Tiga

1856 Words
Lili pulang lebih awal, berharap bisa mengistirahatkan tubuh dan pikirannya. Ia merasakan lelah dan menyebalkannya saat ini. Ia berada sendirian di apartemen. Julie sedang menghabiskan waktunya bersama John yang ternyata memperpanjang waktu kepulangannya di London. Apartemen menjadi sepi dan Lili merasa bimbang harus berbuat apa. Ia membuka kulkas dan melihat isinya jauh lebih lama daripada yang dirinya perlukan. Nyaris tak ada apa pun di dalamnya. Julie yang selalu mengisi kulkas. Sahabatnya itu lebih perhatian sedangkan dirinya hanya membantu Julie untuk membayar tagihan. Lili meraih sekaleng minuman ringan dingin dan duduk di meja dapur, menghadap ke arah jendela. Menatap pemandangan langit malam yang tak berbintang. Hujan terlihat kembali turun. Kaca jendela apartemen tampak berembun. Kaleng menciptakan suara psst ketika dibuka dengan kuku yang seakan ingin membisikan sebuah rahasia di dalam keheningan. Lili menyesap, rasanya begitu dingin dan ia merasa salah meminumnya di saat cuaca yang dingin seperti malam ini. Giginya terasa ngilu tapi ia menikmati sensasi menggelitiknya di kerongkongannya dan lanjut meneguk. Lili beranjak dari meja dapur dua puluh menit setelahnya, usai minumannya habis dan melemparkan kalengnya tepat masuk ke dalam keranjang sampah. Lili telah memastikan pintu apartemen terkunci dan ia bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan wajahnya lalu menyikat gigi sebelum naik ke atas tempat tidur. Meraih ponsel miliknya untuk membuka aplikasi w******p, entah mengapa Lili memutuskan untuk membaca ulang pesan yang dikirim Edward, meski ia tak berniat untuk membalasnya. Lili sempat mengamati photo profile Edward bersama dengan seorang wanita yang akan ia nikahi minggu depan dan Lili belum pernah merasakan perasaan yang membuatnya ingin menangis.   “Semua biaya rumah sakit ibumu akan kami tanggung. Dan kau harus meninggalkan Edward untuk selamanya. Bagaimana?” Tawaran yang diberikan oleh Mrs. Jackson pada Lili setahun lalu saat pilihan hidup tersulit tersaji dihadapannya. Mempertahankan rasa cinta yang ia dan Edward miliki atau nyawa ibunya yang harus menjalani operasi transplantasi ginjal. Tak ada pilihan lain bagi Lili. “Kau harus menandatanganinya.” Wanita itu menyodorkan selembar kertas yang isinya tidak lagi Lili baca. “Kau juga tidak boleh mengatakannya pada Edward,” imbuhnya lagi. Mata Lili telah berkaca-kaca, air mata telah mengantri di pelupuk matanya dan siap tumpah. Namun Lili berusaha untuk menahannya semampu yang ia bisa. Tanpa berpikir lagi, Lili mengoreskan tandatangan di atas kertas perjanjian bermaterai. Ia mendongakan kepalanya sebelum berdiri untuk berhadapan dengan wanita yang teramat membencinya sejak Edward menceritakan hubungan mereka. Sejak perjanjian itu, keesokan paginya Lili telah beranjak untuk meninggalkan flat milik Edward, meski Edward meminta penjelasannya, memburunya dengan segudang pertanyaan, Lili telah terikat untuk tidak mengatakan apapun. Lili telah menyakiti Edward, telah meninggalkan Edward tanpa penjelasan apapun. Semua pengorbanan Lili hanya bertahan seminggu, dan ibunya menghembuskan napas terakhir. Kondisi ibunya yang tiba-tiba memburuk tak dapat lagi tertangani. Titik terendah kehidupan seakan datang menyapa Lili, menenggelamkan dirinya dalam kesedihan yang luar biasa.   ***   Will mendapati gadis itu memandangi dirinya sendiri di cermin kamar mandi. Gadis itu tidak mengenali bayangannya sendiri. Rambut yang kaku dan kulit yang kusam dan bekas memar yang perlahan mulai sembuh. Sekarang memar itu menguning dengan beberapa titik berbeda warna sebelumnya membengkak dan berwarna ungu. Ketika gadis itu keluar dari dalam kamar mandi, William sedang menunggunya. Ia bersandar di ambang pintu. Gadis itu keluar dan menabraknya, memandangnya seakan ada makhluk buas yang siap menerkamnya. Wajahnya terlihat ketakutan. “Kau akan memukulku?” tanya gadis itu dengan suara gemetar. Gadis bernama Brigitt yang mulai disekap sejak minggu lalu oleh Marcus Nostra. William tersenyum miring. “Aku tidak akan memukulmu,” kata Will dengan senyum miring setelahnya. Ia menyapukan sebelah tangannya yang dingin ke pipi Brigitt. Gadis itu meringis dan mundur, menjauh dari sentuhannya. “Ini sudah lebih baik,” ucap William tentang memar di tubuh Brigitt. Gadis itu melewatinya dan meninggalkannya. William tidak tahu sudah berapa hari ia berada di tempat pengap ini. Yang ia ingat hampir satu minggu menjaga Brigitt, gadis pirang hasil tangkapan milik Marcus Nostra. Kaki tangan sindikat penjualan manusia. William lupa waktu. Ia mencoba mengingat kapan hari Senin dan kapan hari Selasa, hingga hari-hari terasa memudar dari kehidupannya. Setiap hari terasa sama baginya. Sejak ia datang menggantikan Nicole Nostra, yang tak lain putri dari Marcus. Hari itu ia mendapati Brigitt berbaring di tempat tidur sampai ia perlu untuk membangunkannya. William memaksanya untuk sarapan. Brigitt memandang keluar jendela, ia berpikir, melamun dan seakan mendambakan tempat lain di luar tempat pengap ini. William selalu memikirkan cara untuk keluar dari kelompok sindikat Marcus. Ia berharap segera menyelesaikan tugasnya. William terjebak. Yang dilakukannya saat ini hanya mengumpulkan semua informasi dan menunggu waktu. Suara hentakan pintu membuat dirinya berjingkat dan siap sambil menodongkan senjata yang ada di pinggangnya. “Wohoooo. Tenang brother,” ucap Marcus dengan seringai jahat. Ia datang bersama Nicole, putrinya dan beberapa pria lain dengan tubuh besar dan berwajah sangar. William menatap mereka satu per satu dan mendapati Nicole yang tersenyum untuknya. “Kau merindukan aku, Sayang?” goda Nicole sebelum William menurunkan senjatanya. Wajah William masih terlihat tegang. Marcus berjalan melewatinya untuk mendekat pada Brigitt yang masih duduk di depan jendela dan memandangi langit kelabu diluar. “Sebaiknya kalian jalankan tugas lainnya. Aku yang akan menyelesaikan gadis ini.” Suara milik Marcus yang berat membuat William menoleh dari balik bahunya. “Kita punya tugas lainnya, Sayang. Ayo kita pergi,” ajak Nicole sambil meraih lengan William. “Apa yang akan kalian lakukan dengannya?” tanya William. Suaranya terdengar khawatir dan intonasi suara itu berhasil ditangkap oleh telinga Marcus hingga membuatnya terkekeh. “Kau mencemaskannya?” sindir Marcus tanpa menoleh, ia memunggungi semua orang yang ada di dalam ruang pengap itu. William terdiam, ia melirik ke samping dan mendapati Nicole yang sedang menatapnya dengan pandangan menilai dan curiga. “Singkirkan rasa belas kasihmu itu jauh-jauh, Will.” Kalimat yang meluncur dari bibir Marcus seakan menjadi pemantik amarah bagi William. Manik kehijauan milik William terlihat menajam. “Ayolah, Sayang. Kita pergi sekarang. Ada tugas yang lebih menyenangkan untuk kita.” Nicole menarik lengan William dengan lebih keras hingga ia menyambar jaketnya dan beranjak meninggalkan ruangan. Mereka menuruni anak tangga, memutar untuk beberapa kali sebelum sampai pada lantai bawah, melewati pintu besar dan berjalan menyeberangi jalan yang sepi. Bangunan tua yang menyerupai gudang. Tak layak untuk ditinggali. William berhenti tepat di depan pintu mobil, mendongakkan kepalanya, di sana tampak Brigitt yang menatap dengan tatapan kosong. “Will,” panggil Nicole yang diabaikan William hingga Nicole perlu memanggilnya sekali lagi dengan lebih lantang, “William!” Spontan William mengerjap, menunduk untuk menatap Nicole yang telah ada dibalik kemudi. “Masuklah,” ucap Nicole dengan kesal. Sekali lagi William mengangkat wajahnya untuk memandang Brigitt sebelum dirinya masuk ke dalam mobil. “Kita tak punya banyak waktu,” seloroh Nicole sebelum mobil berjalan meninggalkan kawasan itu. Menyisakan banyak tanda tanya dalam benak William. Nicole meliriknya yang tampak gusar. “Kau kenapa?” sindirnya untuk William. Keduanya saling menatap sebentar sebelum Nicole memandang jalanan di depannya. “Kita akan mencari mangsa lainnya.” “Apa maksudmu?” Suara William terdengar terkejut. Ia menoleh untuk menatap Nicole yang tersenyum miring. Terasa penuh misteri bagi Will sampai mobil berhenti di ujung jalan perempatan, lampu berubah merah dan Nicole dengan cepat menyambar tas miliknya yang tergeletak di jok belakang. “Aku sudah menyiapkan beberapa akun untukmu.” Nicole mengatakannya bersamaan mobil yang kembali berjalan melintasi malam yang kian larut. Jalanan tampak sepi hanya sesekali terdengar suara gonggongan. William memandangi ponsel dan tab yang diberikan padanya. “Cupid?” tanya William menyerupai desisan. Ia melirik Nicole lagi. “Akun perjodohan online. Tugasmu mencari mangsa wanita.” “Tidak, Nic.” William mencoba mengelak dan Nicole tak tersingung dengan penolakan itu. William merasakan ponselnya bergetar beberapa kali, dan ia membiarkannya begitu saja. Ia mencoba untuk menghindari tatapan curiga dan menilai dari Nicole. Ia hanya tinggal menunggu waktu, meski ia telah muak akan keberadaan dirinya di antara para buronan ini. William tenggelam dalam dunianya. Kembali ke waktu ia duduk di ruang besar milik Steve.   “Kau tahu apa pekerjaan kami? Di divisiku?” Pertanyaan yang diajukan oleh Steven Abbott. Pria yang berusia sekitaran lima puluh tahun. “Aku tak ada ide,” sahut William kala itu dengan suara ragu. “Kau bilang tak ada ide? Anggap saja kau memang tak punya ide,” serang Castel, pria yang lebih muda dari Steve. Ia tampak arogan dengan tampilan yang terlihat angkuh. “Jika kau tahu pekerjaan kami, pekerjaan kami tidak baik, kan?” imbuhnya. Ia berdiri bersandar pada lemari di belakang kursi kebesaran Steve. William duduk berseberangan dan memandangi keduanya bergantian. “Kami kelihatan lemah. Kau menyebut kami lemah?” Tak ada yang bersuara. Jeda sebentar. “Sersan Castel memang memiliki gaya unik, William. Kurasa kau harus membiasakan diri.” Steve mencoba untuk menjelaskan sesederhana mungkin. William menelan ludah, ia duduk tegak, memperbaiki posisi duduknya, menatap keduanya dengan lebih berani. “Kau punya keluarga di London? Keluarga ayahmu?” tanya Castel, jalan mendekat sambil berdecak pinggang. “Ceritakan pada kami tentang pamanmu Alex.” William tak langsung menjawab. Rahangnya mengeras, menatap kesal Castel yang berdiri menjulang di seberangnya. Tampak Steve yang sedang mengamati berkas di tangannya. “Aku tidak tahu tentang dia,” ungkap William dengan mendengus dan disambut Castel dengan senyum miring. “Paman Alex mu adalah bandar kecil di bar veteran di Sommerville. Dia ditembak mati salah satu anak buah Nostra tahun 96. Mayatnya ditemukan di luar bandara.” Castel dan William saling menatap lurus. “Apa itu benar?” tanya Steve kali ini ditujukan pada Willia. Hening beberapa detik. “Ya. Itu benar.” Jawaban singkat yang meluncur dari bibir William. Ia menelan ludah. “Aku ingat pemakaman yang bagus.” “Bagus kau mengingatnya,” sambar Castel. Terdengar hembusan napas kasar. “Peti matinya tertutup?” Pertanyaan yang tiba-tiba diajukan Castel. “Ya, benar.” William masih mencoba untuk tetap tenang dibawah pandangan Steve dan Castel. “Kau ingin mengakui semua orang mengatakan apa tentangnya, sebelum dikeluarkan karena menyerang guru olah raga dengan kursi.” Terdengar intonasi kasar dan tajam dalam suara Castel. “Kau punya paman yang tewas seperti itu?” imbuhnya dengan pertanyaan. William terdiam, ia merasakan muak dengan sikap Castel dihadapannya. Ia menghela napas, tertunduk sebentar sebelum kembali menatap kedua pria di seberangnya. “Aku punya pertanyaan,” ucap Castel lagi, hening beberapa detik, “Segila apa dirimu?” Rahang William kian mengeras dan tatapannya menajam.   “Will. William.” Suara milik Nicole memecah lamunannya. Menariknya kembali dalam alam sadar. William menatap Nicole dengan bingung. Pandangan matanya tanpa arah. “Kita sudah sampai, ayo.” Keduanya berhamburan keluar dari dalam mobil memasuki bangunan yang ada di depannya. “Tempat apa ini?” tanya William bingung dan ia mengekor di belakang langkah Nicole. Mereka menaiki anak tangga sebanyak empat kali sebelum memasuki sebuah ruangan yang membuat kelopak mata William melebar. Ia tampak benar-benar terkejut. Dua buah deret meja yang ditempati oleh beberapa pria dan wanita, lengkap dengan laptop, tab dan ponsel. William masih mencoba untuk menebak. “Mereka akan melakukan hal yang sama dengan yang akan kita lakukan, Sayang.” Suara  Nicole terdengar manja dan wajahnya tampak tersenyum lebar. “Cupid?” tanya William yang terdengar ragu. Ia menatap Nicole dengan alis yang naik sebelah dan disambut dengan anggukan kepala. “Aku akan menjelaskannya padamu.” Nicole berjalan mendekat, meraih telapak tangan William untuk diletakkan di permukaan salah satu payudaranya yang tak berbungkus di balik kaos ketat yang dikenakannya. Ia tersenyum kian lebar, mendekatkan kepalanya pada kepala Will. “Aku ingin kau berada di dalam diriku, Sayang,” bisik Nicole dilanjut dengan jilatan pada daun telinga William hingga ia merasa bergidik. William menelan ludah. “Aku merindukanmu,” imbuh Nicole disusul dengan menyambar bibir William, melumatnya dengan lahap di hadapan banyak pasang mata yang mencuri-curi pandang dari sudut mata mereka. William membopong tubuh mungil Nicole dengan mudah tanpa melepaskan ciumannya. Pintu kamar yang terbuka sebelum menutup kembali dengan hentakan. Suara tawa panjang milik Nicole. *** Bersambung... Jangan lupa LOVE nya yaaaa...Biar bisa lanjut ke part berikutnya...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD