FransAle II | Satu Lingkup yang Sama

1680 Words
Ale fokus dengan pekerjaannya, menjajar badan kapsul kosong dalam potongan kertas membentuk lingkaran. Mengisinya dengan serbuk obat hingga penuh dan menutupnya dengan kepala kapsul begitu telaten. Kapsul kosong terbuat dari bahan baku gelatin. Gelatin ini berasal dari kulit dan tulang hewan mamalia seperti sapi dan babi. Secara garis besar sumber gelatin untuk pembuatan kapsul dibagi atas gelatin tipe A yang berasal dari kulit babi dengan pH 7,5-9,0 dan gelatin tipe B yang berasal dari kulit dan tulang sapi dengan pH 4,8- 5,0. Dalam istilah kefarmasian, kapsul kosong terdiri dari dua bagian. Yakni, badan kapsul dan kepala kapsul. Badan kapsul terdiri atas bagian kapsul yang lebih panjang guna mengisi serbuk obat, sedangkan kepala kapsul ukurannya lebih pendek dari badan kapsul yang berguna untuk menutup badan kapsul yang telah terisi serbuk obat. Berbalut sarung tangan steril, Ale mengerjakan pekerjaannya dengan mudah dan cekatan. Setelah serbuk obat habis, dan semua kapsul kosong terpenuhi ia membersihkan kapsul tersebut menggunakan kain bersih. Lantas, memasukkannya ke dalam plastik klip dan mengumpulkannya di toples kedap udara agar kapsul kosong tidak rusak. "Le! Kapsulnya udah keisi semua belum? Ada resep nih!" Seru Lana, perempuan berusia tiga puluh tahun. Dua tahun lebih tua dari Ale. Ale mengangguk, "Tuh, udah selese." Lana mengacungkan jempol, "Bagus! Bantuin gue dong! Resepnya bejibun!" Serunya sembari mengibarkan secarik kertas kecil. "Okay." Ale bangkit dari duduknya dan menyimpan toples berisi kapsul obat ke dalam lemari. Lalu menyusul Lana yang sepertinya keteteran, di lihat dari banyaknya resep yang masuk. "Tumben Mbak, banyak banget resepnya." Ujar Ale melihat lima keranjang kecil berisi kertas resep bertumpuk di meja samping etalase obat. Ale mengernyit, "Ini, resep obat jantung semua. Lagi cek up barengan apa gimana?" Tanya Ale membaca beberapa resep secara acak. Lana menjeda kegiatannya, "Lo ga tau? Hari ini ada cek up gratis buat penderita jantung sama anaknya Bu Presdir." "Hah? Seriusan? Gratis?" Lana mengangguk, "Iya! Buru gih, bantuin gue! Bentar lagi jam makan siang, gue pengen makan mie ayam depan!" Ale memutar bola matanya kesal, "Iya-iya Mbak. Lagian yang lain kemana? Biasanya juga ada Rama sama Dewi yang ngerjain." Ale mengambil satu resep, membacanya fasih dan mengambil obat sesuai nama obat dan jumlah yang tertera. "Rama di pilih buat berpartisipasi sama anaknya Bu Presdir. Kalo Dewi ijin dia, sakit." Jelas Lana yang lincah mengambil obat lalu meletakkannya dalam plastik bening beserta resep. Ale mengangguk paham, "Baru hari ini?" "Iya. Barusan chat gue. Temenan sama obat tapi malah sakit, pertemanan yang tidak menguntungkan!" Dumel Lana. Ale tertawa mendengarnya, gadis galak itu moodnya jelek hari ini. Terbukti semenjak pagi Lana mendumel tanpa henti, membahas topik yang bahkan tidak penting sama sekali. Tampak lucu namun kasihan juga, tanpa Rama dan Dewi, Lana sangat kerepotan. Terlebih banyaknya resep yang datang tiada jeda membuat kekesalan perempuan itu semakin menjadi. "Jangan gitu ah, Mbak. Meskipun kerjanya di bagian kefarmasian, tapi kalo sakit, urusannya beda lagi. Jangan di sangkut pautin." Kata Ale meletakkan obat beserta resep ke dalam plastik bening, lalu menumpuknya di keranjang yang telah di sediakan. Lana menoleh, "Kasarnya orang luar liat kita kerja di rumah sakit, tiap hari mainan sama obat-obatan tapi malah sakit. Sedangkan tugas kita, perantara pesan dari Dokter untuk pasien. Seharusnya kita tau, apa yang kita butuhkan untuk mencegah sakit itu menguasai tubuh kita." Ale tersenyum, "Mbak Lana bener. Tapi, kita sebagai tenaga kefarmasian juga enggak mau sakit itu menguasai tubuh kita. Sebagai tenaga kefarmasian jangan lupakan kalo kita juga manusia, Mbak. Jangan lihat dari sisi pekerjaannya tapi lihat juga dari sisi manusianya." Selepasnya, Ale melanjutkan pekerjaannya menyelesaikan pengambilan obat dalam resep. Mengabaikan Lana yang terdiam mendengar jawaban darinya. Bagi Ale, tidak semua harus terlihat tangguh. Kadang kala kita harus menunjukkan sisi rapuh. Bukan untuk terlihat lemah, namun untuk membuktikan jika kita telah berusaha keras bertahan di kerasnya ujian yang tiada jeda menghantam. *** "Udah gue duga sih, anaknya Bu Claria itu ganteng parah!" "Lulusan luar negeri spesialis jantung! Keren gak tuh?" "Banget!" "Apalagi kharismanya, beuh... Menyebar seantero rumah sakit." "Damage-nya gak main-main! Gue aja tadi sampek meleleh!" "Gila! Beneran ganteng!" "Masih jomblo gak sih?" "Dih? Emang mau sama Lo? Sok pede!" "Siapa tau, selera Pak Presdir itu kayak gue!" "Bangun! Mimpinya keterusan!" "Apaan sih! Syirik aja kalian!" Suara riuh kantin rumah sakit begitu dominan, tidak seperti hari sebelumnya. Siang ini, topik pembahasan begitu hangat hingga para staf perempuan memekik kesenangan. Ale yang sejak tadi memakan baksonya kurang nyaman, suasana terlalu berisik. Dan Ale tidak menyukai kebisingan seperti ini. Jika tau, hari ini kantin begitu heboh. Maka, Ale lebih memilih untuk makan siang di luar rumah sakit. Atau, Ale membungkus makanannya dan ia bawa ke ruang istirahat instalasi farmasi dan memakannya disana. "Kenapa?" Ale mendongak begitu Refa bertanya. Ale menggeleng, "Tidak apa-apa." "Rame ya?" Lalu Ale mengangguk, "Ada berita apa sih? Topiknya panas banget." Refa meletakkan sedotan es jeruknya, "Ada anaknya Bu Claria. Calon Presdir baru kita." "Hah? Calon Presdir? Serius?" "Iya! Katanya sih gitu, Bu Claria mau pensiun. Terus nyuruh anaknya yang tinggal di Belanda buat balik lagi ke Indo buat gantiin posisi Bu Claria." Papar Refa santai. Ale tengah berpikir, "Emang beneran ganteng?" "Katanya sih gitu." Ale memandang Refa selidik, "Kok katanya?" Refa mengendikkan bahunya acuh, "Gue denger dari anak-anak yang nemenin kegiatan cek up kesehatan jantung gratis tadi sih gitu." "Kirain kamu udah tau anaknya Bu Claria gimana." Celutuk Ale. "Gue lebih suka Mas Jong Ki dari pada anaknya Bu Claria." Ale tertawa pelan, dalam keadaan apapun. Mas Jong Ki akan selalu terseret dalam pembicaraan mereka. Dan Ale terlalu hapal tabiat sahabatnya satu ini. Pecinta drama Korea akut. Karena Refa selalu update kabar terbaru mengenai dunia drama perfilman Korea. Ale tidak risih, karena dirinya pun menyukai drama Korea. Hanya saja, Ale sudah mampu mengendalikan rasa penasaran pada drama Korea lagi. Semua ini, karena tekanan hidup yang membuat Ale harus kembali kuat setelah di terjang angin badai. Mengembalikan akar yang mencuat ke tanah, dan mengokohkan batang kayu agar tidak bergantung kepada siapapun kecuali Allah yang menulis takdirnya. "Kalo itu aku juga suka kali, Re." Sahut Ale. Dan itulah, yang sekarang Ale lakukan. Semua bebannya karena tekanan. Tekanan kehidupan yang membuat Ale tidak berharap dan be Ale tergelak lepas. "Eh, gue belum selese nonton drakornya Abang Vi. Katanya ada season dua ya?" Ale teringat jika ia belum menyelesaikan me time-nya. "Selesein dong! Vicenzo bagus banget menurut gue, pantes lah kalo mau lanjut ke season dua, tapi masih kabar simpang siur sih, belum pasti." "Oh begitu. Okay deh Re, nanti aku kelarin." Refa memandang sahabatnya aneh, "Nanti? Gak enak banget ngedrakor setengah-setengah!" "Ya mau gimana? Kan ngedrakor mengisi waktu luang. Aku nonton juga pas weekend aja." "Iya juga sih. Enakan marathon menurut gue." Refa berkomentar, "Pokoknya Lo harus buru selesein drakornya Abang Vi!" "Kenapa?" Tanya Ale. "Gak mau spoiler!" Ketus Refa begitu sombongnya melanjutkan menyantap bakso yang tinggal separuh. "Dasar!" Ale mencibir Refa. Terkadang sahabatnya itu mengesalkan, membuat perempuan sesabar Ale mendidih emosi saking kesalnya. Namun, Refa juga perhatian di balik sifat mengesalkannya itu. Membuatnya tak mampu memusuhi Refa saking baik dan perhatiannya pada Ale. "Pulang nanti, beli batagor ya!" "Belum juga pulang, udah request aja." "Takutnya kamu balik duluan." Ale memutar bola matanya, "Aku pulang jam setengah empat, kalo kamu lupa. Sedangkan kamu jam dua udah pulang, ngapain bilang ke aku?" "Pokoknya nanti pulang bareng! Aku tungguin di instalasi rawat inap!" Refa menyelesaikan kegiatannya, lalu menyeruput es tehnya hingga habis. "Udah! Aku balik duluan! Rawat inap lagi rame!" Selepasnya Refa berjalan tergesa meninggalkan Ale di kantin. Ale terbengong di tempatnya, hingga sadar beberapa saat kemudian, "Refa! Kok aku di tinggal sih? Udah bayar belum?!" "LUPA! BELUM BAYAR!" "TOLONG BAYARIN SEKALIAN LE! MAACIH!" Teriak Refa dari kejauhan. "Kebiasaan banget si Refa! Suka makan tapi lupa gak bayar!" *** Menghempaskan tubuh lelahnya ke atas sofa, pria itu memejamkan mata. Hari ini ia baru saja selesai kunjungan sekaligus memberikan cek up gratis secara dadakan untuk pasien berpenyakit jantung. Tak akan ia kira, jika pasiennya akan seantusias ini. Apalagi pembelian obat pun ia bebaskan dari biaya. Banyak pasien yang hanya melakukan cek up, lantas mengambil obat gratis atas konfirmasi dari dirinya. "Lah? Tepar Lo?" Ujar seseorang yang baru saja memasuki ruangan baru khusus untuknya. "Ngapain nyariin gue?!" "Kangen dong!" "Jijik Lo Ndre!" Pria bernama Andre itu lantas tertawa terbahak, lihat betapa kesalnya si calon Presdir mendengar kalimat rindu darinya. Ia baru saja menyelesaikan sisa kekacauan dari sahabatnya yang kini sudah tepar di atas sofa. "Frans! Lain kali jangan bikin gue susah kenapa sih?" Pria bernama lengkap, Kennedy Fransciso Reneegan itu bangkit dari tidurannya. Menatap Andre yang kini duduk di sofa bersamanya. "Kenapa? Instalasi Lo, rame?" Andre menatap datar Frans yang bertanya tanpa dosa, "Menurut Lo?" "--Dengan adanya Lo yang ngasih konfirmasi pembebasan biaya buat pasien penderita jantung bikin instalasi gue kacau!" Sambungnya. Kini, giliran Frans yang tertawa, "Itu udah resiko! Niat gue baik, ngapain Lo yang kesel." "Harusnya Lo konfirmasi sama bagian administrasi, bukan seenak jidat bikin pengumuman dadakan!" Frans bangkit dari sofa, mengambil minuman kaleng dari kulkas kaca yang terletak di samping pantry. Berjalan kembali dan menepuk pelan bahu Andre, "Sabar Ndre. Gue tau Lo kesel, minum gih!" Andre menerima, membuka tutup kaleng dan meneguknya hingga tandas. "Gila Lo!" Frans tertawa, rupanya Andre masih saja kesal padanya. "Sekarang gimana? Instalasi Lo, udah aman?" "Udah." Frans mengangguk, "Sorry Ndre. Gue sebelumnya nggak tau kalo tindakan gue secara spontan tadi bikin beberapa instalasi kacau." Andre menatap Frans, tak berminat menanggapi. Andre terlalu lelah membalas ucapan Frans. Kekesalan masih tersisa di hatinya, kekacauan akibat ulah Frans sungguh membuat Andre dongkol. "Gue kasihan, ada ibu-ibu nangis di parkiran rumah sakit tadi pagi karena tagihan cek up untuk pasien penderita jantung lebih besar dari sebelumnya." Jelas Frans tanpa Andre minta. "Tagihan lebih besar gimana?" Tanya Andre bingung. "Kalo soal harga obat, tidak ada kenaikan dari PBF-nya, masih sama. Lagi pula, ada kartu BPJS dan kartu kesehatan, pasti tagihan menyesuaikan dengan jaminan kesehatan yang pasien miliki." Tambah Andre lagi. Frans merasa ada yang salah di instalasi administrasi, hingga tagihan salah satu pasien membengkak. Penjelasan dari Andre cukup membuktikan tidak adanya kenaikan harga apabila pasien menebus obat sesuai resep. Frans menepuk bahu Andre, "Thanks informasinya Ndre. Gue akan cari tau masalah ini lebih lanjut." "Sip!" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD