02. Bukan badboy

846 Words
Pantas saja jika Niana berpikir seperti itu, untuk orang yang tidak terlalu paham tentang dunia fashion, jelas akan berpikir El-Fatih adalah gembel berparas rupawan. Terlahir dari keluarga kaya raya tidak lantas membuat dia di banjiri dengan kemewahan. Di antara semua barang yang dia pakai dan yang terlihat---hanya si merah Lexus LC dan jam tangan dari Hublot yang akan menjelaskan jati dirinya. Selain dari pada itu, El-Fatih lebih suka tampil sederhana layaknya mahasiswa pada umumnya. Atasan kaos, entah yang polos atau yang bermotif atau yang nyeleneh like gembel seperti pagi tadi dan di padupadankan dengan kemeja flanel. Untuk bawahan, dia punya banyak jenis celana yang biasa dipakai ke kampus, sedangkan untuk sepatu, El-Fatih punya satu lemari besar khusus untuk menampung semua koleksinya. Sejauh ini hidupnya berjalan dengan normal. Tidak ada teman bermuka dua, tidak ada kehidupan malam yang bebas dan tidak ada julukan Badboy tampan yang dingin dan tidak tersentuh seperti di novel-novel. El-Fatih hanyalah mahasiswa biasa yang cukup di gilai oleh sekumpulan mahasiswi dikampus, dengan si merah yang mengantarnya setiap hari ke kampus sudah cukup menjelaskan status ekonomi keluarganya tapi tidak ada yang tahu seberapa kaya nama belakangnya. Semuanya tampak normal di luarnya, namun siapa yang menduga jika di balik penampilan urakan khas mahasiswa-nya ada sejumlah pengawal yang menjaganya dari jarak aman. Ingat kejadian kotak makan kemarin? Sebelum makanan itu masuk ke mulutnya, salah satu dari empat orang yang mengawalnya harus memastikan lebih dulu, apakah makanan itu aman di konsumsi atau tidak. Berlebihan memang, tapi terlahir sebagai anak dari seorang pengusaha sukses membuatnya harus selalu waspada dengan keadaan sekitar. Begitulah aturan yang di terapkan Aby padanya. Suasana kantin fakultas ekonomi dan bisnis siang ini tidak kalah ramai, meskipun sebagian yang datang kesini lebih banyak mahasiswa dari fakultas lain. Padahal hampir semua kantin fakultas memiliki menu yang sama, entah apa yang mereka cari. Ada tiga perempuan yang duduk tidak jauh dari meja yang di tempati El-Fatih dan Rafa, sesekali Rafa menangkap basah ketiga perempuan itu melirik ke arah mereka dengan senyum malu-malu tapi mau.  Rafa menepuk pundak El-Fatih dua kali, "Coba lo nengok, El. Arah jam sembilan, yang pakai baju merah." El-Fatih memutar bola matanya malas lalu mengikuti petunjuk Rafa, "Kenapa dia?" "Dari tadi dia ngeliatin lo, suka kali. Nggak mau lo samperin?" Terang Rafa masih memperhatikan ketiga perempuan itu, "Di antara mereka bertiga, emang dia yang paling cantik sih... tapi kok gue ngeri ya, itu orang ke kampus aja make up-nya setebel itu." Rafa bergindik ngeri. El-Fatih meneguk habis air mineralnya lalu berdiri, "Gue nggak tertarik sama ondel-ondel." ujarnya lalu memilih pergi, meninggalkan Rafa yang sudah mencak-mencak di belakangnya. "Eh! Mau kemana lo? Tungguin, yaelah!" Keduanya berjalan beriringan ke arah parkiran, masing-masing dari mereka sibuk dengan kegiatannya sendiri. Seperti biasa, Rafa tidak pernah bisa lepas dari ponselnya bahkan ketika berjalan, El-Fatih jadi heran sendiri karena selama mereka bersama, tidak pernah sekalipun dia melihat Rafa jatuh karena menabrak sesuatu atau seseorang di depannya, padahal jauh di dalam lubuk hatinya El-Fatih berharap hal itu terjadi. Laki-laki itu seperti memiliki mata di kakinya---Wait! Apa jangan-jangan mata kaki bisa ngeliat? Oke, case close. Jelas itu pemikiran bodoh. "Lo ngapain kayak orang bego disitu? Mami Nana pesen Pai Apel lagi?" Tanya Rafa ketika melihat El-Fatih masih memandang ke arah Cafe di seberang jalan, sesekali kepalanya menengok ke kiri lalu ke kanan. El-Fatih menggeleng pelan, lalu berbalik, berjalan ke arah mobilnya. "Nggak. Udah cabut, lo jadi ke rumah kan? Nyokab nanyain mulu tuh." "Jadilah!" *** "Niana!" Perempuan dengan rambut hitam sepunggung itu menoleh lalu tersenyum manis, "Kamu---" Niana menunjuk El-Fatih sambil berpikir, "Yang waktu itu kan?" El-Fatih mengangguk pelan, memperhatikan penampilan perempuan di depannya. Niana cukup cantik walau sebenarnya menurut El-Fatih perempuan itu lebih cocok di bilang manis. Matanya tidak terlalu sipit dengan bulu matanya yang lentik, garis alisnya rapi meski tanpa bantuan pensil alis, bibir kecil dan penuh itu selalu terlihat menggoda ketika tersenyum dan memperlihatkan barisan gigi putihnya yang tersusun rapi. Namun bukan itu yang sejak awal mencuri perhatian El-Fatih, melainkan tahi lalat di bawah bibir sebelah kiri Niana-lah yang seolah menariknya lebih dekat ketika keinginan untuk menyentuhnya semakin besar. Hingga tanpa sadar, tangan itu sudah lebih dulu menyentuh tanpa seijin pemiliknya. El-Fatih bisa merasakan tubuh perempuan itu menegang, sorot matanya penuh tanya ketika tangan besar itu menyentuh dagunya. "Sorry," El-fatih mundur beberapa langkah, menarik napasnya dalam lalu hembuskan perlahan. "Gue nggak maksud buat kurang ajar sama lo, gue cuma---" El-Fatih meringis ketika perempuan itu tersenyum maklum. "It's okay. Tapi mungkin lain kali kamu harus bilang dulu---" Niana menyengir malu, lalu satu tangannya menyentuh dadanya. "Gosh! Kenapa aku jadi berdebar-debar kayak gini?" El-Fatih terkekeh geli, lalu tiba-tiba berdehem sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam ranselnya. "Sorry juga soal ini, gue nggak tau harus nyari lo kemana jadi kotak makannya gue bawa kemana-mana." Niana ikut terkekeh, menerima kotak makan itu dengan senang hati. "Dari sekian banyak orang yang aku kasih makanan, kamu orang pertama yang niat banget balikin kotaknya. Oh ya---" Niana menunjuk Toko bunga di sebelah Cafe, "Itu tempat kerja sekaligus tempat tinggalku." Jelasnya lalu kembali menatap El-Fatih, "Aku harus balik kerja, See you..." "El-Fatih. Thats my name." Sambung El-Fatih, menatap lurus mata Niana dengan kedua tangannya yang di masukkan ke dalam saku celana. Niana mengangguk, tersenyum semakin lebar hingga matanya menyipit. "See you later, El-Fatih."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD