Dua

1570 Words
Lili berhenti sejenak di foyer, membeli kopi untuk dirinya sendiri dan seorang kolega, lalu memasuki lift untuk meluncur ke lantai lima. Lili memasang senyum di wajah sebelum pintu lift terbuka dan selanjutnya melangkah keluar memasuki pintu lobi kantor. Lili mengingatkan diri sendiri bahwa inilah hal terbaik yang bisa ia lakukan, berubah untuk menyesuaikan diri dengan orang-orang sekitarnya. Lili bisa menjadi seorang “Lili si teman yang manis”. Lili harus bisa memainkan semua peran yang diberikan kehidupan padanya. Lili hafal semua dialognya, ia telah berlatih untuk waktu yang lama. Matahari baru saja terbit. Namun sesuai dugaanya sejak semalam. Tim kecil yang dibetuk dengan sekumpulan kaum perempuan itu sudah berkumpul. Tiga orang produser berwajah segar dengan doping kafein dan ambisi diri. Mereka membungkuk di meja masing-masing. Dikelilingi tumpukan buku, skrip lawas, dan mug kosong. Mereka mengetuk-ketuk keyboard seakan menyiratkan intimidasi. Di pojokan, Lili dapat melihat ruangan Amer yang terang. Lili duduk di mejanya dan menyalakan laptop, membalas senyuman dan sapaan hangat dari yang lainnya. Amber telah berganti tiga asisten pribadi tahun ini. Tak seorang dari mereka yang tahan dengan seringai Amber sebelum ia memecatnya. Kursi di sampingnya tampak kosong. Lili melirik jam di pergelangan tangan kirinya, dan terasa sangat terlambat bagi Devon untuk sampai ke kantor. Lili mulai khawatir ada sesuatu yang salah. Ia menunduk memandangi kopi cadangan yang mulai dingin sebelum ia memutuskan untuk membawanya ke ruangan Amber. Sebut saja sebagai tawaran damai pikir Lili. Lili berhenti diambang pintu ruang kerjanya. Lili mengamati kantor Amber yang menggelikan secara ukuran hanya karena ia tidak ingin bergabung dengan karyawan lainnya. Foto-foto berbingkai yang menampilkan Amber bersama dengan para selebritas tampak berjejal memenuhi dinding palsu di belakangnya. Rak kecil berisi penghargaan terpasang disana. Dia tidak mengangkat kepalanya. Lili mengamati rambut pendek jelek itu. Akar kelabunya menyembul diantara rambut hitam yang tampak runcing. Dagunya terlipat dua, tapi untung daging ditubuhnya yang bergelamir tertutup oleh pakaian hitam longgar yang dikenakannya. Lampu meja yang menerangi keyboard, tempat jemarinya melayang, jemari yang dihiasi cincin diatasnya. Lili tahu Amber melihatnya dari sudut matanya. “Aku hanya berpikir jika kau memerlukan ini,” kata Lili dengan perasaan kecewa karena yang keluar dari mulutnya terdengar sangat sederhana, jika ia mengingat butuh waktu semalaman untuk keperluan menyusunnya sebelum mengatakannya pada Amber. “Taruh saja di meja,” jawab Amber, matanya tidak meninggalkan layar laptop di hadapannya. Bahkan ia tidak berusaha untuk mengucapkan terima kasih. “Akhir pekanmu menyenangkan?” tanya Lili. “Aku belum siap berbicara dengan siapa pun,” jawab Amber. Lili memutuskan untuk tidak mengganggunya lagi. Sekembali dirinya ke meja, Lili meneliti tumpukan pesan yang terkumpul sejak Jumat. Beberapa novel yang tampak mengerikan dan tak akan pernah ia baca. Surat penggemar dan undangan pesta amal yang menarik perhatiannya Lili menyesap kopi dan melamunkan apa yang mungkin akan ia kenakan dan siapa yang akan ia ajak ke pesta seandainya ia mendapatkan undangan untuk hadir. Lili selalu menganggap hubungan Amber dengan badan amal anak agak ganjil, mengingat dia membenci anak dan tak pernah punya anak. Bahkan Amber tak pernah berkencan, apalagi menikah. Dia benar-benar hidup sendirian, tapi tak pernah kesepian. Begitu selesai semuanya, Lili membuka kunci layar laptopnya. Membuka email dan membuka aplikasi w******p miliknya. Sebuah pesan masuk beberapa menit lalu. Julie : Bagaimana akhir pekanmu, Lili? Julie: Apakah kau jadi pergi berbelanja? Julie: Aku harap kau menyenangkan dirimu sendiri dengan semua kegilaan hidupmu, Sayang.” Isi pesan yang memberondong Lili dalam sekejap. Devon datang tepat saat jemari Lili telah bersiap untuk mengetikan balasan untuk Julie. Devon berjalan masuk dan tersenyum pada Lili. Devon berpakaian sama seperti biasanya. Mengenakan kemeja putih, jins denim biru dan sepatu bot yang bagian tumitnya terlihat aus serta rambutnya yang terlihat basah karena sisa hujan. “Maaf aku terlambat,” bisik Devon. Meski sesungguhnya ia tak perlu melakukan itu, karena tak satu pun yang memperhatikan. Lili kembali menatap layar laptopnya. Dan membalas pesan Julie. Lili : Akhir pekanku masih sama, dengan setumpuk naskah. Lili : Aku berhasil meluangkan sedikit waktu untuk melakukan saranmu. Julie : Aku senang mengetahui hal itu. Lili membalas dengan emoticon tersenyum. Julie : Apa kau sudah mencoba untuk login ke username yang aku berikan padamu? Lili terdiam setelah membacanya. Lili menghela napas dan rasanya enggan untuk membalas. Ia hempaskan punggungnya ke sandaran kursi dan tak lama setelahnya Julie mengiriminya pesan lagi. Julie : Tak ada salahnya kau mencoba, Lili. Jika memang tidak cocok kalian masih bisa berteman. Lili : Akan aku pikirkan. Lili menutup w******p di laptopnya sebelum ia kembali meraih kopi yang ia beli. Kopi yang sudah dingin. Lili mencoba untuk fokus pada pekerjaannya pagi ini. Tapi sialnya semua terasa sulit. Devon beranjak dari kursinya dan menghilang di balik dinding menuju pintu lobi. Kembali terdengar suara dentingan dari notifikasi w******p, sederetan angka yang tak Lili kenal. +4475612xxxxx: Hai, Lili. Ini nomor ponselku. Edward. Mata Lili melebar, menatap pesan yang dikirimkan Edward. Lili nyaris lupa telah memberikan kartu nama miliknya pada Edward. Lili menyambar tas tangannya, mengaduknya untuk mencari kartu nama yang diberikan Edward padanya.  +4475612xxxxx : Aku harap kabarmu baik. Ya lebih baik dari pertemuan kita minggu lalu. Lili gagal menemukan kartu nama milik Edward. Lili : Hai Edward. Kabarku baik. Senang kau menghubungiku. +4475612xxxxx : Aku tak melihat photo profile mu. Pesan yang dikirimkan Edward dengan cepat. Lili menelan ludah. Dan bergegas meraih ponselnya untuk segera menandai nama Edward. Perasaannya bercampur aduk. Apa yang akan menjadi topik pembicaraan kali ini. Edward akan menikah, Lili ingat akan hal itu. Edward : Kau tetap cantik Lili. Seperti yang selalu kuingat. Pesan yang membuat Lili mematung dan ia nyaris lupa untuk bernapas. Mengulang untuk membacanya. Tapi yang Lili baca memang benar. Lili : Jangan merayuku. Kau akan menikah bukan? Lili membentengi dirinya dengan cepat dan terasa menyesakkan baginya saat dengan sadar masih berkirim pesan dengan pria yang pernah mengisi kehidupannya, namun berakhir menyedihkan. Edward : Kau masih tetap sama, Lili. Lili membalas dengan mengiriminya emoticon senyum miring. Namun rasanya Edward tidak tersinggung. Lili mendapati Edward sedang mengetik untuk membalas pesan. Lili meraih kopinya dan menyesapnya hingga habis. Ia mendapati Devon yang kembali ke kursinya dengan secangkir kopi yang masih tampak mengepul dan aromanya berterbangan kemana-mana. Edward : Aku ingin kau datang ke acara pesta pernikahanku. Aku akan mengiri undangan untukmu setelah ini.  Lili nyaris tersedak saat membaca isi pesan Edward kali ini. Pria mantan kekasih itu memintanya untuk datang ke acara pesta pernikahannya. Mata Lili langsung membulat, ia benar-benar merasa tertinju telak. Lili melirik ke samping, Devon sedang mengamati layar laptop di hadapannya. Lili tak langsung membalas pesan Edward sampai undangan pernikahan itu muncul sebagai pesan. Edward : Aku harap kau benar-benar datang. Aku akan memperkenalkanmu dengan calon istriku. Lili masih tak membalas. Pikirannya tiba-tiba menjadi kacau. Percakapan yang tak ia harapkan. Edward : Aku ingin kau membawa kekasihmu, Lili. Kita akan saling berkenalan. Lili langsung menutup laptopnya dan beranjak dari kursinya dengan cepat hingga Devon sempat menatapnya yang menjulang di sebelahnya. Lili meringis dan menyambar ponselnya sebelum beranjak pergi. Ia merasakan butuh udara segar saat ini. Lili berjalan dengan cepat menuju ke toilet. Ruangan yang tampak sepi, semua bilik kosong. Lili langsung menekan nomor ponsel milik Julie. Dering ketiga ia baru menjawab. “Yes, Lili.” Suara milik Julie dari seberang ponselnya. Lili berdiri menatap dirinya sendiri di dalam cermin. “Julie, aku baru saja berkirim pesan dengan Edward.” Suara Lili terdengar panik dan ia mencoba untuk dapat mengkondisikan sebaik mungkin. “Lantas, kenapa?” Lili menarik napas sebanyak mungkin untuk masuk dalam paru-parunya lalu menghembuskannya dengan kasar. “Dia mengundangku ke acara pernikahannya, Minggu depan.” “Apa?!” Julie memekik karena terkejut. “Kau akan datang?” tanya Julie. Lili mendengar suara seseorang di belakang Julie. Suara milik John yang sedang bersenandung. Lili menelan ludah. “Ia ingin aku datang.” “Ya sudah, datang saja,” timpal Julie dengan santai. Bagi Lili tak masalah datang ke pernikahan Edward. Namun membaca ulang pesan yang dikirim Edward, Lili berkesimpulan jika Edward ingin memperkenalkan wanita yang akan menjadi istrinya padanya, dan sebaliknya, Edward juga ingin mengetahui siapa kekasihnya. “Tidak sesederhana itu, Julie.” Lili mendengus bertepatan saat Amber muncul dari balik pintu dan ia langsung menyalakan kran di hadapannya. Amber menatap Lili sekilas lalu sebelum dirinya masuk ke salah satu bilik dan Lili memutuskan untuk segera meninggalkan toilet. “Dia ingin aku datang membawa pasanganku.” Lili melanjutkan teleponnya setelah berhasil melewati pintu dan memilih untuk ke lorong menuju pantry. Terdengar Julie terkekeh. “Kau menertawakanku, Julie?” Lili langsung menuduh sahabatnya. Lili mampu mendengar ditelinganya. Nasib baik untuk Lili saat mendapati pantry kosong. “Kau tak ingin mencobanya?” “Mencoba apa?” tanya Lili bingung. Telinganya menangkap hembusan napas kasar dari Julie disusul dengan sebuah kecupan di pipi Julie dan disusul dengan kalimat, “I love you, Baby.” Tak lama dibalas Julie dengan kalimat, “Love you more, John.” Ada jeda sebentar. “Maafkan aku, barusan---” “Ya, aku mendengarnya,” seloroh Lili kesal dan sekali lagi Julie terkekeh. “Kau tak ingin mencoba untuk mencari pasangan di akun yang aku berikan padamu?” Julie mengatakannya dengan santai tanpa beban dan terdengar mudah. Lili menghela napas lagi. Menundukan kepala sebentar sebelum menatap vas bunga kecil di tengah meja pantry. “Ayolah, tak ada salahnya mencoba.” Bayangan pertemuan dirinya dan Edward minggu depan. Edward akan mengenakan setelan jas hitam yang membalut kemeja putihnya serta dasi kupu-kupu yang terpasang di kerah kemejanya. Edward terlihat tampan dari yang terakhir ia tinggalkan satu tahun yang lalu. Dan bayangan wanita yang akan menjadi pendamping hidup mantan kekasihnya itu. Wanita yang terlihat sangat cantik. Lili sudah melihatnya dari undangan yang dikirimkan Edward melalui w******p beberapa menit lalu. Gaun putih panjang dengan tudung pengantin yang indah. Lili terjebak dalam lamunannya, hingga suara Julie tak lagi ia simak. “Lili. Lili, kau baik-baik saja?” Lili mengejap kaget. “Ya, aku baik-baik saja. Aku akan mencobanya.” “Good. Kabari aku. Bye.”   ***   Bersambung... Jangan lupa LOVE nya yaaa... Biar bisa lanjut
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD