2. Natasha

1984 Words
Natasha adalah wanita yang sangat cantik, wajahnya yang lugu serta perangainya yang lembut menggambarkan dirinya sebagai wanita yang sangat femininitas. Kalau boleh aku ibaratkan, Natasha hampir mirip dengan artis cantik yang bernama Michelle Ziudith. Dari lima persen laki-laki yang ada di tempat kerjaku, hampir semuanya berlomba-lomba untuk mendapatkan Natasha. Aku juga tidak dapat menampik jika para lelaki di sini begitu ingin memilikinya. Sebagai pria yang normal, sejujurnya Natasha juga masuk ke dalam kriteriaku. Akan tetapi, masih ada hati yang harus ku benahi sebelum ada yang mengisinya kembali. Pertemuan pertama antara aku dengan Natasha masih terkesan biasa saja, tidak ada yang spesial selain kepayahanku saat itu. Beberapa hari kemudian, aku bertemu dengan Natasha di Mushola Perusahaan sesaat sebelum aku melangkahkan kakiku dari pintu Mushola. Hatiku berdebar saat dirinya melemparkan senyuman manisnya kepadaku untuk pertama kalinya, dan tentunya aku pun membalas senyuman itu dengan lengkung bibir yang sempurna. "Alhamdulillah, Abang rajin juga ibadahnya yah," sapanya padaku. Kami bertemu di halaman Mushola, ketika saling sibuk memakai sepatu untuk kembali bekerja. "Oh iya, ada yang ingin aku keluhkan sama Tuhan," jawabku sambil terkekeh. Natasha tertawa tipis setelah mendengar jawaban dariku, seolah jawabanku barusan adalah sebuah lelucon baginya. "Jangan kebanyakan mengeluh Bang, takut Tuhan bosan dengarnya. Lebih baik berdoa yang baik-baik saja," balasnya. Jawaban Natasha, sontak membuatku merasa terketuk. Apa yang baru saja dia katakan memang mungkin saja benar. Tuhan bisa saja bosan mendengar keluh kesahku selama aku berada di pulau ini, sedangkan Tuhan sudah sangat baik mengatur jalan hidupku hingga ke bagian yang mungkin saja luput dari sudut pandangku sebagai manusia. Dari situ aku melihat sesuatu yang berbeda dalam diri Natasha, sesuatu yang mungkin saja tidak dimiliki oleh wanita lainnya yang hanya pandai menggoda entah apa maksud dan tujuannya, lagi pula tidak semudah itu juga aku jatuh hati dengan godaan yang tidak berkualitas sama sekali. "Nat, kalau nanti malam aku ajak kamu makan keberatan gak?" tanyaku, yang memberanikan diri untuk mengajaknya makan malam. Lancang sekali rasanya lidahku mengucapkan sesuatu yang bahkan tidak sedikit pun direncanakan sebelumnya, seolah-olah ini adalah bayaran dari semua kepayahanku beberapa hari yang lalu. "Hmm, kalau aku gak ada acara si, boleh boleh aja, Bang," "Gitu ya, aku boleh minta nomor kamu gak? Siapa tau nanti malam kamu gak ada acara. Jadi aku bisa jemput kamu," Tanpa ragu, Natasha pun mengejakan nomornya satu per satu, dan segera ku tulis nomor itu menjadi sebuah kontak telepon dengan tanda kenal 'Natasha'. Mungkin sesuatu yang aneh sedang menerpa benakku saat itu, bagaimana mungkin diriku memaksa sinyal asmaraku untuk menyala dan menarik orang lain untuk melihat, lalu masuk hingga bagian terdalam, menyuruhnya masuk dengan paksa dan membenahi serpihan-serpihan hati yang berantakan. Waktu yang ditunggu pun tiba, langit mulai berbenah dengan hitamnya, kelap-kelip cahaya bintang di ujung langit juga mulai berani menampakan wujudnya. Aku memberanikan diri untuk menelpon Natasha, tentunya adalah untuk kembali menanyakan tentang ajakanku berbincang sambil makan malam. Entahlah, rasanya terlalu abstrak untuk dapat ku gambarkan, yang jelas mungkin aku sedikit merasa penasaran dengan seorang wanita bernama Natasha ini. "Haloo, Nat. Ini aku Barry," ucapku dari sambungan telepon. "Waalaikumsalam, Bang," jawab Natasha. "Assalamualaikum, hehe. Nat maaf. Jadi malam ini kamu sibuk gak?" balasku sedikit menggebu. "Enggak si, tapi Abang yakin mau ngajak aku makan malam?" "Iya, kenapa harus enggak yakin Nat?" "Aku makannya banyak loh Bang," jawab Natasha sambil tertawa. Aku sedikit berfantasi dengan membayangkan betapa cantiknya Natasha sambil tertawa tipis seperti apa yang aku dengar barusan. "Ah kamu bisa aja, jadi aku jemput ya? Kamu kirim lokasi rumah kamu saja nanti kalau sudah sampai aku kabarin,” "Eehh jangan Bang, kita ketemuan saja!" jawab Natasha dengan sigap sekali, itu juga pertanda penolakannya untuk tawaranku menjemputnya. Aku tahu mungkin terlalu cepat bagi kita meski hanya sekedar untuk makan bersama. Terlebih aku masih menjadi orang asing di lingkungan ini, pasti orang tuanya juga tidak akan mengizinkan Natasha pergi denganku jika beliau tahu. "Baiklah Nat, sampai ketemu nanti ya," balasku mengiyakan ide Natasha agar kita bertemu di tempat yang telah dijanjikan. Beberapa saat kemudian, Natasha akhirnya sampai setelah aku yang lebih dulu tiba di tempat yang telah dijanjikan sebelumnya. Entah metamorfosa macam apa yang mengubahnya menjadi sangat menawan malam itu, pandanganku tak lepas mengikuti uraian rambut yang terhembus angin ke kanan dan ke kiri. Bak putik bunga yang hampir mekar sempurna lewat romansa kala mataku bertemu dengan matanya di satu sudut pandangan yang sama. Ada sesuatu yang mengetuk lubuk hatiku kala itu, aku tidak tahu apa itu, tapi aku tidak begitu siap menyambut tamu lain karena di dalam hatiku masih ada satu nama yang enggan tuk pergi. Natasha mengajakku ke sebuah Caffe dimana Caffe tersebut adalah tempat terfavorit baginya. Setelah sampai di Caffe itu, memang benar kriteria yang dia katakan, bagiku tempat itu memang sangat romantis. Terletak di atas tanah yang paling tinggi dari daratan lainnya sehingga rumah-rumah warga sekitar beserta cahaya lampu yang menyusuri tiap jalan menjadi pemandangan yang sangat indah di tengah gelapnya malam. Namanya saja Caffe Puncak. Caffe Puncak dipenuhi dengan berbagai kelap-kelip lampu yang menyala secara bergantian di setiap sudutnya, serta ditemani live music yang memang sedang menjadi trend saat itu. "Jadi ada perlu apa mengajakku makan malam begini Bang?" tanya Natasha membuka obrolan di antara kami. "Ya, aku cuma," "Modus?" timpa Natasha, padahal aku belum selesai menjawab pertanyaannya. "Hah? Modus? Gak mungkin lah Nat. Cowok yang lahir di bulan November itu cowok yang paling tulus tau,” jawabku sambil bergurau mencairkan suasana. Lagi pula memang tidak ada niat sedikit pun untuk bermodus kepadanya. "Waah, Abang lahir bulan November? Kok sama kaya aku?" Ku kira Natasha hanya bercanda kalau dirinya juga lahir di bulan yang sama denganku, "Pasti Ibu kamu ikut-ikutan Ibu aku nih," "Yee, enak aja kalo ngomong," "Coba mana sini, siapa si yang ngikutin. Duluan aku atau kamu lahirnya?" Balasku sambil meminta tanda pengenalnya. "Enak banget, usaha lah kalo mau tahu!" jawabnya ketus, tapi aku tahu dia hanya bercanda. Lalu obrolan kami semakin serius dan memasuki babak baru, tak terasa bahkan makanan dan minuman yang tersaji telah habis sedari tadi. Namun, ada kejanggalan rasanya dari sifatku yang dengan mudahnya menjerumus pada perbincangan tentang kisah kelabuku, padahal baru pertama kali ini kami bertemu. Natasha seolah berhasil memasukkan dirinya dalam frekuensi obrolan di antara kita, tidak ada nada sumbang atau minor yang merusak frekuensi obrolan kami. Natasha berhasil menggiringku ke dalam obrolan tentang bagaimana bisa aku berada di pulau ini, sampai akhirnya aku menceritakan semuanya dengan utuh kepadanya. "Ish gila, kok bisa sih ketemu cewek yang begitu Bang?" Natasha sangat terkejut setelah mendengar cerita curahan hati yang terjadi padaku. Jujur saja, aku tidak menyangka kalau Natasha akan merespon sedalam itu. "Sebentar, harus ya kalo aku dipanggil Bang?" "Ya memang di sini seperti itu, laki-laki lebih identik dipanggil Bang. Memang kamu keberatan?" "Aku sih maunya dipanggil nama aja Nat," tawarku agar kami terasa lebih akrab, karena jujur saja, panggilan Abang masih terlalu naif ku dengar. "Oke Barry!" "Terus terus gimana tuh, pasti sakit ya? Secara kamu udah bela-belain izin gak masuk kerja buat jemput pacar kamu jauh-jauh, eeh malah dia di jemput cowok lain dan itu semua terjadi di depan mata kamu Bar, pasti sakit ya?" lanjutnya. Berat rasanya menahan diri untuk tetap terlihat tegar di hadapan Natasha, aku juga manusia biasa yang juga tak pandai menyembunyikan luka. Kita semua pasti akan berada di fase yang sama, meski telah jatuh berkali-kali, putus cinta tidak mempunyai rumus untuk dapat di pelajari agar bisa di selesaikan dengan mudah. Aku terus menyelesaikan cerita itu meski harus menjadi pecundang di hadapan Natasha, "Aku gak tahu gimana rasanya, tapi hati aku saat itu benar-benar sesak dan beneran terasa gitu. Baru kali ini merasakan hal seperti itu,” "Sorry ya Nat, aku cengeng banget," sambungku "Gapapa Bar, luapin saja semuanya. Cowok yang nangis gara-gara cewek itu tandanya dia tulus.” Jawab Natasha, sambil menyodorkan kotak tissu kepadaku. "Jarang lagi jaman sekarang cowok begitu," sambungnya lagi. "Iya semua orang juga pasti mau melakukan yang terbaik kepada pasangannya kali Nat, apalagi aku cowok, jadi ya aku harus berjuang," "Kamu itu sudah sangat amat berjuang loh Bar, dan buktinya dia enggak melakukan yang terbaik buat kamu. Ya seenggaknya hargailah perjuangan kamu, 3 tahun itu waktu yang cukup lama loh dan kalian sudah selama itu bersama kan?” Plakkk!!! Jawaban Natasha seperti sebuah tamparan keras bagiku. Aku diam seribu bahasa tanpa bisa membantah sepatah kata pun, seolah mengiyakan jawaban dari Natasha barusan. Apalagi yang harus ku bantah jika memang apa yang Natasha katakan adalah sebuah kebenaran yang lewat untuk ku sanksikan. "Tapi gapapa Bar, kamu cowok baik kok. Nanti juga ketemu sama cewek yang baik juga. Dan kalau aku boleh kasih saran, kamu bisa hapus tuh marah-marah kamu dan sindiran-sindiran yang kamu buat tentang dia, menurut aku sih kamu gak akan bisa berdamai sama diri kamu sendiri kalau masih begitu," sambungnya, mungkin Natasha tahu setelah membaca umpatan-umpatan kekesalanku lewat w******p Story'. Malam itu aku seperti menemukan sebuah titik balik dalam hidupku, Natasha membuka mataku lebar-lebar dan seolah dia sendiri yang menuntun ku keluar dari situasi pelik yang selama ini memenjarakanku. Sedikit demi sedikit, Natasha berhasil membuatku begitu kagum dengan pembawaannya yang sangat anggun serta kedewasaan yang dia miliki, pola pikirnya jauh berbeda dibandingkan dengan semua wanita yang pernah ku singgahi hatinya. "Eeh Nat, kamu gak masalah kalau nanti ketahuan pacar kamu, kalo kita makan berdua begini?" "Bar, Tanjung Pinang ini pulau kecil, mau ngapa-ngapain pasti ketemunya dia-dia orang. Jadi kalau aku punya pacar, gak mungkin lah mau kamu ajak makan begini,” jawabnya dengan sangat lantang. "Aku punya ide Bar, siapa tahu kamu bisa lebih tenang lagi kedepannya," "Punya ide? Ide apa Nat?" jawabku bingung. "Minggu pagi kita jalan yuk ke suatu tempat, aku yakin pasti kamu suka deh!" Ajak Natasha, tanpa bertanya lebih dulu mau atau tidak. Tapi andai pun dia bertanya demikian, aku pasti menjawab mau. Sempat terlintas dalam benakku, entah apa yang Natasha pikirkan waktu itu, di saat cowok-cowok lain di luar sana begitu ingin mendekatinya, dia justru mengajakku untuk pergi ke suatu tempat yang aku sendiri bahkan tidak tahu akan kemana dia membawaku, "Kemana Nat?" Tanyaku memastikan. "Udah ikut saja, nanti juga kamu tau sendiri,” Malam itu akhirnya kami berpisah dan kembali ke tempat masing-masing, benakku tak lepas dari sosok Natasha yang sangat baik memperlakukanku. Bisa dibilang aku mulai hanyut terbawa perasaan malam itu, dan semenjak pertemuan kami, intensitas komunikasi kami pun juga meningkat. Aku segera menanyakan Natasha apakah sudah sampai di rumahnya dengan aman, lewat pesan w******p. "Terima kasih ya Nat, aku sedikit merasa lega setelah cerita sama kamu," tulisku dalam pesan singkat yang ku kirimkan kepada Natasha, setelah sebelumnya dia membalas bahwa dia sudah sampai di rumah dengan aman. Tidak lama kemudian, notifikasi ponselku berbunyi kembali dan itu adalah balasan dari Natasha. "Iya sama-sama Bar, sudah biarin gak usah dipikirin lagi hehe." "Iya Nat, ya sudah tidur gih besok kesiangan pula masuk kerjanya, nanti gara-gara abis jalan sama aku yang kamu jadikan alasannya." "Iya aku mau cuci muka dulu Bar, abis itu tidur. Kamu juga tidur sana, laki-laki kan suka kebluk kalo udah tidur hehe." "Yeee, enak saja. Ayo kita bertaruh siapa yang duluan bangun pagi!" "Siapa yang bangun lebih dulu langsung chat ya!" Lanjutku. "Chat gimana?" "Iya apa kek, jadi siapa duluan yang chat berarti dia yang bangun lebih dulu, begitu Nat." "Oke, siapa takut!" "Ya sudah, Good night Na," pikirku mungkin terlalu cepat, aku tidak mau Natasha berspekulasi berlebihan. Akhirnya aku menghapus pesan itu sebelum terkirim kepada Natasha. "Ya sudah Nat." Balasku. "Good night, Bar." Balas Natasha. "Ah sial kan, tahu gitu gua duluan yang ngucapinnya." pikirku yang mulai salah tingkah sendiri, setelah merasa kecolongan di langkah pertama. Bukan, mungkin langkah yang kesekian karena aku berhasil melangkah sejauh ini, tapi yang pasti saat itu aku merasa seperti kalah di atas papan catur setelah ragu untuk hanya sekedar mengucapkan selamat tidur malam itu. "Good night too, Nat." Balasku kemudian, sekaligus penutup percakapan kami karena Natasha tidak menjawab apapun lagi setelahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD