Bab 2 Ketukan

1326 Words
"Ini berlebihan Hem, kalau dia mati gimana?" "Jangan banyak bicara." Aku merasa sedang berada di punggung seseorang. Orang ini tidak banyak bicara dibanding yang lain, tetapi gumamannya masih bisa aku dengar. Aku agak khawatir kami jatuh, pasalnya ia berjalan agak oleng. "Ini masih jauh ya? Kita mainnya kejauhan sih," gerutu perempuan tadi lagi. "Bisa diam tidak? Kamu mengeluh terus. Lihat tuh jalannya, sudah berapa kali kamu jatuh?" "Eh, kamu juga tidak membantu. Gara-sara siapa kita sampaj tersesat begini? Kalau saja kalian mendengar perkataanku tadi pasti sekarang kita sudah di rumah, makan malam." Mereka berhenti berjalan sesaat, samar-samar keributan itu makin menjadi. "Kalau kamu berhenti ngoceh tidak jelas mungkin sekarang aku sudah mengerjakan tugas. Kalau nilaiku jelek pokoknya kamu harus tanggung jawab!" "Diam!" Seseorang menengahi perdebatan mereka. Orang yang menggendong aku pun menghela napas sembari membetulkan posisiku. "Ini hutan. Kalian harus ingat itu. Berisik saja bisanya." "Tapi Hem, dia tuh "Kalau aku bilang diam ya diam. Kalian nggak ngerti bahasa manusia, 'kan? Mau aku seret ke ruangan terlarang? Mati sana kalian kayak kakaknya dia." "Nggak usah bawa-bawa dia ke masalah kalian," desis tajam pemuda yang menggendongku. Perjalanan kami berubah hening, selain suara binatang malam bersahutan mengikuti. Dalam keadaan setengah sadar aku mendengar banyak langkah kaki. Krasak-krusuk mengingkap semak serta gerutuan perempuan tadi tidak luput dari dinginnya malam. Ketika gemericik air dirasa dekat, mereka menghela napas lega. Sahutan-sahutan memanggil namaku dari kejauhan terdengar ramai. Perempuan tadi memekik girang. "Kita berhasil!" Bisa aku dengar gemuruh air bersama basahnya sebagian kakiku. Dingin sekali. Pukulan nyaring meramaikan cahaya-cahaya kecil seperti lilin membuat aku menyungging tipis. Apa aku telah tiba di surga? Aku mati rasa, mungkin itu yang dinamakan sambutan surga. "Bungah ... kenapa, Nak?" Ternyata Papa sudah di surga lebih dulu. Suara Papa bersama menjauhnya harum seseorang yang menggendong ku terakhir aku ingat. Ketika membuka mata, aku tidak sedang berbaring di tumpukan daun kering dalam hutan. Sekitarku bukan lagi pohon-pohon tinggi beraura hitam. Memang tampak asing, ini tempat tidur berkelambu putih. Langit-langitnya bergambar mawar merah besar bemekaran. Asing sekali. Aku dimana? "Sudah bangun?" Pintu terbuka, Papa tersenyum hangat membawa nampan. Sepertinya aku belum mati. Aku mencoba bangun, lalu sehelai kain basah langsung terjatuh dari dahi. Biar aku tebak, semalam aku demam. Badanku sakit semua jika digerakan sedikit saja. Akhirnya Papa membantu aku bersandar pada kepala tempat tidur. "Gimana? Udah enakan?" Aku menerima segelas air darinya, cukup membasahi kekeringan di tenggorokan. Papa menghela napas pelan menerima anggukan lemahku. Pusing senantiasa menjalar di kepala. Sesuatu berdegup pelan di dalam sana, ini menyakitkan. "Ya sudah. Mau makan atau tidur lagi?" "Tidur." "Oke, sekarang tidur lagi nanti makan dan minum obat." Papa membetulkan bantal, membantu aku berbaring kembali, tangannya enggan melepaskan genggaman. Papa memeras kain basah dengan satu tangan setelah meraba dahiku. Demamku belum turun sepertinya atau semakin meningkat karena sekarang aku merasa intensitas denyutan dalam kepala bertambah kuat. Di saat begini Papa akan selalu di dekatku, mengecup punggung tanganku sambil berbisik, "Cepat sembuh anak kesayangan Papa." Aku terlelap kembali, mengabaikan lengket di tubuh akibat keringat dingin. Mencoba berdamai dengan rasa sakit. *** Papa menceritakan semua kejadian semalam sambil menyuapi aku sop ayam. Hanya tiga suap lalu meminum obat. Katanya aku diantarkan oleh beberapa sepupu kemarin malam. Mereka dimarahi habis-habisan oleh orang tuanya masing-masing. Syukurlah, mereka pantas mendapatkannya. Mungkin kurang, seharusnya mereka juga merasakan bagaimana jadi aku. Kebingungan dan hampir mati di tengah hutan. Mengingatnya saja aku bergidig ngeri. Kakiku digusur makhluk mengerikan masuk ke kedalaman hutan. Gelap. Kehilangan harapan hidup. Hanya ada suara tangisanku sendiri. Sedangkan mereka pasti cekikikan di semak-semak. Menyaksikan semua siksaanku sebagai hal lucu. Sialan. Aku menghapus air mata di pipi. Mentalku akan berada di urutan paling bawah jika sedang sakit begini. Sakit fisik akan sembuh dalam beberapa hari, untuk hati belum tentu. Memangnya lucu dijadikan mainan? Perkenalan antar saudara mereka bilang? Lihatlah banyak luka di tubuhku, perih sekali. Belum lagi pergelangan kaki membengkak saat aku terjatuh begitu kerasnya. Mereka bilang ini hanya bercanda. Jahat sekali bercandaan mereka. "Mereka mau bertemu Bungah." Aku menoleh pada Papa dibalas ringisan karena tatapan tajam putrinya ini. Kalimat Papa itu tidak tepat soal mereka yang ingin bertemu denganku. Mereka sudah berdiri di kamarku. Di hadapanku dengan wajah-wajah songong saling sikut-sikutan. Tidak ada raut merasa bersalah sedikit pun mereka berdiri di sana. Hanya satu yang terus mengajak aku negosiasi. "Bungah." Aku melirik sebentar, kemudian memalingkan muka kemana saja asal tidak bersitatap dengan mereka. "Aku Bagas. Adik-adik aku sudah nakal ya sama kamu? Maafkan kami, Bungah. Ini harusnya jadi perkenalan yang bahagia sebagai saudara. Kami tidak bermaksud mencelakai kamu. Sungguh. Ini diluar rencana kami. Sekali lagi kami minta maaf Bungah." Tak kunjung mendapat responku, orang ini membujuk Papa. "Om Lingga kami janji tidak akan mengulanginya lagi." Omong kosong. Papa beranjak dari sisi tempat tidurku beralih menepuk bahu Kang Bagas yang terlihat paling dewasa di antara mereka. "Iya, Om percaya kok sama kalian. Om ngerti kalian cuma mau nyambut Bungah. Terima kasih ya kalian sudah perhatian k anak Om." Akhirnya mereka keluar ruangan dengan tertib. Aku bisa bernapas lega. Biar mereka mengerti sakit hatinya aku. Esoknya aku merasa konyol, mereka tidak benar-benar meminta maaf karena merasa bersalah tapi karena takut tidak mendapat uang jajan. *** Di tempat baru ini, satu hal yang belum terbiasa. Lamanya waktu siang dan malam. Kegiatanku hanya seputar mendengarkan detak jarum jam kala sendiri. Kalau tidak sakit, pasti aku sudah keliling kampung. Udara malam ini sangat dingin. Papa sampai membawakan air panas dalam botol plastik. Lalu menempelkannya ke telapak kakiku. Hangat. Papa menyembunyikan aku dengan banyak helaian selimut. Telapak tanganku digosok Papa karena hampir membeku. Ini di mana sebenarnya, Sumedang atau Kanada? Berasa sedang peralihan ke musim dingin. "Slept tight, Bungah. Cepat sembuh." Papa mengecup pucuk kepalaku lama sebelum pergi. Nyatanya sampai Papa kembali ke kamarnya, jarum jam telah melewati angka sepuluh. Aku masih terjaga. Aku menatap setiap benda di ruangan tidak terlalu luas ini. Meja belajar, meja rias di samping lemari kuno. Dilihat dari penghargaan di atas nakas, ini kamar semasa mudanya Tante Nidria. Sekarang Tante Nidria tinggal bersama suaminya di luar kota. Ketukan pada kaca jendela memaksa aku memanjangkan leher. Pening langsung dirasa. Sungguh mengganggu, orang kurang kerjaan mana mengetuk jendela malam-malam begini? Aku mendesah jengkel. Perlahan kakiku menapaki lantai, meresapi dingin yang menusuk. Aku berjalan tertatih, menggigit kulit dalam bibir sebab pergelangan kaki makin membengkak. Ketukan itu baru berhenti ketika aku menyingkap gorden. Cengiran lebar di depan jendela mengingatkan aku pada patung kepala badut berukuran besar di gerbang selamat datang sirkus. Sophia, anak itu menggerak-gerakan mulutnya. Bahasanya tidak aku mengerti. Kenapa juga anak kecil ini masih di luar malam-malam. Apa orang tuanya tidak mengunci pintu ya sampai dia bebas berkeliaran? "Kak Una buka jendelanya!" Enak saja. Mau apa dia? Meskipun dia menggedor-gedor jendela hingga pecah pun aku tidak akan membukanya. Dia memberengut kesal. Siapa yang tahu, anak sekecil Sophia akan melakukan hal gila apa lagi untuk mengerjai aku. Berkomplot dengan kakak-kakak sepupunya saja dia senang. Aarrrgh! Aku kembali teringat perlakuan mereka. Gorden aku tutup cepat-cepat, menimbulkan bunyi gesekan. Terserah dia mau adukan aku pada orang tuanya. Aku tidak peduli. Berselang lama, jendela itu diketuk lagi. Aku kira Sophia telah menyerah. Anak itu tangguh juga. Namun ada yang aneh dari ketukannya, lama-kelamaan membentuk sebuah irama. Mungkin hanya irama asal. Hanya saja terlalu cantik menurutku. Maka mataku tidak luput dari jendela. Jam menunjukkan setengah dua belas. Berpegangan pada dinding, aku kembali turun dari tempat tidur. Ketukan berirama itu hadir lagi. Gesekan besi gorden sedikit berisik meski digerakan pelan. Penglihatanku langsung tertuju pada seorang pemuda berdiri di depan jendela. Kami saling berhadapan, dengan bulan yang bersinar terang di belakang pemuda itu. Dia memutus pandangan terlebih dahulu. Sebuah perahu kertas ditaruhnya di depan jendela. Dia memberi kode agar aku mengambilnya. Setelah itu dia pergi. Pergerakannya begitu cepat hingga aku bingung ke arah mana perginya dia. Aku menggeleng, tadinya aku akan menutup lagi gorden. Hanya saja perahu kertas yang disinari bulan itu terlalu menarik perhatian. Aku membuka jendela, mengangkat perahu kertas itu ke udara. Siapa pemuda itu? Semalaman aku tidak bisa melupakan parasnya yang tak asing. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD