bc

FransAle

book_age18+
231
FOLLOW
1.4K
READ
possessive
arrogant
dare to love and hate
boss
doctor
sweet
bxg
office/work place
first love
lonely
like
intro-logo
Blurb

"Jangan mengulangi masa lalu. Lo udah terlalu hancur untuk kembali dihancurkan lagi."

Sepenggal ucapan sahabatnya menyeruak memasuki memori Ale. Masa lalu yang seharusnya ia hindari justru membelenggu Ale dalam perasaan cinta yang kini terbalas. Takdir rumit yang Ale pikir telah usai, ternyata kembali hadir seiring perasaannya yang semakin terjebak dalam satu sosok cinta masa lalu.

Sekuat apa Ale menghadapi takdir kisah masa lalunya? Apakah perasaan masa lalu mampu menguatkan Ale atau justru semakin membuatnya terjebak dalam rasa penyesalan?

Cover by TheMochi`sMommy Made with Canva and Pixabay

chap-preview
Free preview
FransAle I | Masa Lalu yang Membekas
"Saya terima nikah dan kawinnya, Alessa Divanka Gunawan binti Diko Gunawan dengan mas kawin uang tunai sebesar satu juta dua ratus lima puluh ribu rupiah dan seperangkat alat sholat, di bayar tunai!" "Bagaimana para saksi?" "Sah?" "SAH!" "Alhamdulillah." Alessa Divanka Gunawan tidak menyangka, pernikahan yang ia impikan berakhir dengan berantakan. Setetes air mata menjatuhi pipinya. Telinganya tak kuasa mendengar suara tangisan dari adiknya yang berusaha di tahan. Tubuhnya masih duduk dengan kaku, lidahnya kelu hanya sekedar mengucap satu kata. Setelah ini, apa yang harus Ale lakukan. Apakah Ale bisa hidup bahagia dengan suaminya? Atau lebih tepatnya, pacar dari adiknya yang menjadi suaminya sendiri? *** Tiga tahun berlalu, bukan waktu yang sebentar guna Ale menyembuhkan luka hatinya. Perasaan di khianati sering kali menjadi ketakutan terbesar Ale, untuk kembali menjalin sebuah hubungan. Sekuat hati, Ale membentengi diri. Tak membiarkan sedikit pun celah untuk pria lain memasuki kehidupannya. Dirinya tak akan siap, hatinya akan sulit menerima orang lain yang ia percaya setelah masa lalu pahit yang Ale alami. Ia bahkan pergi dari rumahnya, menghilangkan rasa trauma yang terkadang membuat Ale merasa bersalah. Kesalahan yang membuat seluruh keluarganya malu, dicaci, digunjingkan dan dikucilkan oleh lingkungan sekitar. Namun, tak satu pun keluarganya membenci Ale. Bagi Papa, Ale adalah putri sulungnya yang manja. Dan bagi Mama, Ale adalah salah satu putri terkuatnya. Butiran bening jatuh membasahi pipinya, tak terasa kenangan masa lalu membuatnya tak sengaja meneteskan air mata. Ale menghapus air matanya, mengusapnya pelan. Berharap air matanya mengering dan tak jatuh lagi. Lelah rasanya di kejar kenangan masa lalu yang membayanginya setiap hari. Ting! Suara dentingan dari ponsel yang berada dalam genggaman tangannya mengalihkan perhatian Ale. Terlihat satu pesan yang baru masuk dari kontaknya. Dyah. Tanpa membaca isi pesan tersebut, Ale langsung mendial nomor tersebut. Menelepon seseorang yang baru saja mengirim pesan padanya. "KAKAK AL!" Suara teriakan dari seberang telepon mendengung di telinganya. Ale mengusap telinganya lembut, meredakan pengang akibat suara sapaan dari seberang. Selalu saja, tak ada sapaan lembut menyambut telinganya. Melainkan suara cempreng khas Dyah yang begitu antusias ketika ia menelepon. "Mbak Diva, Dyah. Kamu manggil Mbak mu ini seperti nama laki-laki." Protes Ale pada sosok yang ia panggil Dyah. Suara tertawa mengalun lembut, "Iya, iya... Mbak Diva, gimana kabarnya? Baik?" "Alhamdulillah, Mbak baik-baik aja. Kamu sendiri gimana?" "Dyah baik, Mbak. Mama sama Papa juga baik, kita semua kangen Mbak Diva." Kata Dyah terdengar pelan di akhir kalimat. "Mbak Diva kapan pulang? Dyah kangen, Mama kangen, Papa kangen. Semuanya kangen Mbak Diva di rumah. Kangen kumpul bareng." Ale menjauhkan ponselnya dari telinga, sepasang mata kembali berkaca. Ale tak kuasa menahan tangis, betapa rindu Dyah pada dirinya. Merindukan sosok kakak yang selalu melindungi Dyah, menjadi tameng ketika Dyah melakukan kesalahan, memberikan bagian makanannya pada Dyah yang merengek meminta makanan padahal Dyah sudah mendapatkan bagiannya sendiri. Semua kenangan itu kembali menyeruak dalam ingatannya ketika dulu masih baik-baik saja. Sekarang, keadaannya telah berbeda. Ale tidak ingin kehadirannya membawa cemoohan untuk Mama dan Papa. Alasan itu cukup membuat Ale harus pergi jauh dari rumah, hidup mandiri di kota orang. "Kalo Mbak dapet libur panjang, Mbak pulang ya..." Suara helaan napas terdengar, "Memangnya pihak rumah sakit tidak memberikan ijin untuk karyawannya libur? Kenapa Mbak Diva betah bekerja di sana sih? Mbak Diva resign aja, pulang ke rumah. Nanti biar Mas Iko yang bantuin Mbak, cari kerjaan di sini." "Mbak sudah nyaman bekerja di rumah sakit ini, Dyah. Mbak terlalu sayang meninggalkan teman, rekan dan sahabat Mbak di sini." "Tapi Dyah sayang Mbak Diva, kangen Mbak Diva. Pengen kaya dulu lagi." Lagi dan lagi. Ini alasan Ale tidak ingin menelepon keluarganya. Ia tak sanggup jika mendengar suara rindu mereka padanya. Semenjak pindah ke Surabaya dengan dalih mendapat tawaran pekerjaan, Ale baru sekali pulang ke rumah. Setelahnya, Ale memilih untuk menghabiskan hari liburnya berdiam di kost-an. "Lain kali, Mbak pasti pulang ke rumah. Sekarang, Mbak lagi jalan ke kost-an. Mbak tutup teleponnya, ya." "Tapi Mbak-" "Assalamualaikum Dyah." Diva memotong kalimat Dyah, ia tak ingin mendengar suara Dyah yang meminta dirinya untuk pulang. Hati Ale tidak sanggup. Mengemasi barangnya ke dalam tas, Ale bersiap untuk meninggalkan ruang instalasi rawat jalan. Shift-nya telah usai, dan jam dinding menunjukkan pukul sembilan malam lebih dua puluh menit. Di balik pintu, tanpa sengaja seorang gadis mendengar percakapan Ale di telepon. Melihat Ale yang sudah bersiap untuk pulang, gadis itu perlahan mendekatinya. "Mau pulang?" Tanyanya. Ale berbalik, "Refa? Ah, iya. Aku mau pulang." "Kamu ngapain disini?" Gadis yang di panggil Refa itu menggeleng, "Aku kemari karena kau tak membalas pesan ku." "Pesan?" Tanya Ale, Refa mengangguk. "Coba buka ponsel mu dan lihat ada pesan masuk dari ku." Langsung saja Ale membuka ponsel dan masuk aplikasi w******p, benar. Terdapat nama Refa yang mengiriminya pesan sejak satu jam yang lalu. "Kau mengajakku makan mie di dekat stadion?" Refa tersenyum penuh semangat. "Yuk!" Ale tampak berpikir, rasanya ia malas sekali. Tapi, melihat Refa datang menemuinya di rumah sakit membuatnya tidak tega untuk menolak. Lantas Ale mengangguk. Refa melonjak kegirangan. "Yaudah yuk! Kita berangkat sekarang, tadi aku udah bawa motor. Pinjem ibu kost." Ale tertawa mendengarnya. Ale dan Refa adalah rekan sekaligus sahabat ketika keduanya bertemu di rumah sakit Santa Claria. Refa bekerja lebih dulu selama satu tahun enam bulan, di susul Ale setelahnya. Kebetulan keduanya tinggal di kost yang sama, dan menjalin persahabatan hingga sekarang. Tanpa disangka, Ale dan Refa adalah teman SMA ketika mereka bersekolah di Madiun dulu. Mereka baru menyadari ketika bercerita antara satu sama lain. Dan tertawa, ternyata mereka satu SMA tapi tak saling mengenal. Sedikit banyak, Refa mengetahui kehidupan Ale beserta masa lalunya. Tidak mudah untuk Ale menceritakan masa lalunya pada Refa. Namun, Refa dengan sabar dan selalu merangkul Ale agar sahabatnya itu tak sendirian. Lambat laun, ketika Ale tak kuasa menahan beban sendirian. Dengan peluk, Refa menjadikan tubuhnya tempat bersandar untuk Ale. Menenangkan Ale dan meyakinkan Ale, jika Refa bisa menjadi tempat berkeluh kesahnya. Di malam itu, semuanya terungkap. Semua kesakitan dan beban Ale sedikit terangkat berkat Refa. Semenjak malam itu, hubungan pertemanan keduanya menjadi lebih dekat dan saling melindungi satu sama lain. "Mau beli motor gak?" Tanya Ale ketika keduanya berjalan di lorong yang sepi. "Mau sih, mau. Cuma dananya belum ada, lagi pula bapak sama ibu lagi butuh uang." Jawab Refa. Kondisi keuangan Refa dan Ale tentu jauh berbeda, Ale terlahir dari keluarga yang cukup mampu dan mapan. Sedangkan Refa, harus menjadi tulang punggung keluarga untuk membantu membiayai kuliah adiknya. Orang tua Refa sudah tua, dan bekerja pun pasti tak sekuat ketika masih muda. "Patungan aja, mau gak?" Refa menatap Ale tidak yakin, "Patungan?" Ale mengangguk, "Nanti atas nama kamu aja. Aku males ngurus surat-surat, lagian enak rebahan di kost-an." Alibi Ale dengan nada bergurau. "Kamu sih suka yang enaknya aja. Bagian susahnya lempar ke aku!" Keduanya tertawa lepas, senang rasanya Ale bisa membantu Refa dengan cara seperti ini. Sebenarnya Ale tak begitu membutuhkan motor, berjalan kaki di tengah panasnya kota Surabaya cukup membuat Ale senang. Namun, berbeda dengan Refa yang harus meminjam motor temannya ketika ia mengajar les bimbel di salah satu instansi. Kesusahan Refa membuat Ale sadar, jika Refa tak pernah mengeluh karena kehidupannya yang sulit. Justru gadis itulah yang selalu menemani Ale ketika Ale merasa sendirian dan memikul beban yang berat. Padahal Refa pun sama, hanya saja, gadis itu pintar menyembunyikan lukanya. *** Alarm dari jam beker di atas meja samping tempat tidur terdengar begitu berisik. Tangannya berusaha mematikan jam beker yang mengusik tidur lelapnya. Ketika berhasil mematikan, suara gedoran pintu bergantian mengusiknya. Membuatnya kesal dan terpaksa bangun dari singgasana kapuknya. "FRANS! BANGUN!" "FRANS!" "BUKA PINTUNYA!" "FRANS!" Pria yang terusik itu berjalan menuju pintu, membukanya dengan wajah kesal. "Apa sih Ma?!" "Frans masih ngantuk! Mau balik tidur lagi!" Belum sempat pria itu berbalik, sang Mama menahan lengannya. "Hari ini kamu ada jadwal kunjungan rumah sakit sebelum pelantikan Presiden Direktur satu minggu lagi!" "Duh Mama, di undur aja kenapa sih? Frans capek!" "Frans!" Mengacak rambutnya kian berantakan, Frans menyerah, "Iya-iya! Frans mandi sekarang!" "Mama tunggu di meja makan." Ujar sang Mama meninggalkan putranya yang terlihat semakin kesal. Menutup pintu dengan kencang, Frans tak peduli jika pintunya rusak atau engselnya patah, yang jelas ia meluapkan kekesalannya. Frans melangkah menuju kamar mandi, menyegarkan pikirannya yang kesal karena Mamanya. Kehidupan nyamannya di Belanda harus sirna karena sang Mama memaksa Frans untuk segera kembali ke Indonesia. Mengambil alih posisi Presiden Direktur setelah Mamanya pensiun. Tidak seperti sebelumnya, dimana ketika Mamanya meminta Frans untuk pulang. Frans memiliki banyak alasan, agar ia tidak kembali ke Indonesia. Tapi tidak untuk kali ini, Mamanya secara paksa datang ke Belanda dan menyeret Frans untuk pulang. Frans tak habis pikir, begitu kerasnya sang Mama memaksa Frans untuk menggantikan posisi Presiden Direktur di keluarga Reneegan. Frans tidak bodoh, beberapa sepupunya memang mengincar posisi Presiden Direktur. Itu sebabnya, Mama menekankan pada Frans untuk segera pulang ke Indonesia. Menggunakan cara paksa sekalipun. Sayangnya, Frans terlalu menyukai kehidupan damainya di Belanda. Bukan kesombongan saudaranya di Indonesia. Memang tidak semua saudaranya mengincar posisi Presiden Direktur, hanya beberapa sepupunya yang mengincar posisi presiden direktur dikarenakan Frans yang menolak untuk tinggal di Indonesia. "Kenapa tidak berikan saja posisi Presdir pada yang lain? Kenapa harus Frans, sih Ma?" "Frans hanya ingin hidup damai tanpa perselisihan harta keluarga dan pemegang kekuasaan." Frans menatap pantulan tubuhnya yang setengah telanjang, sehabis mandi. Tatapan matanya nyalang pada kaca kamar mandi. Bukan kehidupan seperti ini yang Frans inginkan. Andai Papa masih berada di sisinya, Frans akan berbagi bebannya. Menceritakan betapa kerasnya sang Mama yang memaksa Frans menjadi Presdir meneruskan posisi sang Mama di rumah sakit keluarga. "Frans belum siap berada di rumah ini lebih lama lagi, Pa." Frans menggeleng, "Tidak! Tapi Frans tidak akan pernah siap." ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.5K
bc

My Secret Little Wife

read
98.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook