Empat

1032 Words
" Jangan ganggu aku lagi" “Mama, pembalut Kakak habis!!” teriak Gauri sambil membuka pintu kamar. Wajahnya meringis menahan sakit karena penyakit bulanannya. Padahal seharusnya jadwal haidnya seminggu lagi, tapi mengapa sekarang sudah datang? Apa karena ia kecapean? “Mama, pembalut Kakak habis!!” teriak Gauri lagi karena tidak ada respon dari Ibunya. Tidak bisa menunggu, Gauri turun mencari Mamanya, tetapi ia tidak menemukan siapa-siapa di rumahnya. Berharap masih ada pembalut milik Ibunya, Gauri masuk ke dalam kamar orangtuanya dan membuka laci rias yang biasa menjadi tempat keperluan pribadi Ibunya. Nihil, hanya tersisa bungkus saja. Gauri menghentakkan kakinya antara kesal dan menahan sakit. Ini tidak bisa dibiarkan, semakin lama akan semakin tembus!! Mengambil jaket di kamar dan memakainya, Gauri membuka pagar rumahnya sedikit. Melihat kondisi luar rumah untuk menuju warung yang berada di belakang rumahnya. Gauri menggeram melihat sekumpulan Ibu-ibu yang sedang berkumpul mengerumuni tukang sayur di sebrang rumahnya. Ia tahu ibu-ibu itu, ketuanya, biangnya dan dalangnya gossip. Ahh.. hari ini benar-benar sial untuk Gauri!! Tidak ingin mengambil resiko, Gauri kembali ke dalam rumah dan mengambil HPnya, menekan tombol telepon. “Heh, di mana kamu?” tanya Gauri begitu panggilannya di angkat. “Di studio Kak, latihan nge band. Kenapa?” tanya Shaka. “Studionya di mana? Jauh enggak dari rumah?” “Di daerah Sukajadi.” “Ah, jauh!! Si Jaka ke mana?” “A Jaka kan camping sama teman-temannya ke ranca upas. Kenapa sih Kak?” “Enggak ada, cepat pulang!” kesal Gauri menutup teleponnya dan melempar HPnya ke sofa. Tangannya kembali mengelus perutnya yang terasa sakit. Ia benar-benar harus beli pembalut dan minuman Pereda nyeri. Tapi ada ibu-ibu, gimana ya? Ah sudahlah, urusan pembalut lebih penting saat ini. Kembali memakai sendalnya, Gauri membuka pintu pagar dengan pelan. Berharap ibu-ibu gossip itu tidak menyadarinya. Lagipula mereka beli apa sih sampau belanja sayur saja lama banget? CEKLEK Gauri menggerutu kesal ketika ia menggeser selot pagar. Kenapa suaranya sekeras ini sih? Perasaan enggak sekeras ini. Mata Gauri melirik takut-takut ke belakang dan benar saja tiga Ibu-ibu sudah menatapnya seakan dirinya adalah daging segar. Astaga kaki Gauri terasa kaku untuk segera berlari ke warung yang entah mengapa letaknya yang hanya berbeda 6 rumah seakan menjadi 2 blok. “Lho, ternyata ada neng Gauri. Ibu pikir rumahnya kosong!” ujar Bu Jalal pada Gauri. “I-iya Bu, orang rumah lagi pada pergi.” Jawab Gauri dengan suara pelan. “Ya iyalah jeng di rumah cuma ada Neng Gauri, orang si Neng mah enggak kerja ya. Oh iya, Neng udah punya calon suami lagi enggak?” timpal Bu Sopian. “Lain kali hati-hati ya Neng kalau cari calon suami, dilihat lagi bibit bebet bobotnya kayak gimana, jangan karena mentang-mentang ganteng langsung iya aja. Kalau enggak nanti nasibnya kayak gitu lagi, memang mau?” Ucap Bu Bahar. Gauri mengepalkan tangannya, menahan rasa kesalnya. Inilah kenapa ia malas keluar rumah. Selalu saja seperti ini, orang-orang akan berkomentar tanpa memahami perasaannya. Menyalahkan dirinya karena tidak pandai mencari laki-laki tanpa berpikir bahwa ia juga korban. “URI!!” Gauri dan ketiga Ibu gossip itu sontak menoleh ke arah suara. Gauri memekik mendapati Ganendra datang masih menggunakan seragam PNS nya. Astaga mengapa Ganendra berada di dekat rumahnya? Apakah mereka janji untuk bertemu? Atau Ganendra juga mau beli sayur? “Lho, ini Nendra kan anaknya pak Rt sebelah?” tanya Ibu Jalal menatap Ganendra. Ganendra berdiri di sebelah Gauri dan mengangguk pada Bu Jalal. “Lagi pada kumpul-kumpul Bu?” Bu Sopian mengangguk semangat. “Kamu enggak kerja, Dra? Tumben datang ke blok sini.” “Ini baru pulang Bu, saya ada perlu sama Uri.” “Perlu apa memangnya?” Giliran Bu Bahar bertanya, matanya mengawasi kedua orang di depannya. Sepertinya ia mulai mencium hawa-hawa sesuatu di antara mereka. “Mau lihat contoh souvenir buat nikahan Teh Kia.” Jawab Ganendra santai. Gauri yang berada di sebelah Ganendra, bergerak gelisah. Ia benar-benar tidak nyaman dan membutuhkan pembalut sekarang juga!! Baru saja Gauri ingin melangkah, tubuhnya mengejang merasakan sesuatu yang terasa penuh di celananya. Astaga apakah dia tembus? Kalau seperti ini dia tidak bisa ke warung!! Bagaimana ini? Bagaimana ini? “Uri, kenapa?” Gauri menatap panik Ganendra, matanya sedikit melirik trio ibu-ibu kepo di depannya. Astaga Gauri merasa serba salah! Tangan Gauri dengan terpaksa mencengkram lengan Ganendra membuat pria itu tersentak karena kaget sementara trio di depan menyipitkan mata merasakan hawa yang aneh dari kedua orang di depannya. “Bu sudah belum belanjanya? Ini saya mau keliling lagi!” “Nanti,” jawab trio ibu-ibu itu dengan kompak. Mang Jajang selaku tukang sayur membuka topinya dan menjadikannya kipas, udara siang begitu panas, ada pasangan di depannya lagi pegang-pegangan, ditambah 3 ibu-ibu hampir sejam menahannya di sini dan hanya membeli kangkung dan jengkol saja. Ah nasib orang kecil! “Bu, saya mau keliling lagi! Kalau enggak beli saya mau jalan lagi ah.” Teriak Mang Jajang. Bu Sopian menggeram kesal, ia memberikan uang pada Mang Jajang begitupun ibu-ibu yang lain. Mereka kompak kembali menatap pemandangan yang akan menjadi bahan gossip baru. Namun… Yang terjadi.. Ke mana Gauri dan Ganendra? … Gauri menghela nafas ketika sudah sampai di dalam rumah, dengan kecepatan bak Naruto berlari ia menuju rumahnya ketika trio emak-emak itu sedang memberi uang kepada Mang Jajang. Syukurlah ia terlepas dengan satu masalah. TOK TOK. Gauri dengan cepat membuka pintu rumahnya, Ganendra berdiri dengan wajah merah sambil mengulurkan sebuah plastik berwarna hitam kepadanya. “Ma-makasih ya..” Ganendra mengangguk. Gauri melebarkan pintu untuk membiarkan Ganendra masuk ke dalam rumah. Ia sendiri cepat-cepat berlari menuju pintu toilet. Begitu Gauri pergi, Ganendra menghela nafas lega. Mimpi apa dirinya, dimintai tolong ke warung untuk membeli pembalut dan minuman datang bulan. Seumur-umur ia tidak pernah berkenalan dengan perlengkapan pribadi wanita. Maklum seumur hidupnya ia menjomblo. Ganendra berdiri dan lebih memilih duduk di teras, ia membutuhkan udara segar untuk mendinginkan kepalanya. “Nendra.. ayo silahkan masuk,” ucap Gauri terlihat canggung. “Sa-saya di sini aja.” “Hmm.. tapi semua contoh souvenir saya ada di ruang atas, dan kalau bawa ke sini lumayan banyak soalnya. Ka-kalau kamu enggak keberatan, mau ke atas?” ASTAGA KENAPA GAURI MERASA SEPERTI SEDANG MERAYU LAKI-LAKI? Untuk saat ini saja Gauri berharap kedua adik berisiknya cepat pulang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD