BAHAGIANYA

1031 Words
                                                 Memang mudah untuk memberi bahagia                                                 Namun sulit untuk menyembuhkan luka                                                Entah sampai kapan setiap epiode terus berlanjut                                               Tapi yang pasti, kita harus selalu menyiapkan ketegaran dalam menjalaninya                                                                                                   -''- "Assalamu'alaikum."ucap Habibah dan Najma sambil membuka pintu. "Wa'alaikumussalam. Ibu di dapur, Nak ayo makan."teriak Ibu Najma dari dalam dapur lalu Habibah dan Najma pun segera menghampiri Ibunya. "Nih, ayo cepet makan malem supaya tidur kalian nyenyak."tutur Ibu Najma sambil mengalaskannasi di piring Habibah dan Najma. Habibah yang merasa tak enak langsung menahan tangan Ibu Najma. "Ibu, biar Habibah aja."kata Habibah yang diangguki oleh Ibu Najma. Disisi lain Najma dilanda kebingungan padahal nasi yang berada di hadapannya sudah lengkap dengan nasi serta lauk pauk. "Bu, kentang baladonya mana?"tanya Najma sambil celingak-celinguk ke arah kompor. "Oh iya, Sayang maaf Ibu lupa. Kentang baladonya tinggal digoreng ko. Nih, kamu coba goreng ya."tutur Ibu Najma sambil membuka lemari makanan lalu menyerahkan piring yang sudah berisi kentang balado. Najma pun mengangguk lalu mulai menyalakan kompor. Habibah yang melihat kedua wanita itu hanya tersenyum sambil menuangkan air ke dalam gelasnya. Habibah menoleh ke arah samping kanannya ketika Ibu Najma di sampingnya. "Habibah, liat deh Najma lagi  ngegoreng kentang." kata Ibu Najma sambil tertawa dan merasa bangga ketika anaknya yang baru pertama kali masuk ke dapur untuk menggoreng kentang. Habibah langsung terdiam. "Cuma goreng kentang aja langsung dibanggain? Bahkan Najma sendiri pun tak pernah mencuci bajunya, mencuci piring. Terus gimana denganku yang tiap harinya mencuci, menyapu, masak? Yang ada aku malah merasakan lelah tak berarti." batinnya yang sangat meracau tak jelas. Seketika ia pun mengingat kejadian beberapa tahun lalu di rumahnya ketika irinya masih menginjak Sekolah Menengah Pertama. Saat itu Habibah sudah terbangun tepat pukul empat subuh setelah melaksanakan shalat tahajjud. Ia melirik adiknya yang satu kamarnya dengan wajah pulas kemudian ia keluar kamar. Suasana hening masih menyelimuti seisi rumahnya karena Ayah dan Ibu tirinya pun masih terlelap. Habibah segera membersihkan diri dan dilanjutkan bersiap-siap di dapur untuk menghangatkan nasi. Suara adzan subuh pun telah berkumandang. Habibah langsung melaksanakan shalat subuh namun suasana masih tetap hening padahal pukul lima subuh sudah tiba dan itu artinya lima belas menit lagi Habibah harus pergi ke sekolah. Ada rasa ketakutan karena waktu sudah menantinya sedangkan ia berusaha sendiri untuk menyiapkan segalanya bahkan untuk sarapan pun sepertinya tak akan terlaksanakan. Bukannya ia tak ingin membangunkan Ayah atau Ibu tirinya tapi ia merasa tidak enak jika harus meminta bantuan pada Ibu tirinya. Dengan susah payah Habibah mengerjakan sendiri mulai dari menghangatkan nasi, memasak untuk bekalnya, menyiapkan buku, dan tak lama kemudian Ibu tirinya keluar dari kamarnya. Ibu tirinya hanya menoleh sejenak kemudian pergi ke kamar mandi. Peristiwa seperti ini begitu sering terjadi bahkan untuk hal mencuci baju, Habibah mengerjakan sendiri. Bukannya ia tak ingin tapi waktulah yang sudah menyitanya. Cucian yang hingga menggunung beserta baju adiknya membuat ia menangis. Mengapa Ibu tirinya tak ingin membantunya sama sekali? Untuk menyiapkan makanan saja atau tidak mencuci baju adiknya yang masih bersekolah kelas 5 Sekolah Dasar. Habibah menangis mengapa semuanya harus terjadi? Ia merasa lelah dengan semuanya. Apa gunanya wanita itu jika tidak ingin mengurusi dirinya. Bukannya jika sudah ada Ibu semuanya akan berjalan dengan baik termasuk dengan pekerjaan rumah? Bukan pula Habibah tak ingin membantu tapi waktunya dari subuh hingga malam ia habiskan di kampus apalagi jika bukan untuk belajar? Dengan segenap hati Habibah menerima skenario-Nya dan mencoba mencurahkan hatinya pada Ayahnya. Ia hanya meluapkan kelelahannya bukan untuk merusak hubungan Ayah dan Ibu tirinya. "Yah, Habibah cape. Pergi subuh pulang malem terus dirumah berantakan, cucian numpuk. Apa Ibu gak mau bantu Habibah hanya untuk menyiapakan nasi saja?" ucap Habibah begitu lirih. Wajahnya mulai ramai oleh air mata. Ayahnya yang melihat keadaan putrinya langsung panik. "Maafkan Ayah, Nak. Jangan menangis lagi. Ayah akan merasa berdosa pada almarhumah Ibumu."katanya sambil mengusap kepala Habibah sedangkan Habibah sendiri pun masih menangis. "Ada apa ini?"tanya Ibu Tiri Habibah sambil menghampiri Ayah dan anaknya itu. Habibah langsung menghapus air matanya kemudian pergi kedalam kamarnya. Selama Habibah di kamar ternyata Ayahnya menjelaskan masalah tadi pada Ibu tiri Habibah padahal Habibah sudah mewanti-wanti agar jangan dibicarakan pada Ibu tirinya itu. Tak lama kemudian Ayahnya masuk kedalam kamar Habibah. Ayahnya masih melihat Habibah yang masih menangis dengan tatapan mata yang kosong. "Nak, Ibu nangis. Ayo minta maaf." Habibah langsung menoleh dan terkejut. Apa? Minta maaf? Memangnya apa salahnya? Mencurahkan isi hatinya salah? Meminta bantuan pun salah? "Minta maaf, Yah?"tanya Habibah dengan pelan sambil menahan air matanya. Ayahnya mengangguk. Habibah segera pergi ke kamar Ayahnya dan melihat Ibu tirinya sedang menangis tersedu-sedu. "Ya Allah kenapa harus seperti ini? Aku bicara pada Ayahku untuk diberi keadilan. Bukan malah meminta maaf padahal aku sendiri pun tak melakukan salah."Habibah berdo'a didalam hatinya. "Habibah minta maaf, Bu. Habibah hanya meluapkan kelelahan pada Ayah. Semoga Ibu mengerti dengan keadaan Habibah."ucap Habibah di hadapan Ibu tirinya kemudian Ibu tirinya hanya mengangguk. Semenjak kejadian itulah Habibah tidak ingin mengadu lagi pada Ayahnya. Ia lebih mengadu pada teman-temannya daripada harus meminta maaf ketika ia tak bersalah. "Aarghh!"teriakan dari Najma membuyarkan lamunan Habibah. "Adduh sakit kena minyak panas."rengek Najma. Habibah dan Ibu Najma langsung menghampiri Najma. "Ko bisa meletup sih? Padahal cuma kentang lho."ujar Ibu Najma sambil mengusap tangan anak semata wayangnya itu. Habibah yang inisiatif langsung mematikan kompor dan mengangkat kentang goreng itu dengan cepat dan lancar. Ibu Najma langsung mengambil krim dan mengoleskan ke tangan Najma. "Ibu gak akan nyuruh kamu masak lagi. Biar semuanya sama Ibu. Maafkan Ibu ya."Najma hanya mengangguk-angguk sambil mengaduh kesakitan. Habibah melihat wajah manja sahabatnya. Lihatlah, bahkan hanya untuk perihal menggoreng saja Najma gagal namun masih saja dimanja oleh Ibunya. Bagaimana jika Najma menjadi Habibah yang penuh dengan rintangan?"Yahh, kamu cuma masak aja udah gini. Tapi gak apa-apa kan?"tanya Habibah. "Ihh kamu. Gak apa-apa gimana? Ini perih tau."rengek Najma masih dengan nada manjanya. Habibah hanya tertawa pelan melihat tingkah sahabatnya yang sudah ia anggap seperti saudaranya sendiri. Walaupun sering terlintas rasa iri di dalam hatinya, Habibah sangat menyayangi sahabatnya ini. Jika tidak ada Habibah dan keluarganya, entahlah Habibah harus mengadu dan berlindung kepada siapa. Najma dan keluarganya adalah rumah kedua bagi Habibah bahkan Habibah lebih nyaman tinggal dengan keluarg Najma dibandingkan di rumanya sendiri. "Ya udah nanti aku ajarin masak nih biar kamu gak sampe kecipratan minyak goreng kayak gini lagi." ujar Habibah sambil mengelus tangan Najma yang luka. "Nah ibu setuju banget nih!" seru ibu Najma sedangkan Najma malah mengembungkan pipinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD