BAB 3

1412 Words
"Ra, mau kencan buta nggak? Temen suamiku, nih. Cakep, mapan, usianya juga udah matang. Lagi nyari calon istri." Kira memutar bola matanya malas. Lagi-lagi Tanti membahas soal kencan. Ya kalau teman kencan yang dibahasnya tidak macam-macam. Terakhir kali dia kencan buta dengan laki-laki yang Tanti kenalkan, Kira sampai tidak bisa makan dengan nyaman selama seminggu. Bayangan Bram—laki-laki yang katanya seorang jurnalis—makan burger dengan lahap setelah mengupil itu membuatnya jijik. Jika saja Kira tidak menjunjung sopan santun ketika kencan, dia mungkin sudah pergi begitu saja atau muntah di sana. Pernah juga Tanti mengenalkannya dengan Gaga. Nama yang cukup keren bukan? Tapi jangan tertipu seperti Kira. Nyatanya dia hanyalah seonggok manusia yang lebih mencintai buku daripada perempuan cantik seperti dirinya. Iya, selama kencan berlangsung dia hanya asyik membaca buku. Atau mungkin, Kira yang kurang menarik untuknya? Entahlah, hanya Gaga si kacamata dan Tuhannya yang tahu. "Nggak. Aku mending pacaran sama Roby aja daripada sama cowok yang Kak Tanti kenalin. Mereka aneh-aneh." Kira bergidik sendiri membayangkan laki-laki macam apa yang akan dikenalkan padanya kali ini. Perihal Roby, dia salah satu siswa di kelas Kira yang sangat tampan dan menggemaskan. Selain itu dia juga cerdas dan sangat telaten. Yah, pas lah dengan gambaran laki-laki yang diinginkan Kira. Tapi bukan berarti Kira benar-benar mau dengan Roby. Setidaknya, Roby versi dewasa ya oke. "Heh. Roby masih enam tahun. p*****l, ya, kamu?" ledek Tanti dengan kedua matanya yang memicing. Kira sebal sendiri, tetapi tergelak dengan tingkah calon ibu berusia 27 tahun tersebut. Mereka memang dekat meski Kira baru bekerja setahun belakangan. Karena di sekolah ini satu kelas diisi oleh dua guru, dan mereka kebetulan ditugaskan bersama. Kira ingat betul, baru seminggu masuk kerja, sudah ditinggal cuti seminggu karena pernikahan Tanti. Kira sangat kerepotan mengurus dua puluh anak yang sangat aktif di kelas. Untungnya di sela kesibukan honey moon, Tanti menyempatkan diri memberikan pelbagai wejangan pada Kira perihal cara menertibkan anak-anak. "Udahan, ah. Ayok ke kelas!" ujar Kira, menyikut Tanti. Lantas mengambil buku-buku di mejanya dan beranjak dari kursi. Keadaan kantor sudah mulai sepi sebab satu per satu guru sudah masuk ke dalam kelas. "Permisi." Baik Kira mau pun Tanti yang baru saja hendak keluar, seketika menghentikan langkah begitu suara tersebut menginterupsi. Ternyata suara itu berasal dari laki-laki tinggi yang berdiri di ambang pintu. Pakaian formal hitam putihnya sangat kontras dengan dinding kantor dan seluruh ruangan yang didominasi warna pink dan biru muda. "Saya Brian, walinya Kalila," lanjut si laki-laki bernama Brian tersebut dengan senyuman ramah. Kira diam selama beberapa detik, mengamati sosok di depannya dengan saksama. Tubuh tinggi dengan d**a yang bidang, rambut hitam lurus yang ditata rapi, dan warna kulit sawo matang. Wajahnya tampan meski sedikit gembil. Alisnya tebal dan rapi, mata agak sipit dengan iris berwarna cokelat, tinggi hidungnya mungkin melebihi tinggi perosotan di depan, dan bibir bawahnya lebih tebal dari bibir atas. Saat senyum, pipi tembamnya otomatis terangkat. Aneh, mengapa sangat menggemaskan? Kira tersadar begitu Tanti menyenggol lengannya. "Ah, Pak Brian? Saya Kira, yang menghubungi Anda seminggu lalu." Kira sampai lupa bahwa dia sempat kesal kemarin karena Brian tak kunjung datang, padahal Kira sudah menghubunginya beberapa kali setelah percakapan terakhir mereka. Sangat sulit bicara dengannya. Yah, dari profil yang dia baca memang laki-laki tersebut seorang jaksa. Mungkin dia sangat sibuk. "Ya, maafkan saya. Saya sedang banyak pekerjaan akhir-akhir ini. Sebelumnya sempat mau menghubungi tapi ada saja halangan." Brian tersenyum tak enak. Kira jadi tidak tega untuk menunjukkan kekesalannya. Yah, lagi pula memang tidak seharusnya begitu. Sebagai seorang guru, dia harus tetap profesional. "Kalau begitu saya ke kelas. Silakan berbincang." Tanti tersenyum ramah pada Brian, kemudian menunjukkan senyum penuh arti pada Kira. Kira tidak tahu apa yang ada di pikiran rekannya itu. Dikiranya Kira akan menggoda suami orang? Meskipun masih jomlo di usia 25 tahun ini, Kira tidak akan melakukan hal itu. Maaf saja. Meski... Brian memang tampan. Kira tak mampu mengelak dari fakta itu. Kira mempersilahkan Brian masuk ke kantornya. Lalu dia baru sadar bahwa mejanya benar-benar berantakan. Tugas gambar anak-anak seminggu lalu berserakan di meja. Kira tersenyum meringis begitu Brian memperhatikan mejanya. Astaga, memalukan. "Maaf, Pak, memang seperti ini keadaan kantor guru TK." Kira menyusun kertas-kertas tersebut dan menumpuknya menjadi satu, lantas memasukannya ke dalam laci. Muat tidak muat, Kira jejal saja semua. "Uhm, Bapak mau minum apa? Biar saya buatkan." "Apa saja," balas Brian. Kira hampir saja tersedak salivanya sendiri. Senyum Brian benar-benar manis. Kira khawatir gula darahnya meningkat jika terus memperhatikan senyum Brian. Astaga. Sadar, Ra, sadar. Suami orang itu. Bapaknya muridmu! Kira tanpa sadar memukul-mukul pelan keningnya dengan tangan yang terkepal sambil membuatkan kopi. Merutuki dirinya yang terpesona akan senyum laki-laki bernama Brian itu. Kira tersentak begitu air panas yang tengah dia tuang ke dalam gelas berisi kopi instan di gelasnya meluber. "ASTAGA, KIRA i***t!" teriaknya panik. Beruntung Brian datang dan segera mematikan airnya. Kira sendiri meringis sambil menutup mulut menyadari mulut sampahnya mulai berulah. Memalukan. Ini sungguh memalukan. "Aduh, maaf. Saya tadi melamun," ujar Kira sedikit membungkuk beberapa kali untuk meminta maaf pada Brian. "Hati-hati," balas Brian. Dia membersihkan meja yang basah dengan lap yang ada di sana. Keadaan benar-benar kacau sekarang. "Biar saya saja, Pak. Aduh, maaf sekali lagi." Kira masih saja meracau. Mengambil alih lap di tangan Brian dan membersihkan kekacauan yang dibuatnya secepat mungkin. Kira, sih! Ayo fokus, fokus, fokus, Ra! Kira menghela napas panjang berkali-kali. Demi apa pun saat ini situasi jadi canggung. Kira mempersilahkan Brian duduk kembali sedangkan dia membuat kopi yang baru. Kali ini dia berkonsentrasi penuh. Tidak ingin membuat kekacauan lagi. "Ini kopinya, Pak." Kira akhirnya berhasil membawa kopi tersebut dengan selamat sampai mejanya. "Terima kasih," balas Brian. Jeda selama beberapa detik sebelum Brian bertanya, "jadi, apa yang terjadi dengan Kalila?" "Ah, ya, Kalila!" Kira memekik, seolah baru sadar bahwa kedatangan Brian ke sini adalah untuk membicarakan perihal Kalila, gadis gembil dari kelasnya yang bersikap tak biasa akhir-akhir ini. Sekarang Kira mengingatkan dirinya sendiri bahwa gadis itu adalah anak dari laki-laki yang duduk di hadapannya. Jangan sampai dia bersikap aneh lagi. Namun Kira lagi-lagi gagal fokus saat kekehan Brian terdengar. Singkat, tetapi begitu merdu. Kira tidak menyangka, tawa kecil seseorang bisa terasa menyenangkan didengar. Apalagi melihat wajahnya barusan. Mata sipitnya hampir tenggelam saat dia tertawa. Dan itu menggelitik sesuatu di dalam dirinya. "Ah, maaf. Saya tidak bermaksud menertawakan Anda." Brian mengulum tawanya. "Tidak apa-apa." Kira tersenyum canggung. "O ya, Kalila, ya?" Dia fokus kali ini. Benar-benar berusaha fokus. "Akhir-akhir ini nilainya di kelas menurun. Sesekali juga saya lihat dia sering melamun sendirian. Apa ada masalah di rumah?" Beberapa kerutan di hidung Brian terlihat. Sepertinya laki-laki itu tengah berpikir. Anehnya meski begitu, dia malah terlihat semakin tampan dan... seksi? Shit! Fokus, Kirananda! Lagi. Kira mengingatkan dirinya sendiri di dalam hati. "Benarkah? Saya rasa tidak ada masalah di rumah. Kami baik-baik saja." Akhirnya setelah jeda beberapa lama, Brian menjawab dengan selipan nada bingung di dalamnya. "Ah," Kira mendesah panjang. "Saya juga sudah tanya teman-teman sekelasnya, tapi tidak ada masalah dengan mereka, jadi saya pikir mungkin masalahnya di rumah." Keduanya hening selama beberapa waktu, sama-sama berpikir. "Apa di rumah Kalila bersikap normal? Yah, melakukan hal seperti biasanya?" Brian menghela napas. Saat itu Kira sadar ada hal yang terjadi. "Saya tidak begitu tahu dengan pasti. Tapi selama seminggu ini katanya dia susah makan. Dia juga lebih sering mengurung diri di kamar." Kira diam. Brian juga. "Selama saya mengawasi Kalila, nilainya selalu baik. Dia selalu mengerjakan tugasnya dan sangat cakap di kelas. Tapi sejak bulan lalu, nilainya perlahan merosot. Dia jarang mengajukan diri bertanya atau menjawab pertanyaan di kelas. Puncaknya minggu lalu, Kalila tidak mengerjakan tugas menggambar dan malah tidur di kelas. Menurut saya itu sangat aneh." Brian termenung. Kira sadar susah untuk menebak apa yang terjadi pada anak-anak. Terlebih untuk seorang ayah. Ah, perihal ayah ... "Kalau saya boleh tahu, bagaimana dengan ibunya Kalila? Mungkin dia lebih mengenal Kalila?" Tapi, tidak ada jawaban yang terlontar dari mulut Brian. Bahkan sampai akhirnya laki-laki itu pamit dengan alasan pekerjaan mendesak. Kira menjadi penasaran. Siapa dan di mana ibu Kalila? Kenapa Brian seolah tidak ingin mengatakan hal apa pun perihal wanita itu? Kenapa raut wajahnya berubah tegang ketika Kira menanyakannya? Dan kenapa, Kira menangkap raut sendu dari balik bola mata Brian yang kelam? Mungkinkah... Ah, bodoh! Kira baru ingat bahwa di dalam profilnya bahkan, keterangan istri hanya diisi dengan tanda strip. Apa dia... OKE. Berhenti menebak-nebak kehidupan pribadi seseorang, Kira. Itu nggak sopan! *** Malam sudah sangat larut ketika Brian masuk ke dalam selimut bermotif kuda poni milik Kalila. Disentuhnya puncak kepala gadis berambut sebahu itu. Rambutnya lepek. Sepertinya dia belum keramas atau mungkin terlalu banyak beraktivitas sehingga banyak berkeringat. Brian mencium puncak kepalanya dengan penuh kasih sayang. Lantas memejamkan mata sambil memeluk tubuh mungil itu. Sebagian dirinya meneriakkan rasa bersalah yang amat dalam. Sebagiannya lagi menjerit kesakitan. "Maafin Papa, Lila. Maaf," bisiknya parau. Dipeluknya makin erat tubuh gadis tersebut, hingga kantuk membawanya ke alam mimpi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD