BAB 2

1509 Words
"Setiap orang pasti pergi, tetapi tidak berarti hidupmu harus terhenti." -Jovan Al-fares- *** "Kira, sana pulang dan istirahat!" Seorang pria paruh baya berteriak di sebuah kedai yang lumayan ramai sore itu. Sedangkan si perempuan yang diteriakki masih sibuk dengan sabun dan piring-piring kotor di westafel. Baru lima belas menit, tetapi telinganya sudah pengang dengan teriakkan—yang jika dihitung—sudah lebih dari tiga kali. "Sebentar. Cucian masih numpuk, Ayah." Perempuan yang dipanggil Kira itu menyahut sambil masih menggosok piring-piring kotor. Sebelumnya dia tengah bersenandung, tetapi mendadak terhenti karena seruan ayahnya tadi. "Biar Ayah yang cuci." Suara ayahnya masih berada di depan, di meja kasir yang hanya terhalang dinding. "Gak usah, Kira aja. Ayah sana layanin pelanggan di depan," katanya, masih enggan meninggalkan dapur. "Kirananda!" Sang Ayah akhirnya masuk dapur. Menatap putri semata wayangnya sambil berkacak pinggang. Kira menghela napas. Berbalik untuk menatap ayahnya. "Ayah!" Dia memanggil dengan nada serupa, sehingga kini giliran Dirga, sang Ayah, yang menghela napas. "Ck. Kamu memang anak ibu kamu, ya. Sama-sama keras kepala!" Dirga mendengkus sebal, tetapi bola matanya masih memancarkan kehangatan. Bagaimana pun, dia tidak pernah bisa marah pada Kira. Meski perempuan itu sudah tumbuh tinggi dan kian dewasa, di matanya dia tetaplah gadis kecil yang selalu dia manja. "Tapi Ayah sayang kami berdua, kan?" Perempuan berambut pendek itu menyengir lebar. Mata besarnya mengkerut lucu. Membuat Rani, bibinya yang sejak tadi hanya menyimak perdebatan mereka ikut tersenyum. "Dasar nakal." Dirga terkekeh. "Ayah kasih waktu sepuluh menit. Kalau masih belum pulang, Ayah sendiri yang bakal gendong kamu sampai rumah. Paham?" "Ay ay, kapten!" Kira memberi hormat. Sampai lupa bahwa tangannya masih dipenuhi busa sabun. Dirga tertawa kecil karena tingkah ceroboh Kira, lantas pergi meninggalkan dapur. Usai mencuci piring, Kira duduk di kursi kayu yang berada tepat di belakang Rani yang tengah memasak. Sudah sejak lama Kira ingin belajar memasak tapi tak pernah bisa. Selalu saja masakannya keasinan. Aneh. "Udah, pulang sana, Ra. Nanti ayah kamu ngambek kalau tahu kamu belum pulang juga." Kira merengut mendengar ucapan Rani. Mengapa dia selalu diusir setiap kali datang ke kedai? Padahal Kira hanya datang sore dan bantu-bantu. Apa yang salah coba? "Bi Raniiii." Kira berdiri, memeluk Rani dari belakang. "Kenapa? Ih, ngeri kalau udah main peluk-peluk begini." Kira terkekeh kecil. "Mau masak," cicitnya. "GAK!" "Ih, Bi Rani ngegas!" gerutu Kira, melepaskan pelukannya dan cemberut. Di usianya yang sudah memasuki 25 tahun, kelakuan Kira memang terkadang masih kekanakan. Mungkin faktor dia menyukai anak-anak atau mungkin karena pekerjaannya sebagai guru Taman Kanak-kanak? Entahlah. "Nanti orang-orang pada gak mau makan di sini lagi kalau kamu yang masak." Rani melanjutkan sambil tertawa kecil. "Mending pulang aja sana. Temenin Jovan, lagi galau dia." "Kenapa?" Kira bertanya bingung. Pasalnya jarang-jarang seorang Jovan Al-fares yang notabene sepupunya itu galau. "Putus sama pacarnya." "Eh, kok bisa?" Kira memekik kaget. "Sama Sela?" tanyanya lagi. "Iya, siapa lagi?" Tanpa pikir panjang, Kira melesat pergi ke rumah Rani yang jaraknya tak lebih dari 200m dari kedai. Bagaimana pun, meski Kira jarang akur dengan Jovan, tetapi sebenarnya mereka saling peduli. *** "Jovan tahu nggak? Itu, tuh, karma karena Jovan suka ngeledek aku jomlo!" Kira selonjoran di karpet sambil menonton video kartun Ponnytail yang bernyanyi sambil bergoyang dengan koreo khusus ala girlband Korea—di ponsel pintarnya. "Emang kenapa putus, sih? Bukannya selama tujuh bulan ini nggak pernah bertengkar?" tanya Kira lagi, masih fokus ke ponselnya. "Kir, berisik, ah! Kalau ke sini cuma buat nanya-nanya soal Sela, mending pulang sana!" Jovan bangkit sedikit dari posisi rebahan hanya untuk mengatakan hal itu. Setelahnya dia kembali menenggelamkan kepala di atas bantal. Kira nyengir. "Nggak, deh. Aku ke sini mau nyanyi buat Jovan. Biar Jovan nggak galau." Kira menyimpan ponselnya. Mengambil gitar di sudut kamar Jovan dan kembali menghampiri Jovan dengan senyuman lebar. "Kayak yang bisa aja main gitar." Jovan terpaksa bangkit. Bukan karena tertarik dengan Kira yang akan menampilkan pertunjukan. Dia hanya khawatir saja gitar kesayangannya rusak berada di genggaman Kira. Bulan lalu saja senarnya putus gara-gara perempuan itu. Kira memang punya bakat mengacaukan banyak hal. "Emang nggak? Kan, Jovan yang main? Hehe." Kira tertawa kecil, tetapi sama sekali tidak membuat Jovan ikut tertawa. Yang ada dia hanya berdecak sebal. Sudah bisa menebak. "Yeuh." Jovan mendekat, lalu menoyor singkat dahi Kira. Memang hanya Kira yang bisa membuat mood Jovan sedikit baik. Sebagai dua orang yang tumbuh bersama sejak kecil, hubungan mereka bukan lagi sebatas sepupu, melainkan adik-kakak kandung. Jovan selalu ada untuk melindungi Kira. Kira akan ada untuk membuat hidup Jovan lebih terarah. Di sini, posisi Jovan adalah seorang abang. Karena meski umurnya lebih muda dari Kira dua tahun, tetapi dialah yang lebih bisa melindungi. Apalagi dengan sikap Kira yang kekanakan, cengeng, dan ceroboh itu. Jovan masih ingat kejadian lima belas tahun lalu ketika ibunya Kira meninggal. Kira tidak masuk sekolah selama seminggu. Dia mengurung diri di kamar sepanjang hari. Menangis hingga matanya bengkak dan menyerupai hantu dengan rambut acak-acakannya, kata Jovan kecil. Lalu Jovan datang, dengan sebuah kertas bergambar gadis kecil yang tersenyum lebar. Kata Jovan, itu Kira. Dia rindu Kira yang tersenyum. Katanya, semua orang pasti akan pergi, termasuk Jovan. Tapi, tidak berarti kehidupan Kira harus terhenti. Saat itu Kira berpikir, Jovan adalah orang dewasa yang terjebak di tubuh anak-anak. Dia tidak layak menjadi adiknya, tetapi lebih cocok sebagai abang. Terlepas dari menjengkelkannya sikap Jovan jika dalam keadaan normal. *** Brian baru saja pulang, dan menemukan rumah dalam keadaan sepi. Dia masuk semakin dalam, menyalakan lampu lantas menemukan Bik Hana tengah di dapur. Sepertinya wanita paruh baya itu lupa menyalakan lampu-lampu di tengah rumah. Wajar, usianya semakin senja. Dia bekerja di rumah ini bahkan ketika Brian baru belajar melangkah. Dan pada saat itu umurnya sudah tidak muda. Saat ini rambutnya sudah hampir memutih semua. Suatu keajaiban di usianya yang memasuki 63 tahun beliau masih bisa mengurus seorang anak kecil. "Kalila di mana, Bik?" Si Bibik seolah baru sadar Brian datang. Dia menoleh, lantas lengkungan senyum tergambar di wajahnya yang mengkeriput. "Neng Kalila di kamar. Dia nggak mau makan sejak siang, makanya Bibik buatkan puding kesukaannya, siapa tahu dia mau," balasnya. "Lho, ada apa? Tumben Kalila nggak mau makan?" Brian mengamit lengan si Bibik dan menciumnya. Yah, Bik Hana bukan hanya pengasuh bagi Brian, tetapi beliau adalah ibu keduanya. Baginya, dialah sosok yang selalu ada untuknya. Dia sosok yang selalu dia gambarkan ketika sekolah dasar dulu diberi tugas membuat puisi tentang sosok ibu. "Bibik juga enggak tahu. Udah Bibik bujuk berapa kali, tetep aja kukuh gak mau. Bibik teh jadi bingung." "Ya udah, biar Brian yang lihat, ya, Bik." Brian pamit dan langsung naik ke kamar Kalila di lantai dua. Tiba di depan kamar dengan hiasan pintu warna-warni dan sebuah tulisan bertuliskan 'Kalila Syafa', Brian berhenti. Sejenak dia menarik napas sebelum mengetuk pintu. "Kalila?" panggilnya setelah mengetuk pintu tiga kali ketukan, kemudian membukanya. Aroma stroberi menguar begitu Brian masuk. Wangi khas yang dimiliki gadisnya, Kalila. Mulai dari sampo, sabun, hingga minyak wangi kepunyaan gadis itu, semuanya beraroma stroberi. Makanya, setiap kali menghirup aroma stroberi, selalu mengingatkan Brian pada gadis kecil itu. Brian masuk semakin dalam. Kamar berukuran 4x4meter tersebut dalam keadaan rapi. Sepertinya Kalila bahkan tidak bermain. Jika hari-hari biasa, mainan anak tersebut akan berserakan di seluruh penjuru kamar ketika Brian pulang. "Kalila?" panggil Brian lagi. Tidak ada jawaban. Ah, ternyata Kalila sedang tidur di atas ranjang yang dibalut sprei kuda poninya. Brian tersenyum kecil. Naik ke atas ranjang Kalila dan mengecup puncak kepala gadis yang tiga bulan lagi tepat berumur enam tahun tersebut. Kalila bergerak, membalikan tubuhnya hingga dia dan Brian kini saling berhadapan. Brian kira Kalila tertidur, ternyata tidak. "Papa belum mandi? Papa bau rokok," gumam gadis tersebut sambil merengut. Brian refleks mencium bajunya. Benar saja memang bau rokok, padahal hanya menyesap sebatang. Dia lupa bahwa penciuman Kalila sangat sensitif. Brian membuka jas dan menyimpannya di atas nakas. Kemudian mengambil minyak wangi Kalila da menyemprotkan ke kemejanya. Dia tersenyum sambil menaikkan sebelah alis dan bahunya, seolah bicara pada Kalila-bagaimana kalau sekarang?-lewat isyarat. Seperti dugaannya, Kalila langsung berhambur ke pelukannya. "Katanya Kalila nggak makan dari siang. Kenapa?" tanya Brian sambil memainkan rambut sebahu Kalila yang lepek. Sepertinya dia belum keramas. "Lila nggak lapar, Pa." "Lho, kenapa? Kalila sakit?" Brian bertanya lembut. Begitulah Brian jika sudah dengan Kalila. Dia akan menanggalkan sikap kaku yang selalu dia tunjukkan di kantor atau di depan ayahnya. "Lila cuma mau tidur." "Makan dulu, ya. Bik Hana buatin puding buat Kalila. Mau ya, makan sedikit?" Brian melerai sedikit pelukannya, sekadar untuk menatap wajah Kalila. Begitu Kalila menggeleng lemah, Brian menghela napas. "Tumben Kalila gak mau makan, eh? Biasanya juga Kalila ngabisin nasi lima piring. "Ih, itu mah Papa!" Kalila merengut. Brian tertawa. "Ya, pokoknya makan dulu, ya. Papa suapin, hm?" Brian bangun, kemudian membawa Kalila ke pangkuannya. Dirapikannya rambut Kalila yang berantakan, kemudian mengecup singkat puncak kepalanya. Di dapur, untungnya puding yang Bik Hana buat sudah jadi. Brian mendudukan Kalila di salah satu kursi. Meski gadis kecil tersebut masih ogah-ogahan, tetapi dengan sabar Brian membujuknya dibantu pula oleh Bik Hana. Ketika baru saja satu suapan masuk ke mulut Kalila, ponsel yang baru Brian nyalakan beberapa saat lalu berbunyi. Dari nomor asing. "Ya, benar saya Brian, walinya Kalila." Brian membalas. "...." Brian sedikit menjauh dari meja makan saat tahu bahwa orang di seberang telepon adalah wali kelas Kalila yang hendak membicarakan masalah gadis kecil tersebut. Entah kenapa perasaan Brian jadi tak enak. "Ke sekolah?" Brian berpikir sejenak. Pasalnya ada banyak kasus besar yang sedang dia tangani saat ini sehingga sulit untuk meluangkan waktu. "Baik, akan saya usahakan nanti." Akhirnya Brian memutuskan datang, meski tidak tahu kapan waktu tepatnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD