Tiga

1145 Words
"Berpisah itu mudah kok"  “Teh ini langsung di masukin aja ke dalam?” tanya Jaka sambil membawa satu dus berisi souvenir. Gauri yang baru menutup bagasi mobil, menoleh pada Jaka. “Iya bawa masuk aja, nanti ada Teh Tara nungguin. Teteh nungguin panitia yang mau bantu bawain sisanya, entar Teteh langsung nyusul ke dalam.” “Iya teh.” Tidak lama 4 orang berpakaian sama yang bertuliskan ‘panitia’ datang dan langsung membawa dus berisikan souvenir, Gauri sendiri mengikuti dari belakang dengan perasaan tidak karuan. Baru masuk ke pelataran gedung saja, ia merasa beberapa orang menatapnya. Gauri menundukkan diri, ini pertama kalinya ia hadir di satu acara. Padahal ia sudah mensugestikan dirinya untuk acuh, namun perasaan negative mulai berdatangan. Ia takut ada yang menyapanya, menatapnya dan menanyakan dirinya. “URI!!!” Gauri merasa luar biasa kaget mendengar suara seseorang yang memanggilnya. Tara melambaikan tangan bersama Jaka di sebelahnya. Dengan langkah sedikit cepat Gauri menghampiri mereka, sementara Jaka langsung merangkul pundak Gauri berusaha memberikan ketenangan untuk Kakaknya. Tara menggamit tangan Gauri dan menggandengnya untuk membawa masuk ke dalam gedung. “Uri, aku tuh was-was tahu, takut kamu enggak datang!” “Kan aku udah janji, Ra.” Jawab Gauri sambil menunduk. “Jaka enggak apa-apa kan ikut?” “Santai aja atuh Ri, eh itu tempat duduknya udah aku siapin.” Gauri harus berterimakasih karena Tara memilih tempat duduk yang cukup memojok sehingga ia tidak harus banyak interaksi dengan orang lain. Jaka jujga ikut menghela napas lega melihat posisi bangku yang setidaknya membuat Kakaknya aman. “Eh itu Ganendra,” tunjuk Tara pada pria berkemeja biru yang duduk tak jauh dari tempat duduk Gauri dan Jaka. Ganendra yang merasa ditunjuk menoleh dan tersenyum, pria itu berjalan menghampiri Gauri rombongan. “Uri,” sapa Ganendra. Gauri tersenyum canggung dan mengangguk sekali sebagai balasan sapa Ganendra. “Yang disapa cuma Uri aja nih?” Tanya Tara dengan nada menggoda. Ganendra hanya tersenyum kalem. “Kan tadi sudah,” “Hooo dikira mau dua kali nyapa diriku.” Ganendra menduduk bangku di sebelah Gauri. Pria itu menyondongkan badan ke arah Gauri membuat Gauri refleks memundurkan tubuhnya. “Apa kabar Ka?” Tanya Ganendra menyapa Jaka. “Alhamdulillah baik A,” “Sudah kuliah ya sekarang?” “Iya A. A Ganendra sekarang tinggal di mana? Masih di blok G? soalnya Jaka jarang lihat A Ganendra.” “Keluarga masih tinggal di sana, cuma Aa sekarang tinggal di perumahan batu nunggal biar deket kantor.” “Wiih mantap A, perumahan mahal tuh, iya kan Teh?” Gauri mengangguk setuju. Diam-diam ia mengagumi Ganendra. Sudah ganteng, PNS, punya rumah sendiri lagi. Sudah punya istri belum ya? Mau Tanya tapi gengsi. Sehingga Gauri menahan pertanyaannya dalam hati. Gauri melirik beberapa rombongan yang beberapa kali melirik ke arahnya. Inilah yang paling membuat Gauri malas, dimana-mana sama saja. Ia selalu menjadi bahan gibah. Ia mengenal beberapa orang, yang melirik ke arahnya adalah teman-temannya yang dating ke acara pernikahannya. Datang itu berarti menjadi saksi di mana Gauri dicampakkan. Benar-benar memalukan! “Uri, sehat?” pertanyaan Ganendra membuat Gauri tersadar dari sibuknya prasangka. “Alhamdulillah. Kamu?” “Saya sehat juga. Uri masih tinggal di rumah blok H kan?” “Iya, masih.” “Kalau saya sekali-kali berkunjung ke sana boleh?” Ganendra berdeham. “Maksudnya saya ada rencana mau pesan souvenir pernikahan ke Uri, boleh kan saya lihat-lihat contohnya?” “Kamu mau nikah?” Tanya Gauri spontan. Ganendra dengan cepat mengibaskan tangannya. “Oh enggak-enggak, Kakak saya yang mau nikah. Kalau saya belum punya calon,” “Oh Oke,” “Cieee.. kalian akrab banget sih!” goda Tara yang sedari tadi mengamati interaksi Gauri dan Ganendra. “Eh aku ke depan lagi ya ngurusin konsumsi. Ditinggal enggak apa-apa kan, Uri?” Gauri mengangguk. “Tapi aku enggak bisa lama Ra,” “Setengah jam an lagi deh, masa langsung balik sih? Kita ada performance dari Isyana lho!” Gauri memelas menatap Tara, dirinya benar-benar merasa tidak nyaman di sini. “Yaudah deh, tapi enggak janji nunggu Isyana.” Tara mengangguk. “Oke, aku tinggal ya.” Selepas perginya Tara, Gauri lebih memilih memainkan HPnya. Beberapa orang menyapanya, atau mungkin lebih menyapa Ganendra dan hanya tersenyum mengangguk melihat Gauri. Gauri berusaha acuh sesekali ia mengajak bicara Jaka yang terlihat asyik melihat performance di depan panggung dan memakan snack box yang diberikan panitia tadi. “Ka, pulang yuk!” bisik Gauri setelah melihat jam tangannya. “Sebentar lagi atuh Teh, pengen lihat Isyana.” Gauri mendelik sinis. “Pulang Ka, lihat Isyana mah di TV aja!” Jaka menatap Kakaknya sedikit kesal, namun sedetik kemudian ia mengerti wajah tidak nyaman kakaknya. “Yaudah hayu.” Gauri kini bergilir menoleh pada Ganendra yang ternyata sejak tadi memperhatikannya. “Nendra, saya pulang duluan ya.” “Lho kenapa? Kan acaranya belum selesai,” “Saya ada acara lagi,” “Acara apa?” Gauri mengernyitkan alis. Memangnya Ganendra sekepo inikah? “Keluarga,” bohong Gauri. “Oh, Uri, nanti saya kontak kamu ya.” “Buat?” “Oh itu.. mau nanya souvernir buat kakak saya.” “Oh iya maaf lupa. Iya enggak apa-apa, kalau mau Tanya-tanya boleh langsung chat aja.” “Kalau datang ke rumah?” Gauri mengerjapkan mata. Apa cuma perasaannya saja, tetapi entah mengapa Gauri merasa Ganendra terlihat bersemangat. “Ke rumah?” “Lihat-lihat contoh souvenir,” jelas Ganendra. “Sebenarnya kalau mau lihat souvenirnya kita ada katalognya kok di website.” Ganendra menggeleng tidak setuju dengan pernyataan Gauri. “Lebih jelas lihat langsung,” “Oh kabarin aja kalau mau ke rumah.” Ganendra mengangguk. “Hati-hati di jalan ya Uri,” ucap Ganendra sambil mengulurkan tangannya. Dengan bingung Gauri membalas uluran tangannya. Ia merasakan tangan Ganendra meremas tangannya dengan erat. … “Teh, A Nendra keren ya!” Puji Jaka tiba-tiba ketika mereka berada di dalam mobil. “hmmm,” respon Gauri tidak semangat. Ia ingin segera pulang ke rumah dan tidur siang. Semalam ia begadang karena menonton film di laptop. “Udah ganteng, PNS, kaya lagi.” “Geli denger cowo muji cowo. Kenapa? Kamu naksir?” “Astagfirullah, ya enggak atuh Teh! Aku tuh cuma kagum aja sama A Nendra. Atuh kan kita kenal A Nendra dari kecil, eh pas gede ternyata udah jadi laki-laki sukses.” “Makanya kamu nanti tanya ke Nendra tipsnya, siapa tahu kamu bisa ngikutin dia. Jangan banyak main jauh-jauh ya De. Apalagi sekarang lagi musim begal. Si Mama kalau lihat kamu sama si bungsu keluar sok khawatir.” “Aku mah keluar paling ke kampus, tuh si bungsu kalau keluar ke café.” “Ya dia mah ke café juga cari duit!” “Yah sama aja, ade juga nih keluar sama teteh kan cari uang. Teh jangan lupa tips hari ini rada gedean ya.” Gauri mengusap muka adiknya dengan kasar. “Duit mulu yang dipikirin!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD