2. Adeline & Adeline

1260 Words
Begitu menjejakkan kakinya di lantai dasar, dari kejauhan Luna sudah dapat melihat Bricia yang lagi-lagi sedang bermain di playground dengan ditemani oleh Hana. Sett dah! Telat lagi?! "Miss, Lunaaa!" Bricia melambaikan tangannya ke arah Luna ketika melihat gadis itu menuju ke playground. Luna membalas lambaian tangan Bricia, kemudian mengambil posisi duduk di sebelah Hana. "Bricia telat dijemput lagi, Miss?" "Iya, Miss Luna. Miss Luna juga lembur lagi?" Luna mengangguk sambil menampilkan cengiran lebarnya. "Saya sih biasa begini, Miss." Luna menoleh ketika menyadari Bricia sudah bergelayut manja pada lengan kanannya. "Miss Luna mau temenin Cia lagi?" tanyanya sambil menatap penuh harap. Kalau sudah begini, Luna bisa apa? Mana tega dia menolak permintaan Bricia. "Iya, Miss Luna temani Cia. Miss Hana pulang aja, biar Cia sama saya." Luna tahu betapa Hana berharap dapat pulang secepatnya.  "Thank you, Miss Luna. Saya benar-benar tidak enak jadi merepotkan Miss Luna terus. Cia yang baik ya, sampai ketemu besok, Sayang!" Hana melambaikan tangannya dan bergegas meninggalkan mereka. Luna memandangi Bricia yang duduk dengan manis di sebelahnya, bercerita tentang banyak hal mengenai kesehariannya. Entah sejak kapan gadis kecil ini seperti tidak bisa lepas darinya. Padahal Luna itu bukan guru yang lemah lembut dan baik hati, namun anehnya Bricia begitu akrab dengannya. Luna masih ingat jelas pertemuan pertamanya dengan gadis kecil ini dua bulan yang lalu.   Luna melangkahkan kakinya di sepanjang lorong lantai lima, menuju studio tari. Salah satu ruang favorit Luna di Nada Pesona. Luna menyukai tempat ini bukan karena dia mahir menari, namun karena ini adalah tempat yang sangat nyaman untuknya menyendiri. Letaknya yang berada di lantai teratas, membuat ruangan ini selalu sepi jika sedang tidak ada kelas. Luna berjalan masuk dan terkejut melihat sesosok gadis kecil tengah duduk sendirian di dalam studio tari ini. Dia lebih terkejut lagi ketika menyadari gadis kecil itu tengah terisak-isak sambil membenamkan wajahnya di atas lutut. Jika mengikuti kebiasaanya, maka Luna akan segera berlari meninggalkan semua anak kecil yang menangis, namun kali ini tidak. Ada sesuatu yang berbeda dalam tangis anak ini. Luna memilih untuk ikut duduk di sebelah gadis kecil itu. "Hai! Kamu kenapa menangis sendirian di sini?" Gadis kecil itu mengangkat wajahnya sedikit untuk melihat siap yang mengajaknya berbicara. Namun segera menundukkan kembali wajahnya dan melanjutkan tangisnya. Tanpa sadar tangan Luna terulur untuk membelai kepala gadis itu. "Sudah dong. Nanti Miss ikut menangis lho kalau kamu menangis terus." Gadis itu kembali mengangkat wajahnya dan menatap Luna dengan bingung. Masih dengan terisak, gadis itu bertanya, "Miss kan udah gede? Masa nangis?" "Habisnya kamu menangis terus, Miss jadi ikut sedih. Makanya kamu berhenti menangisnya ya?" bujuk Luna. Gadis itu mengangguk sambil terus memandangi Luna. "Miss mau gak peluk Cia?" Entah bagaimana, sebuah pertanyaan sederhana dari gadis kecil yang tidak dikenalnya itu, berhasil membuat hati Luna tersentuh. Segera direntangkannya tangannya untuk memeluk gadis kecil itu. "Jadi nama kamu Cia?" "Iya. Adeline Bricia. Kelas 1 B." Mau tidak mau Luna tersenyum. Mungkin murid-murid di sini memang terbiasa untuk menyebutkan nama lengkap dan kelasnya meski yang ditanya hanya nama saja. "Wah, nama kita sama lho!" ujar Luna sambil membelai Bricia dalam pelukannya. Bricia segera menjauhkan kepalanya untuk menatap Luna. "Emang nama Miss siapa?" "Adeline Mezzaluna." "Wah, iya! Nama kita sama ya?" Bricia berseru senang. *** "Miss Luna, serius banget sih!" Luna menatap dengan sebal kepada guru pria yang dengan seenaknya sudah bertengger di meja kerjanya tanpa permisi. "Lagi sibuk Mr. Adnan, banyak koreksian!" balas Luna ketus. Sebenarnya Luna bukan kesal karena kesibukannya terganggu, dia tidak terlalu sibuk juga siang itu. Kekesalanya itu lebih karena oknum menyebalkan yang sedang mengganggunya. Adnan ini adalah guru pria berstatus single yang sibuk mendekati semua guru wanita yang belum menikah. "Saya bantuin mau nggak?" Adnan menawarkan diri sambil tangannya mengambil kertas ulangan di tumpukan teratas. Membacanya dan mengangguk-angguk dengan sok tahu. "Serius?" tanya Luna senang. Siapa yang tidak senang jika tumpukan koreksian yang menggunung itu bisa menyusut karena mendapat bantuan dari jin baik hati? Perlu dicatat, Luna tahun ini mengajar mata pelajaran Social dan Civics di kelas 5. Yang artinya setiap kali dirinya memberi tugas untuk satu mata pelajaran, maka jumlah kertas yang harus diperiksanya akan dikalikan 96, sesuai dengan jumlah siswa yang diajarnya. "Iya. Tapi nggak gratis." Senyum Adnan terpampang, terlalu lebar dan licik, membuat Luna bergidik. "Maksud?" tanya Luna memicingkan matanya, menatap Adnan penuh curiga. "Pulang sekolah kita jalan yuk?" ujar Adnan sambil mengambil tumpukan koreksian dari tangan Luna. "Uhuk!" Luna segera tersedak air liurnya sendiri. Demi segala dedemit, najis amit-amit gue jalan sama lo! Bujang lapuk gak tau diri! Sarap! maki Luna dalam hati. Segera ditariknya tumpukan koreksian yang tadi sudah berpindah ke tangan Adnan tanpa izin. "Nggak usah, makasih! Saya kerjain sendiri aja!" "Ah Miss Luna gitu. Sesama jomblo jangan sok jual mahal lah!" goda Adnan sambil mengedip genit. "Jangan disama-samain deh. Kalo saya sih jomblo bermartabat, kalo situ jomblo laknat!" Karena rasa jengkel yang tidak terkontrol, Luna lupa dirinya sedang berada di ruang guru, dan makhluk tidak tahu diri di sebelahnya ini adalah rekan kerjanya. Sehingga dia tanpa sadar sudah mengatai Dedemit di sebelahnya ini. "Ah, Miss Luna becandanya bisa aja." Adnan tergelak, sama sekali tidak tersinggung dengan ucapan Luna. "..." Luna menatap Dedemit tebal muka di sebelahnya dengan pandangan horor. Diem aja nggak enak diliat, ketawa tambah bikin merinding. Persis Dedemit! "Yah yang penting kan sama-sama jomblo. Sesama jomblo harus saling mendukung dong, siapa tau kita bisa melepas status kejombloan kita." Sudah berbulan-bulan ini Adnan memang berusaha mendekati dirinya. Bagi Adnan, semua makhluk berkromosom XX dan masih berstatus jomblo, harus didekati. "..." Setengah mati Luna menahan dirinya agar tidak menyembur Adnan lagi dengan makian pedasnya. Mending gue jomblo sampe mampus daripada gak jomblo tapi berakhir sama Celengan Semar kayak lo! Luna menoleh ke arah pintu masuk ruang guru ketika mendengar suara seseorang berlari dengan terburu-buru. Di lingkungan sekolah ini, murid-murid tidak diizinkan untuk berlarian di sepanjang koridor. Jadi kalau ada seseorang yang berlari di koridor, dan itu dilakukan oleh seorang guru, maka ada kejadian luar biasa di sini. "Di sini ada guru yang namanya Bricia?!" teriak Jenny. Luna menengok dan melihat guru pendamping yang dipasangkan dengan Hana, sesama guru baru dan juga sebaya dengannya. Beberapa guru lain ada yang berdiri mendekat dan segera menanggapi ketika melihat Jenny yang tampak panik. "Kenapa?" tanya Elsa, guru senior yang duduk paling dekat dengan pintu masuk. "Urgent, Miss! Ada anak kelas 1 yang mengunci diri di toilet. Sudah satu jam dia tidak mau keluar, sudah dibujuk tetap tidak mau. Terakhir dia teriak-teriak, mau ketemu sama guru yang namanya sama dengan dia." Jenny menjelaskan masih dengan terengah-engah. "Memang siapa namanya?" tanya Elsa lagi. "Bricia." Jenny berusaha mengatur napasnya yang masih setengah-setengah itu. "Kenapa bisa mengurung diri di kamar mandi?" "Belum tahu, Miss Elsa. Anaknya tidak mau cerita, cuma mau cerita sama guru yang namanya sama itu. Tapi Bricia ini memang anak yang cukup sulit. Dia kerap menangis dan menyendiri. "Memang ada guru yang namanya Bricia juga?" tanya Nancy ikut penasaran, juga guru senior yang masih satu tim dengan Elsa. "Saya dan Miss Hana juga tidak tahu, makanya saya ke sini untuk cari tahu." "Coba cari di daftar guru." Reggy, guru yang menangangi bagian kesiswaan dan terkenal sigap ini segera membuka data guru di laptopnya. Luna yang sedari tadi juga ikut mendengarkan, segera mendekat ketika menyadari bahwa yang sedang dibahas adalah seorang murid kelas 1 bernama Bricia. Luna mencolek bahu Jenny dan berbisik, "Jen, apa nama lengkap anak itu Adeline Bricia?" "He-eh. Bener, Lu. Kok lo tau?" balas Jenny sambil mengangguk heran. "Biar gue ke sana. Di toilet mana, Jen?" "Toilet perempuan lantai tiga." Luna segera berlari menuju tempat yang disebutkan Jenny. *** --- to be continue ---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD