PART 2

1283 Words
Begitu perkenalan singkat itu selesai, Aksa keluar untuk kembali pada pekerjaannya, sedangkan Aleta duduk di hadapan Jonael dengan beberapa berkas yang ia bawa. “Lalu siapa yang mengisi posisimu, Aleta? Ale?”, Jonael membuka percakapan dengan datar. “Ale. Saya biasa dipanggil itu, Pak.”, jawab Aleta sambil menata berkas di depannya. Jonael duduk diam memperhatikan bagaimana Aleta mengurus itu. Tangan yang indah, batinnya. Spontan dia memukul dahinya sendiri karena sempat terpesona dengan asisten baru ini. “Oke Ale, jadi siapa-“ “Dia bernama Tommy, rekrutmen dilakukan sejak tiga bulan lalu. Ini adalah CV miliknya. Menurut tim yang berwenang, dia adalah kandidat paling berkompeten untuk menggantikan saya.” Jonael mengambil CV yang diserahkan Aleta dengan mengernyit dan membacanya sekilas. Wanita ini menjawab bahkan sebelum pertanyaan Jonael selesai. “….. baiklah, Tommy adalah orang yang akan saya kenalkan pertama kali karena posisinya yang cukup fital untuk anda.” “Ada berapa banyak pegawai baru yang mungkin tidak kuingat?”, Jonael mempelajari. Aleta merubah arah matanya dari berkas pada wajah Jonael sejenak, kemudian kembali pada berkas lagi. Kegugupan justru ada pada Jonael. Dia merasa tatapan Aleta sangat menusuk meskipun wanita itu hanya sedikit bergerak. “Apa anda mengingat dua orang ini?”, ucap Aleta dengan menunjukkan dua foto. Jonael memperhatikan sekilas, “Ah, aku tahu yang sebelah kanan tapi lupa dengan yang kiri.” Aleta mengangguk faham. “Oke, tepat. Sudah saya perkirakan dan ini adalah berkas tentang pegawai baru yang perlu anda ketahui. Hanya yang memiliki posisi penting yang saya berikan. Ini dia.” Jonael mengambil berkas itu, “Tidak banyak.” “Memang tidak banyak, Pak. Karena selain itu masih ada setumpuk hal lain yang perlu anda pelajari.” “Baiklah. Tapi bagaimana dengan jadwalku sendiri?” “Saya kosongkan jadwal anda hingga tiga hari kedepan. Anda akan ke kantor untuk belajar, hanya setengah hari, dan belum melaksanakan tugas sebagai Direktur.” “Tapi kemampuanku tidak menghilang, Ale. Aku hanya lupa.” “Saya tahu, Pak. Tapi penyesuaian dengan hal baru bisa memenuhi pikiran dan fokus anda. Anda perlu menyesuaikan diri pelan-pelan.” Jonael menghela nafas panjang, wanita ini sesekali membantahnya. Sial. “…. maaf jika saya membuat anda tersinggung.”, pelan Aleta mengucapkannya. “No, it’s ok. Aku tahu kau bekerja demi kebaikanku.” Mereka berdua saling tatap selama beberapa detik. Aleta merasa aneh kemudian memutus pandangan itu, dia menunduk dan mulai membahas hal selanjutnya. Keduanya bertahan dalam kegiatan pengenalan pekerjaan hingga siang hari. Beberapa hal dijelaskan Aleta dengan singkat namun mudah dipahami. Terorganisir. Sepertinya wanita ini sudah mempersiapkan materi jauh-jauh hari. Jonael merasa terkesan dengan ketelitiannya. “Ale, kau boleh pergi makan siang. Sudah waktunya.”, potong Jonael di tengah penjelasan Aleta. Wanita itu mengangguk dan mulai merapikan meja Jonael. “Baiklah, saya permisi, Pak.”, dia melangkah sambil memeluk berkas-berkas. Sebelum Aleta mencapai pintu, suara Jonael menginterupsi. “Tunggu, apa ada menu atau tempat makan yang recommended akhir-akhir ini?”, tanya Jonael dengan wajah datar, lagi. Aleta berbalik menghadap Jonael. “Ada.” “Oh ya, apa itu?” Aleta mendekat. “Anda seharusnya pulang, Pak.”, ucapnya lembut, membuat Jonael bergidik. “Ak- aku memang akan pulang tapi menu di rumah membuatku bosan.” Aleta memandang Jonael tajam lalu mengeluarkan ponsel dan mengirim beberapa hal. Tiba-tiba notifikasi masuk di ponsel Jonael. Sebelum membuka pesan, dia terpaku dengan nama yang tertera disana. “Aleta Adnan… nama yang bagus.”, gumamnya pelan. “Itu adalah menu favorit anda beberapa waktu terakhir. Jangan mengambil es krim di Café Sunday karena tenggorokan anda tidak mentolerir itu. Jangan pesan spagheti carbonara di Restoran Leutra karena anda tidak menyukai aroma sausnya. Pastikan anda memesan makanan dan minuman di dua tempat itu dengan proporsi diet. Rasanya lezat namun kalori di dalamnya juga sangat banyak. Untuk tempat yang lain, bisa anda tolerir dengan memperhatikan- ” “Kau bisa tahu sedetail itu?”, potong Jonael. Aleta mengernyitkan dahi mendengar kalimat Jonael. “Terimakasih saya diberi kesempatan untuk bekerja disini. Memiliki atasan yang sangat terbuka seperti anda adalah keberuntungan saya. Anda sangat baik dan akrab pada staf yang ada di lantai ini, Pak. Kami semua menghargai itu.” Jawaban yang sangat panjang dan jauh, batin Jonael. “Kurasa hari ini cukup. Kau bisa melanjutkan pekerjaanmu dan aku akan pulang.” Aleta mengangguk. “Baik, Pak. Hati-hati di perjalanan. Apa sopir anda, Pak Bima, sudah siap di bawah? Perlu saya meneleponnya?” “Tidak perlu. Aku bisa menunggunya selagi aku berjalan-jalan di perusahaan. Aku ingin melihat seberapa banyak perubahan yang dibuat para pegawai.” Tanpa disangka Aleta mengeluarkan senyum kecil. Hal itu kembali membuat tubuh Jonael serasa tersengat listrik. Manis sekali. Kenapa baru sekarang Aleta mengeluarkan itu? “Anda akan terpesona dengan dekorasi lantai lima, namun anda akan terganggu dengan dekorasi di lantai delapan dimana Pak Aksa bekerja.” “Apa yang terjadi?”, sahutnya penasaran. “Mereka membuat tema action figure dan itu menempel di segala penjuru ruangan.” “Apa?” “Saya tahu anda menyukai hal-hal simpel, maka lebih baik anda menghindari lantai itu, Pak.”, jelasnya lagi dengan senyum yang kali ini lebih lebar. Jonael menangkap senyum itu lagi dan andai dia bisa, dia akan memasukkan dalam sakunya untuk dibawa pulang. Kacau sudah pikiran Jonael. Ah, mungkin karena terlalu lama menyendiri dan tidak bersosialisasi selama tiga minggu, maka dia merasa gugup meski hanya bertemu dengan seorang wanita, batin Jonael meyakinkan diri. “Baiklah, selamat berkeliling dan jangan lewatkan makan siang anda, Pak. Saya harap kondisi anda segera pulih hingga bisa memimpin kembali dengan baik.” Ucapan penutup yang sangat mengesankan. Jonael mengangguk dan mempersilahkan Aleta pergi dari ruangannya. Untuk beberapa saat dia masih terpaku menatap pintu dimana punggung wanita itu menghilang. Dia merasa aneh dengan dirinya sendiri. Dia penasaran apakah Jonael yang lama sudah menyadari keistimewaan Aleta? Ini bisa saja disebut ‘tertarik’ jika bukan dalam konteks pekerjaan. Sayangnya, segala perlakuan Aleta tadi memang hanya demi pekerjaan. Jonael meringis dan merasa sedikit bodoh pernah berpikir seperti itu. Dia menghela nafas dan beranjak pergi.     ****** Keesokan harinya Jonael datang ke kantor dengan semangat. Dia merasa akan sembuh, terlihat normal dan hampir lupa dengan kondisi amnesia yang dia miliki. Kehidupan pekerjaan lebih banyak memakan ingatan daripada kehidupan pribadi karena dia hanya tinggal berdua bersama Ayahnya. Sebagian besar waktunya dihabiskan dengan bekerja, maka disinilah dia dan harapannya yang kian membuncah. Jonael berjalan melewati kubikel-kubikel di lantai sepuluh dan melihat Aleta sudah berada di balik mejanya di sebelah ujung, tepat di depan ruangan Jonael. Dia kembali berjalan dengan menelan salivanya setelah menyadari akan bertemu wanita aneh itu. Ya, aneh karena dia bisa memberi efek yang tidak biasa pada Jonael. Saling manganggukkan kepala kemudian Jonael menghilang ke dalam ruangan. Tak berselang lama, satu interkom datang ke meja Aleta. “Ya, Pak.” ‘Masuklah dan kita mulai pelajaran selanjutnya, Ale.’, suara di seberang membuat Aleta bersiap. Beberapa berkas kembali dia bawa menuju ke ruangan Jonael. Kali ini tidak di meja kerja, Jonael memilih sofa sebagai tempatnya mempelajari berkas baru. Mereka duduk saling berhadapan. “Baiklah, hari ini kita akan mempelajari program-program kerja yang telah, sedang, dan akan kita kerjakan, Pak.” “Apa kau sudah sarapan?”, potong Jonael membuat Aleta terkejut karena beda konteks. “Ah? Sarapan? Iya. Sudah, Pak.”, jelasnya ragu. “Bagus. Maka aku tidak perlu khawatir kita akan berhenti di tengah jalan karena kau lapar.”, Jonael beralasan. Tangan cantik milik Aleta mulai membuka satu per satu berkas dan menghadapkannya pada Jonael. Wangi, sekilas Jonael bisa mencium aroma tubuh Aleta. Sepagi ini dia sudah dibuat kacau oleh wanita ini, lagi. “Kuharap anda masih mengingat materi kemarin, Pak. Itu sangat berkaitan dengan materi hari ini.” “Tentang daftar partner dan klien baru kita?” “Iya.” “Aku kembali menghafalnya tadi malam.”, jelas Jonael. Aleta tersenyum puas mendengar itu. Sepertinya atasannya ini memang bertekad untuk bisa mengingat dengan cepat. Jonael mempelajari beberapa berkas yang dia baca dan bertanya pada Aleta untuk hal yang tidak dia fahami. “Apa aku serius menjalin kerjasama dengan instansi pemerintah?”, tanya Jonael tidak percaya. “Benar, Pak. MOU itu terbit setelah Perda terbaru dan kita berhasil mendapatkannya melalui lelang resmi LPSE. Kerjasama ini sedang dikerjakan oleh tim C di lantai tiga.” “Tapi aku tidak tertarik, bagaimana bisa itu terjadi?” Aleta dengan sabar menjelaskan seluk-beluk bagaimana keputusan itu diambil. Semua demi kepentingan bersama. Terlepas dari persepsi subjektif Jonael yang tidak suka, namun dorongan dari tim marketing dan tim perencanaan berhasil meyakinkan dirinya kala itu. “… mereka berjanji akan membuat kerjasama ini berhasil, Pak. Anda memiliki tim yang cukup loyal.”, pungkas Aleta. Jonael hanya mengangguk, dia memang percaya pada kemampuan pegawainya. Kini dia beralih ke berkas selanjutnya. Mulai membaca beberapa bagian hingga muncul pertanyaan baru. “Apa kau dekat dengan Aksa?” Astaga. Bukan pertanyaan ini yang akan keluar dari mulut Jonael. Sial. Lelaki itu merutuki dirinya sendiri karena baru saja bertindak bodoh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD