Olivia - 2

2289 Words
Olivia Franklin, ia bekerja sebagai seorang fashion editor di salah satu majalah fashion ternama di kota London. Kehidupan yang baru bagi dirinya, dan terasa begitu banyak hal yang harus ia pelajari. Olivia yang anak tunggal, kekasih yang selalu dijaga pujaannya, kini mencoba untuk menyesuaikan kehidupannya yang lama di Los Angeles dengan kehidupan barunya di kota London. Olivia telah meninggalkan banyak hal dari kehidupannya di Los Angeles. Ia setuju mengikuti pertunangan. Kehidupan baru yang tidak pernah dibayangkan oleh diri seorang Olivia Franklin sebelumnya. Kehidupan yang sebelumnya terasa semarak dengan keluarga dan teman-temannya, kini di kota London, ia hanya mengenal Matt dan beberapa rekan kerjanya yang baru. Untuk pertama kalinya Olivia memasuki dunia kerja sejak kelulusannya dari universitas beberapa tahun silam. Yang sebelumnya ia anggap hanya mimpi belaka. Berasal dari latar belakang keluarga yang kaya raya, ayahnya yang seorang CEO dari sebuah perusahaan ternama, meski tak besar tapi memiliki pengaruh luar biasa. Sang ayah yang tak pernah mengizinkan Olivia sebagai putri semata wayangnya untuk bekerja. Ayahnya menginginkan Olivia untuk melanjutkan pendidikannya dan kelak akan meneruskan bisnis keluarga, serta menikah dengan seorang pria dari kalangan yang sama. Semua perencaan kedua orangtuanya bagai sebuah kisah klasik, dan karena hal itu juga Olivia setuju dengan keputusan Matt untuk mengikatnya dalam sebuah jalinan pertunangan dan membawanya pindah ke London. Meski sejujurnya Olivia ingin melepaskan dirinya dari belenggu kehidupan di bawah kediktatoran ayahnya. Satu bulan telah berjalan. Sebuah apartemen mewah diberikan oleh ayahnya untuk Olivia dan Matt tinggali di tengah kota London. Namun kenyataannya, kantor tempat Olivia bekerja, berada di pinggiran kota London. Setiap paginya Olivia dan Matt harus menggunakan kereta bawah tanah untuk sampai ke tempat kerja masing-masing dengan perjuangan yang luar biasa. Dalam himpitan kereta bawah tanah seakan mengharuskan Olivia untuk mepersiapkan dirinya semaksimal mungkin untuk setiap paginya.   Pagi ini Olivia terbangun dengan ciuman-ciuman yang diberikan oleh Matt di sepanjang lehernya dan jeari Matt telah berada di atas permukaan kulit perut Olivia. Sentuhan Matt membuat Olivia mengerang. “Matt.” “Good morning, Baby. I love you.” Olivia hanya membalas dengan erangan dan menggeliatkan tubuhnya di balik selimut sampai Matt menepuk bokongnya dua kali. “Matt!” pekik Olivia. “Ayo bangun pemalas. Kita harus segera bangun sebelum terlambat,” ucap Matt mengingatkan dan Olivia melirik Matt dengan kesal, membuatnya mengingat akan serangkaian pertemuan hari ini yang terasa melelahkan meski hanya dalam bayangan. “Ayo, pemalas. Kau ingin aku menyeretmu ke kamar mandi?” ancam Matt dengan mimik wajah meledek dan Olivia beringsut dari balik selimut dengan enggan sampai Matt memukul bokongnya sekali lagi. “Matt!” gerutu Olivia sambil bergegas ke kamar mandi di susul oleh Matt. Rasa kantuk yang masih bergelayut hebat dipelupuk mata Olivia, ia mencoba untuk tetap sadar dengan mengingat setumpuk pekerjaan yang harus ia selesaikan hari ini, serta menyingkirkan mimpi erotis semalam hingga menbuatnya kuyup. “Kita lupa jika pesta semalam akan membuat Senin pagi kita kacau Matt,” gerutu Olivia yang merasakan tubuhnya terasa lelah usai melewati pesta yang diadakan kawan-kawan Matt di tempatnya bekerja dan tambahan mimpi yang menguras gairahnya. Olivia melepaskan pakaian tidur yang dikenakannya. Menarik pakaian tidurnya, melewati atas kepala sebelum ia masuk ke bawah guyuran shower dan bergabung dengan Matt yang sibuk menyabuni kepalanya dengan shampo. Rasa dingin dari air yang mengucur dari shower membuat seluruh saraf di tubuh Olivia berkedut, matanya mulai terbuka seutuhnya. Olivia menyodorkan botol sabun pada Matt yang berdiri membelakanginya. “Sabuni aku,” pinta Olivia seperti biasanya. Matt berbalik, meraih botol sabun dari tangan Olivia dan mulai menyabuni punggung telanjang kekasihnya dengan cepat, gerakan naik turun di bawah guyuran air dan berakhir dengan ciuman dibawah guyuran shower. Lima menit berselang, Matt keluar dari dalam shower, ia mulai mengeringkan tubuhnya sementara Olivia sibuk menyikat giginya hingga ia merasa bersih. Ritual mandi yang selalu dilewati keduanya dengan cepat dikarenakan waktu yang sangat singkat berbalapan dengan jadwal kereta bawah tanah. Tik tok tik tok… Olivia mengenakan baju terusan selutut, mengenakan sepatu flat hitam miliknya dan mengikat rambutnya menyerupai buntut kuda. Wajah cantik yang tidak pernah bersentuhan dengan kosmetik, meski terkadang terbersit dalam pikiran Olivia untuk tampil seperti wanita lainnya. Namun Mat melarangnya, Matt tidak menyukai jika dirinya tampil dengan make up sepanjang perjalanannya menuju tempat kerja. Alasan Matt, demi keselamatan Olivia sendiri, untuk menghindari tindak kejahatan yang belakangan meningkat di kota London. Olivia mencoba menghubungkan alasan tersebut, nyatanya terasa aneh baginya. Olivia bukan wanita bodoh, ia selalu penasaran dengan semuanya. Bahkan sempat terbersit dalam kepalanya, jika mungkin hanya alasan Matt saja agar tak ada yang meliriknya, itu yang kini memenuhi pikirkan Olivia. “Selamat pagi, Sayang.” Suara Matt yang terdengar lembut seperti biasanya disusul dengan kecupan di kedua belah pipi Olivia. Olivia terdiam mematung dan mulutnya yang sedang megunyah ikutan berhenti. Bayangan semalam menghinggapi kepalanya. “Kau baik-baik saja?” tanya Matt sambil mengambil selembar roti dan meletakkannya di atas permukaan piring cepernya. Olivia menatap Matt dengan seksama dan membatin pada dirinya sendiri. “Bukan suara Matt. Suara itu… serak dan berat. Ya Tuhan.” Olivia sibuk dengan pikirannya. Menatap Matt dengan diam-diam dan menyaksikan bagaimana tunangannya mengigit roti berselai kacang dengan nikmat. Olivia mengunyah dengan cepat, menghabiskan sereal dalam mangkuknya yang telah bercampur dengan s**u putih, meneguk jus jeruk instan yang sudah dituangkan Matt pada gelas miliknya. “Kita harus berangkat sekarang, Sayang. Sebelum ketinggalan kereta,” ujar Matt sambil meraih mantel milik Olivia lebih dulu yang tersampir di lengan kursi dan membantunya untuk menggunakannya. Menarik keluar rambut Olivia yang terselip masuk dalam kearah mantel. “Terima kasih, Matt,” ucap Olivia lembut sambil tersenyum, dan sebuah kecupan mendarat diujung bibir Olivia. “I love you, Baby.” “I love you too, Matt.” Keduanya beranjak, menyambar tas masing-masing. Menaiki taksi untuk meluncur ke stasiun bawah tanah. Jalanan kota London yang ramai. Jalanan yang masih terlihat basah meski salju tidak turun selebat kemarin. Namun rasa dinginnya masih menusuk hingga ke tulang sum-sum. Dingin yang mengigit hingga Olivia memutuskan untuk memasukkan kedua telapak tangannya ke dalam saku mantel yang ia kenakan. Duduk bersebelahan dengan Matt dalam taksi yang membawa mereka berdua. Keduanya berhamburan dari dalam taksi tepat saat taksi tersebut berhenti di halte yang tak jauh dari bibir tangga menuju ke bawah tanah. a Menuruni anak tangga dengan langkah cepat kini telah menjadi keahlian bagi Olivia. Napasnya tak lagi tergopoh-gopoh seperti satu bulan yang lalu. Olivia sudah mampu menuruni anak tangga tanpa melihat lagi kakinya berpijak dengan benar atau tidak. Mereka berdua sampai di stasiun tepat sepuluh menit sebelum jadwal keberangkatan. Suara riuh para penumpang, saling dorong tanpa ada kata maaf. Olivia langsung menempelkan kartu miliknya dan dengan otomatis ia langsung bisa menuju kereta yang akan ia tumpangi. Dan napasnya terasa berhenti tepat saat melewati pintu penjagaan. “Olivia,” panggil Matt, namun Olivia bergeming, ia sibuk dengan ponsel di tangannya saat ia mencoba untuk membalas pesan yang dikirimkan salah seorang temannya di Los Angeles, hingga Matt perlu untuk meraih lengan Olivia, dan keduanya saling menatap.   Kelopak mata Olivia melebar, manik coklatnya menatap Matt dengan terkejut. “Olivia, I love you,” ucap Matt sebelum menciumnya dengan tiba-tiba. “I love you too, Matt,” timpal Olivia sambil tersenyum. Ia langsung bergegas menuju ke dalam kereta dan dua detik setelahnya pintu kereta tertutup. Olivia mendesis pelan sambil berpegang pada tiang yang berdiri tepat di sampingnya. “Fiuhh!” Ia menghela napas dengan dalam sambil mencoba untuk lepas dari himpitan dengan penumpang lainnya, Olivia mencoba untuk mencari tempat yang lebih longgar. Ia butuh untuk berpegang agar tidak terjatuh dalam 45 menit ke depan.   ***   Suara dencitan saat kereta berhenti, disusul dengan pintu yang terbuka lebar, Olivia melangkah keluar meninggalkan gerbong, berhamburan bersama dengan penumpang lainnya. Dengan langkah lebar Olivia keluar dari kerumunan penumpang lainnya, berjalan sedikit lebih pinggir menghindari desak-desakan dengan penumpang lainnya. Meninggalkan gerbong kereta dan menaiki undakan anak tangga yang sama banyaknya di setiap statius pemberhentian. Olivia terus berjalan dengan kedua telapak tangan yang dimasukan dalam saku mantelnya. Menyingkirkan rasa dingin pada sekujur telapak tangannya yang tidak terbungkus sarung tangan. Dingin yang menggigit beberapa hari belakangan, bahkan rasa dinginnya sampai terasa hingga ke tulang sumsum.  Jalanan yang kini dipijak dan dilewati Olivia terlihat lebih basah, dan masih terasa rintik hujan saat undakan tangga yang dipijak Olivia tidak lagi tertutup atap. Bersimpangan dengan orang-orang yang sama-sama berjalan kaki. Waktu menunjukan pukul delapan tiga puluh pagi waktu London. Olivia cukup berjalan kaki untuk sampai tempatnya bekerja. Letak stasiun bawah tanah yang tak jauh dari kantornya membuatnya cukup santai dan dapat menikmati suasana paginya tanpa tergesa-gesa. Langkah kaki Olivia telah membawanya berjalan ke arah lampu jalanan dan seperti biasanya, dengan gerakan cepat, Olivia langsung menyambar tombol pada lampu jalanan hingga berganti. Namun sesosok tubuh yang lebih besar nyari membuatnya terjatuh, tubuh Olivia terhuyung dan berputar jika saja sepasang tangan berotot tidak menyangganya dengan cepat. Olivia terbelalak, mata indahnya membulat dan napasnya terasa berhenti untuk beberapa detik. Manik mata coklatnya bertemu dengan manik mata yang gelap milik seorang pria. Olivia tenggelam dalam diamnya sampai gemuruh disekelilingnya menyadarkannya. Pagi ini terasa berbeda. “Aku… Maafkan aku,” ucap Olivia sambil melepaskan diri dari pria itu, memperbaiki tampilannya sambil menghela napas dengan begitu dalam. Pria itu hanya menatap Olivia dengan tatapan tajam, dan terasa penuh misteri. Lampu jalanan telah berubah warna berulang-ulang. “Terima kasih untuk bantuan Anda,” sambung Olivia dengan menekan suara agar tak terdengar gemetar, namun pria itu bergeming, ia masih memasang wajah dingin dan membisu. Olivia berubah kikuk, menelan ludah dengan kecewa meski ia telah siap menampilkan senyum manisnya. Pria itu menatap Olivia dengan lurus hingga membuat jantung Olivia terasa berdebar secara tiba-tiba. Pria itu mencuri pandang sebelum Olivia beranjak untuk kembali mendekat pada tiang lampu lalu-lintas jalanan. Olivia mencoba menenangkan dirinya dan mengembalikan kendali dirinya.  Menghela napas sambil menanti lampu jalanan berubah warna. Sekali lagi Olivia beranikan diri untuk menoleh ke balik bahunya. “Ya Tuhan, pria yang tampan,” desis Olivia pada dirinya sendiri. “Silahkan,” kata pria itu mempersilahkan Olivia untuk berjalan lebih dulu, dan Olivia merasa begitu terkesima hingga tak menyadari jika lampu jalanan telah berubah warna. Olivia tersentak, tersenyum aneh dan melangkah menyeberangi jalanan. Pria itu berada tepat berjalan di samping Olivia dengan langkah lebar. Ia berjalan tegap dan terlihat seksi serta terasa kuat. Itu kesan yang Olivia dapatkan dan rasakan dengan kegilaan pagi ini yang ia jalani. Keduanya terpisah di ujung trotoar seberang tempat keduanya berdua menunggu dan mengalami sesuatu yang mengejutkan. Olivia dengan percaya diri terus melangkah hingga pria itu menyeberang sekali lagi tepat saat Olivia berbelok menuju gedung tempatnya bekerja. Olivia terkejut dan bercampur kecewa. Ia termangu untuk dua detik, mengamati pria itu melangkah hingga keduanya berjalan searah, meski posisi keduanya berseberangan. Tatapan mata kedua saling berbalas hingga membuat Olivia merasa menjadi wanita bodoh yang ceroboh karena nyaris melewati gedung kantornya sendiri. Bahkan Olivia nyaris menabrak seorang pejalan kaki lainnya yang membawa kopi dalam genggamannya. “Ma… Maafkan aku,” ucap Olivia dengan sesal dan beberapa tetes kopi membasahi ujung sepatu pria di hadapan Olivia. “Sekali lagi aku minta maaf, Sir,” imbuh Olivia dengan raut meenyesal dan pria itu mendengus sebelum melanjutkan langkahnya dengan wajah marah. Olivia meringis sendirian sambil bersyukur karena pria itu tak memakinya di depan umum.   “Hi Olivia,” sapa Lidya dari arah belakang dan spontan Olia berjingkat, berputar di atas tumit sepatunya. Menatap Lidya rekan kerjanya dengan mata membulat. “Hi,” balas Olivia dengan suara semeringah. Olivia mengembangkan senyuman di kedua sudut bibirnya. Olivia merasa pagi ini otaknya tidak bekerja sempurna. Kekacauan demi kekacauan.   “Kau menunggu seseorang?” tanya Lidya dengan tatapan aneh. Olivia terdiam dua detik sebelum kembali memamerkan deretan gigi putuhnya yang rapi.   “Ya, aku… Ayo sebaiknya kita masuk,” ajak Olivia sambil mengalihkan kebingungan Lidya. Olivia menarik napas sebelum berjalan mendekat ke arah Lidya sambil melayangkan pandangan matanya ke arah seberang jalan. Sepasang tatapan tajam masih mengamatinya. Pria itu masih di sana, menatap Olivia dengan tatapan intens. Menusuk dan Olivia merasakan sekujur tubuhnya meremang. Sebuah bus umum bertingkat dengan warna merah khas kota London melintas di antara keduanya, menghalangi pandangan mata keduanya meski tak lama. Tapi pria itu tetap ada di sana. “Olivia.” Suara milik Lidya yang telah berdiri menunggu saat tasnya dalam pemeriksaan pintu masuk gedung. Olivia menoleh ke arah Lidya sebelum kembali menatap ke seberang, jantungnya terasa berdegup lebih kencang dan Olivia menghela napas sebelum melangkah bersama Lidya untuk masuk ke dalam gedung. Sekali lagi meliriknya dari balik bahu, dan pria itu, dia masih di sana. Menaiki anak tangga sebelum melewati pemeriksaan penjaga keamanan. Olivia sekali lagi menoleh ke belakang untuk terakhir kalinya, rasa penasaran yang entah datangnya dari mana, pria itu telah menghilang entah kemana. Rasa penasaran yang tiba-tiba menyeruak dan memenuhi setiap sudut diri Olivia. Tubuh bermantel serba hitam yang menghilang, Olivia mencoba untuk mencari di antara pejalan kaki itu, namun tak menemukannya sampai sorot mata tajam berwarna coklat yang mampu diingat Olivia muncul dari balik kaca mobil sport yang diturunkan. Seketika jantung Olivia terasa berhenti bekerja. Pria itu melajukan mobilnya meninggalkan bahu jalan. Olivia langsung melanjutkan langkahnya, mengekor di belakang Lidya. “Sampai bertemu lagi nanti, Olivia,” ucap Lidya. “Sampai nanti,” balas Olivia sambil tersenyum. Arah ruangan mereka berdua berbeda. Olivia langsung menghampiri meja sekretarisnya. “Selamat pagi, Gaby,” sapa Olivia sambil tersenyum. “Selamat pagi,” balas Gaby, gadis yang usianya diatas dari usia Olivia saat ini. Gaby memberikan sebuah paket berbungkus putih pada Olivia sebelum memasuki ruangan kerja. Langkah Olivia yang terasa cepat, dan sesampainya dalam ruangan miliknya dan membiarkan pintunya tetap terbuka.  Olivia berjalan anggun menuju meja kerjanya dan langsung meraih sebuah cermin bulat berkaki yang berdiri di atas meja kerja yang ia tempati. Olivia terdiam, mengamati bayangan dirinya dalam pantulan cermin bulat di hadapannya, memandangi wajahnya sendiri dan tatanan rambutnya sebelum menghembuskan napas lega. “Ya Tuhan. Siapa pria itu,” desis Olivia seorang diri, termangu sebelum kembali ke dalam cermin. “Untunglah aku tidak terlihat buruk,” gumam Olivia seorang diri yang terdengar konyol. Olivia terdiam beberapa saat sebelum dirinya mengawali pekerjaannya dengan membuka laptop miliknya dan menekan tombol power. Jeda sejenak, membiarkan mesin laptop menderu pelan dan halus di tengah ruang kerja yang hening. Olivia beranjak dari kursi kerjanya dan berjalan ke arah jendela gedung. Melepaskan syal yang melilit lehernya yang mulai terasa basah pada permukaan kulit. Arah pandangan mata Olivia tertuju pada jalanan di depan kantornya, masih ramai dengan jalanan yang masih basah, jejak hujan yang belum hilang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD