PART 3

1406 Words
“Apa kau dekat dengan Aksa?” Wajah Aleta penuh tanda tanya. Dia tidak percaya pertanyaan itu muncul di tengah pembahasan kerja. “Maaf, saya sedikit terganggu dengan pertanyaan anda.”, tegas Aleta dengan wajah datar. Kini Jonael yang justru salah tingkah. Dia sadar telah salah. Tangannya bergerak ke segala arah entah sedang melakukan apa. “Oke, aku salah. Sorry.”, Jonael mengaku. “Bukankah kemarin kami sudah menjelaskan bahwa tidak memiliki hal spesial apapun? Saya harap anda fokus pada materi kita hari ini.”, Aleta menegaskan. Jonael menatap wajah Aleta dengan dalam. Semoga Ale tidak marah. Mulutnya memang lepas kendali. “Sudahlah, kita bahas materi selanjutnya. Tidak perlu memperpanjang perdebatan.”, pungkas Jonael. Dengan kesal Aleta membalik kertas di depannya. Dia membaca dengan sorot mata yang tajam. Oke, dia marah tapi dia juga tahu disini bukan tempatnya untuk meluapkan itu. “Dari daftar ini, mana yang paling urgent? Masalah apa yang dihadapi? Aku lupa.”, tambah Jonael, berusaha mengalihkan emosi Aleta kembali pada pekerjaan. Dia yakin wanita itu akan bersikap profesional, tidak seperti dirinya beberapa waktu lalu. Aleta menyerahkan satu berkas yang lumayan tebal kepada Jonael. “Ini berkas tentang program baru kita di Sulawesi. Ada 30 convenience store yang akan didirikan di 15 kota dan kabupaten.”, akhirnya Aleta kembali pada ketenangannya. “Ada kendala?” “Masalah perizinan. Kita tersendat di Izin Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.” “Masalah waktu atau birokrasi?”, tanya Jona dengan serius. “Keduanya, Pak.” “Bagaimana tanggapan konsultan tentang ini?” “Mereka terus berusaha untuk melobby Dinas terkait. Dokumen sudah siap hanya saja waktu pengerjaan laboratorium cukup lama.” Jonael menimbang-nimbang kondisi itu. “Kapan rencana launching?”, Jonael kembali bertanya. “Dua bulan lagi, Pak.” Jonael tampak berpikir beberapa saat sebelum melanjutkan. “Oke, katakan pada konsultan bahwa kita tambah nilai kontrak sebesar 10%. Aku yakin masalahnya ada di birokrasi non teknis.” “Apa anda yakin? Akumulasinya tidak sedikit.” “Tidak apa, kita dukung mereka, kondisi ini sudah terbaca. Nanti aku yang akan bicara langsung pada divisi keuangan.” “Baiklah, saya akan bicara pada Tommy untuk memperbarui kontrak kerjasama itu.” “Good. Kau tahu, aku berani bertaruh demikian karena memang lokasi yang kita pilih sangat bagus. Jika ini berjalan baik dan tepat waktu, ekspansi kita akan berkembang pesat.” Aleta mengangguk dan mencatat beberapa hal penting yang disampaikan Jonael. “Aku ingat tahun lalu Ayahku merancang Dealer baru. Bagaimana? Apa sudah terlaksana?” Aleta mencari satu berkas di tumpukan berkas lainnya dan menyerahkan itu pada Jonael. “Ini, Pak. Kita-“ “Oh tunggu.”, sela Jonael sembari mengambil gagang telepon. “……aku haus. Kau mau minum apa, Ale?”, imbuhnya. “Mmhh mineral saja, Pak.” Jonael mengangguk dan berbicara dengan seseorang di seberang telepon. Dari nadanya bicara, Aleta tahu jika dia sedang menghubungi officeboy. “Oke, kita lanjutkan sebelum kau mengusirku untuk pulang.” Tiba-tiba. Waaaw. Kembali. Senyum itu lagi. Aleta tersenyum mendengar kalimat Jonael. Gila, wanita ini memang sangat cantik. Hampir saja Jonael tersedak salivanya sendiri. Aleta membuat Jonael b*******h. Tapi tunggu, hilangkan pikiran kotor itu. Demi apapun dia adalah pegawai Jonael dan mereka sedang bekerja. Jonael bahkan tidak tahu bagaimana kehidupan pribadi wanita itu. “Kau sangat jarang tersenyum.”, mulut Jonael lepas kendali. “Huh?”, Aleta terkejut dan memberi ekspresi aneh. “Ya, maksudku kau sangat manis jika tersenyum. Hal itu sebenarnya bisa menciptakan iklim kerja yang bagus. Kuharap kau sering tersenyum di hadapan teman-teman lainnya.” Oh… jadi itu. Sedikit malu, Aleta lalu tertunduk. “Saya usahakan, Pak.” Pembicaraan tentang senyum tadi tak berlangsung lama. Kini mereka kembali bergelut pada permasalahan kerjasama dan program yang terbengkalai. Jonael ingin menyelesaikannya satu per satu. Dia sudah kehilangan tiga minggu untuk pemulihan dan enam bulan untuk hal yang hilang entah kemana. Waktu terasa cepat berlalu. Berkali-kali Jonael mencuri pandang pada Aleta ketika wanita itu berbicara panjang. Entah kenapa, mata Jonael selalu mencari pergerakan tangan halus dan wajah cantik Aleta. Jonael tersihir. “…….. seperti itu, Pak. Hari ini kita lalui dengan banyak sekali permasalahan. Besok kita harus terjun ke lapangan. Saya rasa anda perlu melihat langsung beberapa proyek yang sedang berjalan dan aktualisasi pengembangan program marketing kita.” Jonael tersadar dari lamunannya. Beberapa saat dia tidak bersama dirinya. Dia seperti hanyut dalam pesona manis Aleta. “Ah… iya itu. Oke. Besok kau menemaniku, bukan?” “Tentu, Pak.” “Good. Aku tidak perlu khawatir. Aku rasa kau sangat teliti pada apa yang aku kerjakan selama ini. Lalu bagaimana dengan pekerjaanmu sendiri waktu itu?” Aleta mulai merapikan berkas yang ada di hadapannya selagi memberi jawaban. “Saya sudah terbiasa multitasking. Anda tidak pernah memiliki asisten pribadi jadi saya dan tim selalu memperhatikan segala yang berkaitan dengan anda, Pak.” Jonael berdiri memutari meja dan beralih ke sofa samping Aleta. Wanita itu tidak terlalu memperhatikan hingga tangan mereka tanpa sengaja bersentuhan. Aleta terkejut lalu sedikit menarik diri. Jonael hanya berniat membantu. Berkas hari ini tidak sedikit. “Aku bantu bawa ke mejamu. Ah, dan terimakasih jika selama ini kau dan timmu selalu memantauku.” “Iy…iya sama-sama, Pak. Nanti saya sampaikan pada mereka. Tapi anda tidak perlu membantu membawakan berkas. Mereka akan bertanya-tanya dan menganggap saya lancang.” Aleta merebut pelan berkas dari tangan Jonael. “Mmhh… apa kita selalu seformal ini, Ale?” Aleta tercekat dan menghentikan gerakan. Dia mulai tidak nyaman dengan pertanyaan yang diberikan Jonael akhir-akhir ini. Ah, atau mungkin dia saja yang terlalu sensitif karena harus beradaptasi dengan posisi baru. “Saya dan teman-teman sangat menghormati anda, Pak. Tidak tepat jika kami berlaku lancang.” “Bukan, Ale. Aku tidak bertanya tentang timmu. Aku bertanya tentang kita. Aku merasa, seandainya kita lebih santai mungkin aku akan merasa lebih nyaman. Perkiraanku berkata begitu.” “Santai seperti apa, Pak?”, nyatanya Aleta tetap bisa bersikap santai dua hari ini. Hanya Jonael dan keanehannya yang mendominasi. “Yaa… mungkin dengan mengganti panggilanmu atau lainnya. Kalimatmu juga. Aku ingin kita bersikap seperti teman.”, Jonael mulai berani menyuarakan keinginannya. Dia sendiri tidak tahu darimana dorongan itu berasal. “Teman? Sungguh itu berlebihan, Pak. Saya hanya pegawai biasa.” “Aku tidak mempermasalahkan jabatan, Ale. Aku hanya ingin kenyamanan dalam iklim bekerja. Apa alasan ini tidak bisa membuatmu setuju?” Aleta diam beberapa saat. Dia khawatir jika nantinya hal ini menimbulkan boomerang. “Berikan saya contoh.”, pinta Aleta datar. Jonael yang kini duduk di samping Aleta masih setia menampu pandangannya pada wanita itu. “Hilangkan panggilan Pak. Panggil namaku saja. Jangan berkata saya-anda, cukup kau dan aku. Kurasa hal itu sangat mudah. Semua orang bisa melakukannya.” “Tapi tidak semua orang berhak melakukannya, Pak.” “Aku tahu, maka aku memberimu izin, Ale. Sama seperti Aksa. Dia temanku, aku nyaman saat berbicara dengannya, maka banyak cerita yang bisa aku sampaikan padanya.” Oh… sejenis teman seperti Aksa, batinnya. Aleta tampak menimbang keputusan apa yang akan ia ambil. “…… apa begitu sulit untukmu mengatakan iya? Bagaimana jika aku merubahnya menjadi sebuah perintah? Kau masih menolak?”, tambah Jonael. Aleta berdehem demi menyelaraskan pikirannya. Tangannya bergerak membenahi beberapa helai rambut yang terjulur ke wajahnya untuk dia masukkan kembali ke belakang telinga. Jonael tidak melewatkan pemandangan itu. Kali ini sangat dekat. Mati kau. “Jika itu perintah, maka saya terima.” “Good girl.”, sorak Jonael spontan. “Dengan satu syarat, saya tidak akan melakukan itu di segala kondisi. Saya masih tahu batasan, Pak. Saya hanya pegawai.” “Tidak masalah, Ale. Sekarang mulailah. Aku ingin mendengarnya.” “Mendengar apa?” “Hmm… kau tahu perintahku dengan baik.” Aleta kembali berdehem satu kali sebelum dia berucap. “Ohh… ya, oke--- Jo. Kita akan survey ke lapangan besok tepat pukul delapan. Kau jangan sampai terlambat karena aku tidak bisa mentolerir itu. Semua jadwal sudah kususun dengan rapi. Jangan menghancurkannya. Apa begitu, Pak? Seperti itu?” Ahh fail. Sebenarnya Jonael sudah tercengang pada kalimat-kalimat awal Aleta, dia bahkan tersenyum mendengarnya. Namun hal itu memiliki ujung yang buruk. “Kenapa harus contoh? Langsung saja kau ucapkan. Ahh……”, keluh Jonael. “Ma.. maaf. Ehmm… aku hanya belum terb…biasa, Jo.”, terbata Aleta berucap. “Ya, benar seperti itu. Sial, kau susah sekali dibujuk.” Aleta berdiri membawa setumpuk berkas dan berniat pamit. Jonael dan keanehannya membuat Aleta tidak nyaman untuk terus berada disana. “Pulanglah. Aku akan mengurus keperluan kita untuk besok.”, akhirnya Aleta bisa berucap dengan lancar. Lega Jonael mendengar itu. “Oke, jangan lupa makan siang. Aku tidak ingin pegawai yang bertanggung jawab atas diriku jatuh sakit karena lelah. Aku tahu kau pusing menghadapi tugas ini, Ale.” Demi apapun, ini hanya karena tugas. Perhatian ini tidak memiliki maksud lebih. Aleta merapalkan mantra di dalam hatinya. Dia tahu jika Jonael memang seorang pemimpin yang baik. “Sudah menjadi tugasku, tak masalah. Dan aku juga akan segera makan karena Tommy menunggu di-“ “Tommy??”, potong Jonael, matanya membelalak. “Iy…iya. Tommy sekretaris barumu.” Jonael menjauh dari tubuh Aleta dengan melonggarkan dasi di lehernya. “Hanya berdua?”, kejar Jonael datar. “Sementara ini hanya berdua. Aku tidak yakin jika teman lain ikut bergabung. Tapi ada hal yang harus aku bahas bersama Tommy.” “Tentang pekerjaan?”, Jonael masih menuntut, sementara Aleta risih dengan pertanyaan absurd ini. Kenapa dan apa urusannya jika dia makan bersama Tommy? Sial. “Iya dan tidak. Bisakah kita sudahi pembicaraan konyol ini? Urusanku sepertinya tidak penting untuk bos besar sepertimu, Jo.” “Ya yaa… terserahmu. Pergilah.” Aleta mengacuhkan kalimat Jonael dan segera keluar dari ruangan. Jonael terkejut. Seriously? Wanita itu tidak berkilah apapun dan langsung pergi? Jonael mengusap wajahnya kasar. Ada apa dengan dirinya? Ada rasa berat, mengganjal, dan tidak rela mendengar Aleta akan pergi bersama laki-laki lain. Demi Tuhan, mereka adalah pegawai dan seharusnya hal itu sudah biasa terjadi. Ah, Jonael jengah dengan pikirannya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD