bab 1 Pemakaman

1372 Words
Udara dingin kentara menyentuh kulit. Perjalanan mengangkasa belasan jam sekitar tiga belas ribu kilometer terasa di seluruh sendi. Kami tidak terlambat jadwal pesawat, namun tidak berhasil melihat wajah seseorang untuk terakhir kalinya. Tinggal tiga orang di area sepi itu. Mereka yang membawa serta payung hitam telah membubarkan diri. Daripada menyaksikan wajah sendu tanpa suara memeluk batu nisan, aku memandang langit bersih tanpa awan. Sumedang, kota ini tetap dingin meski cuaca sedang cerah. "Ayo." Bahuku ditepuk, saat menoleh Papa mencoba tersenyum padaku. Aku bisa merasakan kesakitannya. Tidak bisa berada di samping ibu sendiri di saat-saat terakhir. Aku tidak bisa membayangkan bila terjadi padaku dan Papa. Ikatan batin kami sangat kuat. Bila kehilangannya aku tidak tahu akan bagaimana. Mengerikan. Lalu aku raih tangan besar itu. Lewat genggaman erat, aku memberitahu Papa bahwa aku akan selalu ada. Papa membalas genggaman tanganku. Kami akan melanjutkan hidup berdua lagi di tempat berbeda. Menginjak berbagai rintangan seperti biasa. Sebelum mobil melesat meninggalkan pemakaman, aku menengok lagi ke sana. Gundukan tanah dan bunga telah menimbun tubuh ringkih Nenek. Apa Nenek sudah bertemu Kakek sekarang? Mungkin mereka sedang merajut kasih sayang. Menuntaskan kisah mereka yang abadi. Mataku menyipit, ada yang berdiri di ujung batu nisan Nenek. Seingatku kami yang terakhir ada di sana. Tapi, kemana orang itu? Kepalaku mencarinya lewat jendela. Nihil, orang itu hilang begitu cepat. "Kenapa Bungah?" Ayah menatapku heran, malah ikut mengedarkan pandangan. "Eh--oh gak apa-apa, Pa." Mungkin itu halusinasi akibat kehilangan seseorang. Aku tak bisa menyembunyikan senyum mengingat waktu singkat aku bersama Nenek. Mengingatnya, suara merdu Nenek selalu terngiang. Nenek suka sekali membagi dongeng petualangan. Lalu mengantarku tertidur lelap di pertengahan malam. Tak terasa, delapan tahun lalu kami meninggalkannya bersama Bibi Lisna--kakak perempuan Papa. Masih segar pula di ingatanku kemarin merayakan pesta ulang tahunku ke tujuh belas di belakang rumah. Garden Party bersama teman-teman sekolah. Kemudian semua itu berubah dari berita duka. Papa menyeretku dari pesta dengan pakaian seadanya. Aku hanya sempat membawa beberapa potong baju. Pakaian yang aku kenakan sekarang pun masih sama dengan pesta kemarin kemudian ditutupi jaket saja. Sebenarnya Nenek meninggal tidak terlalu mendadak. Selain usianya yang sudah renta, Nenek juga mulai sakit-sakitan sejak kami pindah ke Kanada. Dari setahun lalu Papa sangat ingin kembali ke Indonesia. Sayangnya pekerjaannya setiap hari bertambah banyak. Sampai kabar duka itu datang. Bisa dibilang aku ini cucu kesayangan Nenek. Ketika aku dan keluarga yang masih lengkap dulu pulang kampung setiap mudik hari raya, apapun yang Nenek berikan padaku akan ada lebihnya dari sepupu-sepupu. Padahal aku dan Nenek jarang bertemu dibandingan cucu Nenek lainnya. Sempat kami tinggal bersama agak lama setelah Papa dan Mama berpisah, aku ikut Papa tinggal di kampung halamannya. Papa membawa aku ke Kanada kemudian, di sana aku mulai melupakan sosok Nenek. Sekarang aku kehilangan sosok itu. "Kamu nyanyi lagu apa sih?" tanya Papa menghentikan gerakan jemariku melukis embun di jendela mobil. "Lagu Nenek. Lagi mengingat nadanya, aku gak hapal liriknya sih. Papa tahu?" "Hmm ... apa ya?" Sudahlah, tidak ada harapan bertanya pada Papa. Mana suka Papa dengan seni dalam bentuk apapun. "Judulnya Kembang Tanjung Panineungan, Non," ujar Pak Budi sambil mengemudi. Pria berambut keabuan itu menatap penumpangnya lewat kaca rearview. "Pak Budi tahu?" "Itu mah lagu sinden. Saya kan, sering denger Ibu nyinden. Kalau nggak salah saya punya kasetnya, Non mau?" Pak Budi sudah bekerja puluhan tahun di keluarga Nenek. Tahu seluk beluk keturunan kami penyuka seni, kecuali Papa tentunya. "Kaset?" "CD atau DVD, Bungah." Papa menimpali. Aku mengangguk-angguk senang. Apa pun itu. Nanti Pak Budi akan meminjamkannya padaku. Tanpa sadar aku telah membuat Papa tersenyum juga, tangannya mengusak rambutku gemas. Sejak kami hidup di Kanada, Papa banyak berubah. Lebih banyak tersenyum dan meluangkan waktunya untukku. Ketika orang tuaku masih bersama, Papa jarang sekali begitu, atau aku yang lupa? Entahlah ingatanku mengenai Papa hanya seputar kerja dan jarang di rumah. Mama juga sama. Terkadang aku berpikir, apa iya Papa tidak bahagia selama bersama Mama? Lalu untuk apa mereka bersama? Kemudian aku berpikir lagi, jika mereka tidak pernah bersama, mungkin tidak pernah ada aku. *** "Bungah, kita sudah sampai." Suara Papa mengalun pelan. Perjalanan yang lumayan jauh serta udara sejuk membuat aku mengantuk. Saat membuka mata, tidak ada lagi kantuk. Suasana ramai bisa aku lihat di depan sebuah rumah. Mereka berpakain serba hitam, hilir mudik ke dalam rumah bercat putih pucat. Aku jadi ragu menginjakan kaki. Kalau bukan karena tanganku ditarik Papa, aku akan berdiam diri di dalam mobil. Ketika kakiku melangkah melewati gerbang, seluruh indera tubuhku merasakan sesuatu yang aneh. Ada sesuatu menahanku agar tidak masuk lebih jauh. Apalagi perubahan atmosfer agaknya mengurangi kekuatan berpijak kaki ini. Mereka serempak menghentikan kegiatan. Menyambut kedatangan kami sukar diartikan. Aku membalas genggaman Papa tak kalah erat, meminta pertolongan. Tiba-tiba tubuhku ditubruk hampir oleng. Aku yang sepanjang jalan menahan napas, merasakan sesak. Untung saja Papa cepat bertindak, memisahkan ragaku dari wanita berisi itu. Setelahnya aku disalami semua orang. Lebih tepatnya, mereka berburu salaman denganku. Aku pun tidak mengerti. Mereka menawarkan berbagai makanan, mencoba bicara denganku membuat aku makin asing. Aku tidak diberi waktu sejenak untuk sekedar mengistirahatkan tubuh sehabis perjalanan panjang. "Bungah, ini Sophia." Papa membawa seorang anak berkucir dua ke hadapanku. Baru saja saudara-saudaranya Papa meninggalkan aku. "Sophia temani Kakak Bungah ya. Nanti Om Lingga kasih permen banyak." Sontak saja aku melotot. Yang benar saja, aku dititipkan pada anak kecil. Anak seumuranku masih banyak di teras sana. Sepertinya mereka para sepupuku. Aku pun menghela napas, tidak berani menyapa mereka lebih dulu. Sophia duduk di sampingku memainkan boneka berambut pirang. Matanya yang bulat terus menatapku. Setelah sepeninggalan Papa, makin tidak ada suara di antara kami. Berapa sih umurnya? Paling kelas satu SD. Aku tidak pandai basa-basi, apalagi dengan anak kecil. "Kak Una." Kak Una. Aku mendengus geli. Kali pertama ada yang memanggilku Una. "Mau lihat sihir, nggak?" "Sihir?" Sophia mengangguk, tangan kecilnya tanpa izin menarikku keluar dengan lemah. Aku mengikutinya bukan karena takut, tapi akan repot bila dia menangis. Semua orang tampak sibuk, tidak ada yang menyadari kepergian kami. Di teras pun anak-anak seumuranku sudah tidak ada. Tiba-tiba aku merasa cemas. Ini terlalu jauh dari rumah Nenek. Sophia tidak kunjung memberikan jawaban, mau kemana dia bawa aku. Lama-lama anak ini menakutkan juga. Akhirnya aku menarik tanganku. Di sekeliling bukan lagi pemukiman. Semuanya pohon menjulang menyaring sorot matahari bertemu tanah. "Sophia," lirihku. Anak itu tidak ada di sampingku. Sophia berlari memasuki hutan lebih dalam. Aku meneriakan namanya, tidak dihiraukan. Tidak. Aku harus bagaimana? Aku harus pulang memberitahu Papa. Tapi Sophia akan semakin hilang jika aku tidak mengejarnya. Walau aku tak suka anak kecil, aku masih punya hati nurani. Suara serangga di pohon mengiringi lariku mengejar Sophia. Bersama rasa takut sebenarnya, aku tidak bisa membohongi diri sendiri. Ini kali pertama berlarian di tengah hutan tanpa arah begini. Tubuhku menerobos semak-semak tak peduli ranting menggores-gores. Anak kecil itu entah kemana, tidak bisa aku kejar. Sophia hilang dari jangkauanku. Aku semakin kesetanan berlari tanpa arah, sampai aku sadari selain gelapnya hutan, sekarang petang menjelang. Mati aku! Mati! Sophia hilang. Aku tidak tahu arah pulang. Napasku terengah mencari jalan. Pohon, batu, semua terlihat sama. Sedikit berjarak dariku ada seorang perempuan berbaju merah berjalan membelakangi. Aku berteriak memanggilnya, perempuan itu tetap berjalan menjauh. Tanpa mempedulikan akan pergi kemana. Aku berlari mengikuti dia, setidaknya mungkin aku bisa tahu jalan pulang darinya. Ketika aku mempercepat langkah agar segera menyapa perempuan itu. Dia hilang. Tepat di depan mataku. Kini aku sendirian di tempat menyeramkan ini. Tubuhku termor seirama d**a bergejolak tak terkendali. Aku mengambil langkah berbalik, berlari sekencang yang aku bisa. Belum sempat terjadi, tubuhku tersungkur. Sepasang tangan menjerat kedua kakiku. Kuku-kuku tangannya panjang hitam menusuk kulit. Jeritan kencang lolos dari mulutku. Burung-burung yang bermalam di atas pohon pun berhamburan bersama pekikan mereka. Dia menggusur kasar tubuhku. Kedua tangan ini meraih apapun yang bisa menahanku dari makhluk itu, tidak peduli mungkin kuku terkelupas. Tapi ini perlawanan, firasatku mengatakan akan mati jika pasrah. Aku susah berjanji pada Papa akan berada di sampingnya, aku harus bertahan. Aku menangis membaui amis darah sendiri. Senandung tak asing terdengar, perlahan kian jelas, makhluk bermata merah itu berhenti sejenak mengeluarkan sedikit geraman. Dia kembali menyeret tubuhku berusaha tidak terpengaruh oleh senandung yang terpantul dari pohon ke pohon. Menggema ke seisi hutan. Ini lagu Nenek. Aku ikut bersenandung lemah di sela tangis. Berharap Nenek mengirim seseorang datang menolong. Papa ... tolong .... --Damaisland--
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD