Part 1

1013 Words
Apakah arti dari kecantikan yang sesungguhnya? . . . . . Langkah itu begitu kaku saat memasuki kelas yang biasa ia tempati. Tak menghiraukan si pemilik langkah kaku itu, penghuni kelas yang lain tetap sibuk dengan urusan mereka. Nara terus berjalan ke bangku paling belakang. Selalu seperti ini jika guru belum ada di kelas. Saat yang lain asyik dengan candaan dan obrolan mereka, Nara hanya akan diam membuka buku pelajaran yang akan di ajarkan hari ini, atau terkadang melamun. Tak ada yang sudi berteman dengannya kecuali seorang gadis berambut brown yang saat ini sedang menatap ke arahnya. Nara hanya tersenyum kikuk untuk membalas tatapan Min Hari, si gadis brown. Meskipun tatapannya datar tapi Nara tau gadis itu memiliki sifat yang baik. Hanya gadis itu yang berani membela ketika teman teman yang lain mem-bully dirinya, bahkan Min Hari juga mau satu kelompok dengannya saat guru mereka memberikan tugas kelompok. Tak berapa lama seorang pria paruh baya masuk ke dalam kelas Nara membuat keadaan hening tercipta seketika. ******* Nara menghela nafas lalu tersenyum puas saat melihat rumah kecilnya telah bersih dan rapi. Hari ini libur sekolah jadi ia takkan melewatkan hari ini hanya untuk bermalas malasan. Ponsel Nara berdering saat ia sedang menenggak air dingin dari gelas favorite-nya. Ia terkejut melihat nama si penelpon, dengan perasaan senang ia mengangkat panggilan itu. "Kak Hwan?" lirih Nara memanggil. "Apa aku mengganggu?" Tanya si penelpon. "Ti-tidak sama sekali." Nara kelewat senang hingga membuatnya gugup. "Nanti malam bisakah kita bertemu di apartemenku? Aku rindu sekali masakanmu Nara." "Kakak serius??" "Tentu. Ada banyak hal yang ingin ku katakan padamu." Kata orang itu lembut. Nara tanpa sadar tersenyum mendengar nada bicara yang sangat ia rindukan itu. "Nara, kau masih di situ?" "Ah, iya Kak aku masih di sini." "Kalau begitu jangan lupa nanti malam. Aku akan menyiapakan bahan untuk memasak." Tanpa sadar Nara mengangguk antusias. "Terima kasih Kak." "Ey.. harusnya aku yang berterimakasih." Kata orang itu membuat keduanya tertawa. "Aku masih ada pekerjaan, kututup dulu ya. Sampai nanti." "Sampai nanti juga Kak." Nara mendekap ponselnya di d**a. Tak pernah menyangka bahwa sifat Hwan, kakak kandungnya akan kembali seperti dulu. Ya, dulu saat mereka masih tinggal dipanti asuhan tempat mereka tumbuh besar dan sebelum Hwan memutuskan untuk pergi membawa Nara ke Daegu, salah satu kota metropolitan di Korea Selatan. Bermaksud mencari pekerjaan dan memulai hidup lebih baik. Awalnya memang terlihat sangat menyenangkan berada di Daegu, namun seiring waktu Hwan berubah menjadi pribadi yang kasar. Ia memilih tinggal terpisah dari Nara supaya Nara tidak ikut campur dalam kehidupannya. Entah apa yang sebenarnya terjadi pada kakak laki-lakinya tersebut. Yang jelas apapun itu sebagai adik Nara selalu berdoa pada Tuhan untuk menjaga satu-satunya keluarga yang ia miliki. **** @Hwan's apartement Nara menatap puas pada semua masakan yang ia hidangkan di atas meja.  "Kakak ... ayo kita makan!" "Tunggu dulu," Hwan lalu keluar dari ruang makan dan tak lama kembali dengan sebuah paperbag, "ini!"  Nara menatap bingung paperbag itu namun ia tetap mengambil dan melihat isinya. "Kau harus memakainya." kata Hwan saat Nara mengeluarkan sebuah dress berwarna hitam. "Tapi, untuk apa Kak?" Hwan tak menjawab,"lebih baik kau cepat ganti bajumu." Lalu mendorong Nara dari belakang untuk masuk kekamarnya dan berganti pakaian. 10 menit berlalu namun Nara tak kunjung keluar dari kamar Hwan. Ia sibuk mematut diri di depan cermin memperhatikan dress hitam yang melekat di tubuhnya. Entah kenapa ia merasa dress ini terlalu pendek, bahkan hanya mampu menutupi setengah pahanya. Nara menggeleng saat otaknya berfikir negative. mungkin Kak Hwan lupa ukuran badanku. "Cantik." Nara menoleh saat mendengar suara Hwan. "Kakak ..." Nara tersenyum malu lalu berjalan mendekat kepada Hwan. "Ayo kita makan." Nara mengangguk lalu berjalan mengikuti Hwan ke ruang makan. "Aku seperti sedang makan malam romantis bersama seorang pria." ucap Nara saat duduk berhadapan dengan Hwan. "Aku memang pria, kalau kau lupa." Nara terkikik mendengar jawaban kakaknya. Malam itu Nara terlarut dalam suasana makan malam yang Hwan buat. Sampai akhirnya Nara mulai merasa kepalanya sakit. "Ada apa Nara?" Hwan menyadari raut wajah nara berubah, Nara menggeleng sebelum menjawab, "sepertinya aku harus pulang Kak." "Kau tak mau menginap?" Nara menggeleng. "Tapi ini sudah sangat malam, kau tetap ingin pulang?" Nara mengangguk lalu tersenyum bersalah.  "Baiklah, aku akan mengantarmu pulang kalau begitu." Putus Hwan akhirnya. Ia lalu beranjak dari tempat duduknya. "Aku akan mengambil kunci mobilku terlebih dahulu, tunggulah sebentar." Nara memandang bingung Hwan. "Kakak taruh dimana kunci itu?" "Tadi penghuni apartemen di sebelah meminjam mobilku dan kuncinya belum di kembalikan." Nara mengangguk paham. Sebelum keluar dari apartemen Hwan berteriak, "jangan lupa bereskan bajumu yang ada dikamarku." Setelah Hwan benar benar keluar dari apartemen Nara masuk kekamar kakaknya untuk membereskan baju yang ia pakai sebelum berganti dress hitam. Setelahnya, Nara merebahkan dirinya di atas kasur Hwan dan merasakan kepalanya yang semakin pusing. . . . "Anda bisa masuk sekarang Tuan." "Apa dia sudah siap untukku?" "Seperti yang saya janjikan di awal Tuan." "Baiklah." Sambungan telepon itu di tutup, Hwan menatap gedung bertingkat di depannya. "Harusnya kau tak semudah itu percaya pada orang lain Nara." . . . Ya, yang di ucapkan Hwan benar. Nara harusnya tak semudah itu percaya pada Hwan yang tiba-tiba berubah menjadi sangat baik padanya. . Namun sesal pun takkan mengembalikan semua. Malam itu dengan tubuh lemah dan air mata yang terus mengalir, Nara harus rela tubuhnya di jamah, dan meskipun ia telah berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan dirinya dengan melawan laki-laki itu nyatanya Nara tetaplah kalah. Isakan Nara masih terdengar diantara desahan sang pria yang sedang mencari kenikmatan dari tubuhnya. Entah sudah berapa lama ia terjebak di bawah laki-laki itu.  Selama ini Nara tak pernah ingin berurusan dengan siapapun di sekolah ataupun di lingkungan rumahnya. Apalagi dengan laki-laki penyumbang dana terbesar di sekolah yang memberinya beasiswa.  Meskipun laki-laki ini mempunyai daya tarik yang kuat, namun Nara cukup tau diri untuk tak jatuh terpesona seperti teman-temannya yang lain. Nara menggigit bibir bawahnya ketika gelombang itu datang, tak ada desahan melainkan butiran air mata yang semakin deras keluar dari matanya yang sangat sembab.  Nara benci dirinya yang meskipun menolak dan meronta atas perlakuan laki-laki diatasnya namun tubuhnya tetap merespon sesuai yang laki-laki itu inginkan.  Nara merasakan ciuman kasar lagi pada bibirnya seakan tak puas dengan kenikmatan yang di rasakan tubuhnya, tangan laki-laki itu juga meremas d**a Nara hingga membuatnya kesakitan. "Berhenti-kuh-mo-hon." permintaan Nara tak direspon sama sekali.  "Kumohon-Devian-" lalu Nara jatuh pingsan karena kelelahan. Nara tidak tau malam itu laki-laki yang ia panggil Devian melakukan apalagi terhadap tubuhnya. . . . . . //Trust//
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD