Bab 3 Senandung

1331 Words
Mama mengirim undangan pernikahan. Tertera dua minggu lagi dan aku baru diberi tahu hari ini. Sebegitu tidak dianggapkah keberadaanku? Alasannya lupa, sibuk mengurus ini itu. Sampai menelpon anak barang lima menit saja tidak bisa. Sepertinya bukan itu alasannya. Mama takut aku melarangnya menikah lagi dengan pria lain. Jelas, aku tidak mau punya bapak tiri. Mama berubah. Semenjak kenal seorang pria berkewarganegaraan Jerman satu tahun lalu. Mama mulai jarang menghubungi aku. Awalnya sehari tiga kali, jadi sehari sekali, seminggu sekali, lalu sekarang dua bulang tidak ada kabar tahu-tahu mengirim undangan pernikahan. Entah siapa namanya, John, Philip, atau Leo, lupa. Mama pernah menceritakan kekasihnya saat bertugas ke London, mereka bertemu di sana. Aku hanya sempat melihat wajah kekasih Mama saat kami melakukan video call. Orang itu tidak sengaja lewat, dan Mama memintanya menyapaku. Kesal, kesal! "Mama juga kirim gaun buat kamu pakai di gedung nanti. Kamu harus tampil cantik pokoknya," kata mama setelah aku telpon berkali-kali menagih penjelasan mengapa ada undangan atas nama diriku. Aku ini siapanya Mama sebenarnya. Tamu undangan? "Nanti Bungah Mama jemput, kita nginep di--" Aku akhiri saja perbincangan kami, tidak lagi peduli kalimat Mama belum rampung pun. Sudah jelas aku tidak akan datang. Lagi pula datang atau tidak, sepertinya bukan masalah untuk Mama. Tanpaku Mama masih bisa bahagia. Pernikahan keduanya akan tetap berlangsung tanpa kehadiran aku. Ponsel pun aku lempar ke kursi sebab tak tahan dengan rasa kesal ini. Tanganku beralih membuka tutup kotak kado merah hati. Di dalamnya ada gaun berwarna krem selutut. Manis sekali sampai ingin rasanya aku mencabik-cabiknya menjadi banyak bagian. "Eh eh, mau diapakan?" Papa menaruh kopinya asal melihat aku memegang gunting dan baju dari Mama. "Mau aku gunting, nggak suka." "Bungah ...." Akhirnya Papa berhasil mendapatkan gunting itu. Merebut serta pakaian pemberian Mama dari percobaan mutilasiku. Papa segera memasukan helaian kain lucu itu kembali ke dalam kotak. Kekesalanku semakin menjadi, sedikit pun Papa tidak ada usaha memperbaiki hubungan mereka. Papa masih mencintai Mama, aku tahu dari sorot matanya jika mereka bertemu membahas kehidupan aku. Sampai kini, aku masih belum mengerti bagaimana orang dewasa berpikir. Mengabaikan seruan Papa aku pergi ke kamar. Biarkan, bantingan pintu membuatnya sadar kekalahannya. Tubuhku luruh bersandar pada pintu. Terduduk di sana dalam beberapa lama. Menyesali usahaku kurang keras mempersatukan mereka. Andai masih ada waktu untuk mengembalikan Mama dan Papa menjadi orang tuaku secara utuh. "Kenapa lagi anakmu?" Tangisanku berhenti, seseorang datang. Kemungkinan besar karena mendengar keributan kecil antara aku dan Papa. Mengingat rumah ini dan rumah saudara-saudara Papa sangat berdekatan membentuk satu lingkungan tetangga. "Bungah marah karena Utari memberitahunya akan menikah lagi mendadak." "Wanita itu dari dulu selalu membuat kekacauan. Tidak memikirkan perasaan anaknya. Ibu macam apa dia?" "Kak." Papa mengeluh. "Lingga. Kamu tidak berniat mencari ibu baru untuk Bungah? Sudah terlalu lama kamu hidup tanpa pendamping." "Kak ...." Terdengar helaan napas Papa, frustasi. "Yang terpenting dalam hidupku sekarang hanya anakku. Tolong jangan bahas ini. Bungah bisa mendengar percakapan kita. Aku tidak mau anakku makin tidak nyaman tinggal di sini." "Baiklah, terserah. Aku hanya kasihan pada kamu," pungkas wanita itu. Tidak ada percakapan lagi. Sepertinya, wanita yang dipanggil 'Kakak' oleh Papa sudah pergi. Agak terkesiap aku mendengar jendela kamar diketuk tiga kali. Biasanya ketukan itu akan terdengar saat malam hari. Tapi kenapa dengan siang ini? Pemuda yang sering aku jumpai dalam temaram berdiri di depan jendela. Dia sempat melihat wajah kacauku sebelum aku menghapusnya. Senyuman lebarnya akan membuat siapa pun ikut tersenyum. Aku membuka jendela kamar. Namun tak lama senyumnya surut menabrak tatapanku. Aku mengerutkan dahi karena perubahan raut wajahnya. Dia bertanya lewat mata, bertanya-tanya soal mata sembabku. Menggeleng satu-satunya jawaban. Aku mulai terbiasa dengan gaya komunikasi kami yang tanpa suara. Siang itu dia memakai kaus hitam lengan pendek. Kulitnya yang putih makin kontras. Boleh juga, dia terlihat lebih tampan di bawah sinar matahari dari pada sinar bulan. Dia menggaruk tengkuknya bingung. Perlahan, seikat bunga mawar kecil diletakan di atas papan jendela. Aku menatapnya heran. "Kenapa siang? Biasanya malam." Bunga pemberiannya aku ambil, melirik nakas di dekat tempat tidut, ada empat perahu kertas. Tidak biasanya dia memberi aku bunga. Tatapanku beralih padanya lagi, tapi dia sudah menghilang tanpa pamit. Aku menghela napas, lagi-lagi aku lupa menanyakan nama pemuda itu. Dia meninggalkan selembar kertas kecil. Malam ini kita tidak akan bertemu. Semua orang harus tetap di rumah saat malam Jumat. Tutup rapat pintu dan jendelamu, jangan hiraukan suara apapun. Hm ... maksudnya apa? Kenapa jangan keluar rumah malam ini? *** "No. Sudah malam, Sayang. Pamali keluar malam-malam." Papa memasukan kunci rumah ke dalam saku celana. Aku mendelik kesal. Ini ada apa sebenarnya aku tidak mengerti. Semua orang melarang aku keluar malam ini. "Pa, ayolah baru juga magrib. Kemarin malam kita bakar ikan di luar, kenapa malam ini aku dilarang keluar?" Papa tidak langsung menjawab, aku membuntutinya mengambil minum di dapur lalu kembali ke ruang tengah mematikan televisi. "Pa ...." "Ada yang boleh dan tidak boleh dilakukan di tempat baru, Sayang. Kita, harus mematuhinya." "Iya, aku paham, but why? Bungah juga ingin tahu alasannya." Papa mengedikkan bahu, tetap enggan menjelaskan. Oke, kalau begini ceritanya aku harus mencari tahu sendiri. "Jangan coba-coba, Bungah. Papa bisa lihat apa yang sedang kamu pikirkan. Menurutkan sekali-kali sama orang tua apa sulitnya, sih? Ini untuk kebaikan kamu kok." Suara Papa sarat penekanan menghentikan langkahku. Gerak-gerikku selalu saja dibaca Papa. "Ini bukan candaan," peringatnya lagi. Sekarang aku mengerti. Papa sedang tidak ingin dibantah. Aku masuk ke dalam kamar dengan perasaan dongkol. Sebelum Papa benar-benar marah dan aku malas bayangkan hukuman apa yang Papa berikan nanti bila terus melawan. Pintu kamar aku tutup. Menahan gejolak penasaran yang telah mendarah daging dari bayi. Sejak menginjakkan kaki di rumah mendiang Nenek, terlalu banyak hal yang disembunyikan dariku. Aku tidak sehebat Papa yang bisa mengira-ngira pikiran orang lain dengan cara menatap matanya saja. Aku hanya makhluk hidup biasanya yang punya insting jika merasakan keanehan. Alhasil malam itu aku tidur cepat. Papa terus bolak-balik ke kamarku menyuruh tidur cepat. Tepat pukul sebelas aku membuka mata. Ada yang mengetuk jendela. Gambaran si dia siang tadi tersenyum cerah sungguh mengganggu. Dia datang lagi. Bukannya dia bilang tidak akan datang malam ini? Semua orang tidak boleh keluar rumah pada malam Jumat. Lalu apa dia melanggarnya? Ketukan itu kembali terdengar. Berhenti sejenak digantikan detak jarum jam di dinding yang entah kenapa detak jantungku juga jelas terdengar. Aku terperanjat. Ketukan itu berubah menjadi gedoran siap memecahkan kaca. Aku meringsut waspada menatap gorden yang masih tertutup dalam temaram. Tiba-tiba aku merasa ruangan ini sangat dingin. Harap-harap cemas aku menanti ketukan lainnya, semoga itu dia. Aku tidak berani menyingkap selimut apalagi turun dari tempat tidur. Entahlah, hatiku tidak mengizinkannya. Lama menanti, keheningan menjalar bagai akar rambat di seluruh pojok ruangan. Binatang malam yang biasanya saling bersahutan ikut senyap. Aku menarik selimut hingga menutupi kepala. Menyembunyikan tubuhku di dalam sana. Ketakutanku tiba-tiba memuncak kala jendela kamar didobrak. Angin memaksa masuk hingga menciptakan bayangan gorden berterbangan. Tanpa sadar gigiku mengigit kuku, mengintip dari celah selimut yang aku ciptakan. Detik selanjutnya aku terbelalak, ada perempuan tersenyum lebar melihat aku dari celah itu. Lantas jantungku bergedup sangat kencang. Angin bertiup-tiup tidak berhenti menggerakan jendela yang terbuka. Sedangkan air mata tidak bisa dicegah lagi lajunya. Ketika angin berhenti berganti lirih senandung seorang wanita. Aku membekap mulut agar tidak berteriak. Memanggil Papa dalam hati. Keberanianku berkhianat meninggalkan aku sendiri bersama ketakutan ini. Apa ini alasan mereka melarang keluar rumah saat malam Jumat? Bahkan coba memikirkannya pun jangan. Bodohnya sebelum pergi tidur tadi, tanganku sengaja melepas kunci jendela. Agar si dia yang biasa datang setiap malam tidak menunggu lama bila aku ketiduran. Ternyata makhluk lain yang datang. Senandung wanita itu mengusai ruang. "Bungah. Bungah. Kenapa teriak-teriak?! Hei, Bungah. Look at me! Bungah!!" Selimut yang membungkus tubuh disingkap kasar. Aku melihat kepanikan Papa. "Papa ...." Suaraku bergetar bersama air mata berderai-derai. Tanpa aba-aba aku menerjang tubuh tegapnya. Percaya saja orang yang mengelus rambutku adalah ayahku. "Astaga Bungah kamu kenapa?!" Aku tidak menjawab. Sibuk tersedu-sedu dalam rengkuhannya. Di balik jendela, bayangan seorang perempuan masih berdiri. Tangisku semakin kencang menyadari keadaan kamar tidak sekacau ketika senandung wanita itu mendobrak jendela.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD