1. Bukan Penitipan Anak!

1672 Words
"Miss Hana, kenapa belum pulang?" Luna heran melihat ternyata masih ada guru lain yang belum pulang. Dikiranya dialah yang terakhir pulang hari ini. "Eh, iya Miss Luna. Saya masih menunggu murid saya, belum dijemput oleh orang tuanya." Hana tersenyum dari tempat duduknya di tepi playground. Luna mengernyit sambil melirik jam tangannya. Pukul lima. "Wah, ini 'kan udah sore banget, Miss! Sekolah aja udah sepi begini." Luna mengedarkan pandangannya ke sekeliling sekolah yang memang sudah sepi. "Iya, Miss Luna. Tadi orang tuanya mengirim kabar pada saya, beliau agak terlambat. Miss Luna sendiri kenapa belum pulang?" Ini sih bukan agak telat kali, tapi telat banget! "Oh, saya sih tadi beresin lesson plan dulu buat besok." Luna terkekeh sambil menggaruk kepalanya. Dia malu dengan Hana yang rajin, yang selalu sudah menyelesaikan lesson plan untuk dua minggu mendatang. Sementara dirinya, selalu mepet seperti ini. "Miss Hana, emang gak dicariin sama baby-nya?" "Ya, dicari sih. Tapi mau bagaimana lagi? Saya tidak tega meninggalkan murid saya sendirian." Hana tersenyum sabar. "Mau sama saya aja, Miss?" Meski Luna bukan orang yang baik, tetapi dia masih punya rasa kasihan. Dia tidak tega melihat Hana terlambat pulang sampai sesore ini, padahal bayinya menunggu di rumah. Sementara dia, statusnya yang masih jomblo ini, jelas-jelas menyatakan kalau tidak ada yang menunggu kepulangannya. Apalagi selama semester kemarin, ketika Luna menjadi guru pendamping di kelas Hana, wanita itu memang sangat baik padanya. "Jangan, Miss Luna. Ini 'kan murid saya, masa jadi merepotkan Miss Luna." "Nggak apa-apa, Miss. Saya sih pulang telat juga nggak ada yang nyari, beda sama Miss Hana. Udah Miss Hana pulang aja." "Benar tidak apa-apa, Miss Luna?" tanya Hana memastikan dengan wajah lega. "Bener, Miss." Luna menarik tangan Hana untuk berdiri. "Mana anaknya, Miss?" "Itu, lagi main ayunan di playground." "Bricia?" tanya Luna ketika mengenali sosok kecil itu. "Iya. Miss Luna kenal?" Hana merasa heran, karena Bricia ini muridnya di kelas satu, sementara sekarang Luna mengajar di kelas lima. "Kenal, Miss." "Oh iya, yang waktu insiden di kamar mandi itu ya?" Hana tiba-tiba teringat. Luna terbahak jika mengingat pertemuan pertamanya dengan Bricia. *** Wajah Luna sudah ditekuk dengan sangat parah ketika akhirnya orang tua Bricia datang menjemput gadis kecil itu. Warrr byasah! Jam setengah tujuh baru jemput! Orang tua teladan banget ni orang! Jiwa Pahlawan Sengklek Luna segera terpancing. Dia berdiri, menarik Bricia yang sedang duduk terkantuk-kantuk di sebelahnya untuk segera berdiri. "Selamat malam!" sapa Juro begitu turun dari mobilnya. Luna terkejut demi melihat siapa orang tua dari anak ini. Kekesalannya yang memang sudah menumpuk semakin bertambah ketika mengenali sosok pria yang menjemput anak yang ditungguinya. "Pak, tolong ya lain kali kalau jemput anak itu pakai kira-kira dong! Sekolah ini 'kan bubar jam setengah empat, sekarang udah jam berapa coba?!" tanya Luna ketus.          "Jam setengah tujuh," jawab Juro enteng. Dia masih ingat siapa gadis judes yang berdiri di hadapannya ini. "Nah berarti Bapak itu telat tiga jam! Tiga jam, Pak!" Luna mengacungkan tiga jarinya dengan dramatis. Oh, lupakan segala tata kesopanan dan etika sebagai guru, karena pada dasarnya Luna memang berjiwa preman bukan berjiwa guru. "Sebentar, kayaknya Miss bukan gurunya Cia deh." Juro memicingkan matanya, dia sangat yakin Gadis Petasan ini bukan wali kelas Bricia. "Iya, emang bukan. Saya teman gurunya Cia," balas Luna ketus. "Lha kenapa juga Miss yang jadi nyolot? Saya 'kan gak minta Miss jagain Cia, jadi gak usah marah-marah sama saya dong!" balas Juro dengan menyebalkan. Pria itu sengaja melakukannya agar Luna semakin kesal padanya. "Pak, tahu nggak kalo gurunya Cia itu juga punya keluarga yang harus diurus di rumahnya?! Dia bukan pengasuhnya Cia, dan sekolah ini juga bukan tempat penitipan anak!" Luna mulai sangat kesal menghadapi ayah Cia yang menyebalkan ini. "Kalo Miss sendiri, nggak ada keluarga yang nunggu ya di rumah? Pantes aja mau gantiin nungguin Cia." ejek pria itu. "Tapi makasih banyak lho, Miss." Luna menatap sinis pada Juro, namun tidak menemukan kata-kata yang tepat untuk membalas ejekan yang dilontarkan padanya. "Pokoknya lain kali kalo jemput anak itu harus tepat waktu, Pak!" "Iya, Miss. Maaf deh. Tapi saya beneran ada kerjaan yang nggak bisa ditinggal hari ini." Juro mulai mengalah, sadar bahwa ini memang kesalahannya. "Apa pun alasannya, Pak. Kalau udah siap punya anak, ya berarti harus siap tanggung resikonya. Jangan jadiin kerjaan sebagai alasan. Kalau Bapak nggak bisa jemput, 'kan bisa suruh istri Bapak yang jemput." Makanya jangan kawin cepet-cepet. Masih muda gini anaknya udah gede aja! "Saya nggak punya istri, Miss." Juro menjawab santai. Kali ini Luna lebih terkejut lagi. Wah kacau nih! Pantes aja nggak bisa ngurus anak. Istri aja gak ada. Ckck! "Hah? Ya udah, siapa kek gitu. Atau sekalian masukin aja ke daycare." "Mana ada daycare yang buka sampai malam begini, Miss?" balas Juro dengan senyum lebar. Bener juga. "Nah itu tau! Daycare aja gak ada yang sampe malam, apalagi sekolah!" "Miss aja yang jagain Cia mau nggak?" "..." Kampret! *** "Eh, lama banget lo! Janji jam lima, sekarang baru nongol? Bulukan kita nungguin lo!" Domi yang tengah asik menonton di apartemen Luna sambil menjarah persediaan makanan sang pemilik, segera melempar bantal duduk ke arah sang pemilik yang tiba-tiba muncul dengan wajah kusut. "Berisik lo! Gue kena nungguin bocah yang nggak dijemput-jemput sama bokapnya." Luna membanting tubuhnya ke atas sofa. Dilihatnya kedua sahabatnya, Dominique yang sudah dengan sukarela memorakporandakan apartemennya dan Jillian yang duduk dengan manis di sofa yang sama dengannya. Luna memang memberi akses bebas bagi keduanya untuk berkunjung ke tempatnya, dan kedua sahabatnya ini terlalu senang menghabiskan waktunya di sana. Maklum saja, apartemen Luna memang nyaman, tidak seperti kamar kos mereka yang sempit. Jangan berpikir Luna hebat, gajinya sebagai guru jelas tidak cukup untuk menyewa sebuah apartemen. Tempat ini adalah milik tantenya, jadi Luna memakainya tanpa pungutan biaya. "Buset! Lo alih profesi jadi satpam?" Domi melontarkan pertanyaan asal khas dirinya. "Sial lo! Ini tuh gara-gara ada duda gak tau diri yang telat jemput anaknya. Jemput anak kaya jemput jin, malem-malem baru nongol!" sungut Luna kesal sambil berjalan ke arah kulkas untuk menenggak air dingin. "Lo juga ngapain mau-maunya nungguin tu bocah?" tanya Domi heran. "Kasian aja," balas Luna singkat. "W-O-W!" teriak Domi dengan gaya histeris. "Sejak kapan lo jadi peduli sama orang lain, Lu? Kayaknya sekarang lo udah menjelma jadi ibu guru baik hati nih?" "Hina aja terusss!" balas Luna sengit. "Peace ah! Gitu aja pundung!" Domi kembali melempar Luna dengan bantal duduk. "Lu, kenapa sih kamu bete terus sejak jadi guru? Bukannya ngajar di sekolah juga enak?" Jill yang sedari tadi sedang sibuk dengan ponselnya, mulai ikut terlibat dalam pembicaraan untuk menengahi adu mulut antara Luna dan Domi. "Coba dulu rasain jadi gue. Sehari aja, Jill!" Luna memandang sebal pada Jill. "Apa susahnya sih jadi guru, Lu? Lo kan tinggal ngoceh doang di depan anak-anak," ujar Domi asal. "Songong banget lo, Domo! Cobain sana ngelamar jadi guru!" tantang Luna. "Ogah! Udah enak-enak gue jadi host, ngapain juga gue nyiksa diri ikutin jejak lo yang sesat!" balas Domi sambil mencebik. "Nah itu! Ini tuh bukan gue banget. Ngapain gue capek-capek kuliah broadcast kalo ujung-ujungnya gue cuma cuap-cuap di depan anak-anak, yang kalo gue kasih jokes simple aja mereka kadang nggak ngerti?!" seru Luna frustasi. "Ya, lo juga ngawur! Ngapain lo bikin jokes receh di depan anak piyik? Mana mereka ngerti! Gue sih jujur aja kasian sama murid-murid lo. Bisa pada bego semua di ajar sama lo!" cecar Domi tanpa kasihan. "Monyong lo, Domo! Lo sih enak, nasib lo bagus banget. Nggak pake usaha, tau-tau ditawarin jadi host di acara si Jovi. Lo pake pelet apa sih?" sindir Luna sebal. "Eh, Asem! Gue gak level main pelet. Emang rejeki gue aja ini sih!" ujar Domi sombong. "Nah kalo lo, Jill! Lo 'kan gampang banget tuh lolos seleksi news anchor di Forty Media, nyogok?" Karena sedang kesal, Luna ingin melampiaskannya dengan mengkambinghitamkan siapa saja yang berada dekat dengannya. "Jawaban aku sih idem aja sama Domi. Capek ngomong sama kamu kalo lagi tegangan tinggi kayak gini. Emang kenapa sih, segitu sengsaranya kamu kerja di sana? Kalo gak betah, kenapa gak resign aja?" Jill berujar santai. Jujur dia kasihan pada Luna. Mereka bertiga dipertemukan oleh cita-cita untuk menguasai dunia broadcast. Ketiganya sama-sama mengambil jurusan Ilmu Komunikasi saat kuliah, yang membuat keakraban mereka terjalin sampai hari ini. Namun nasib Luna sungguh sial, bisa-bisanya dia dipaksa untuk bekerja sebagai guru di sekolah oleh tante dan ibunya. Sementara dirinya dan Domi berhasil mendapat pekerjaan dalam dunia yang mereka incar. "Nggak bisa, Jill! Kalo bisa juga gue udah resign dari bulan pertama gue kerja!" Tujuh bulan yang lalu, bertepatan dengan hari wisuda Luna, Rissa datang dengan membawa mimpi buruk baginya. Dia yang merasa terjepit, mau tidak mau harus menerima permintaan Rissa meski hatinya sangat tidak rela. "Heran gue ngapain Aunty Rissa nyomot lo jadi guru sih? Jelas-jelas lo sesat begini modelnya!" ejek Domi. "Enak aja! Gini-gini gue tuh terkenal baik di keluarga. Lagian track record gue selama ngajar di NP bagus tau!" "Prett! Kelakuan minus kayak lo bagian mananya yang bagus?!" "Nah kalo track record kamu bagus, kenapa juga kamu masih nggak betah? Yah, selain karena ini nggak sesuai sama idealisme kamu itu." Jill memotong perdebatan tidak penting di antara Luna dan Domi. Di antara mereka bertiga, Jill adalah gadis yang kadar kewarasannya paling baik. Sementara Luna dan Domi, isi kepala keduanya sama-sama berantakan. "Lo 'kan tau sendiri. Gue tuh paling sebel sama anak kecil, karena adek-adek gue yang jumlahnya bisa bikin tim basket plus ekstra cadangan itu, semua tingkat kenakalannya di atas rata-rata. Gue sengaja kuliah jauh dari mereka, supaya nggak dibikin pusing liat tingkah mereka yang absurd. Eh, begitu lulus gue malah dijeblosin ke sini. Kurang sial gimana lagi coba idup gue?" Kata siapa jadi guru itu enak? Kata siapa juga jadi guru itu gampang? Yang berani bilang gampang, boleh menghadap gadis ini dan siap-siap menerima amukan berdaya ledak tinggi dari seorang Adeline Mezzaluna. Karena menurut Luna, jadi guru itu susahnya kebangetan. Masih lebih mudah menghafalkan tabel Sistem Periodik Unsur dibandingkan dengan menenangkan dua puluh empat murid di dalam kelas. Padahal Luna itu waktu SMA masuk jurusan IPS, yang artinya tidak ada pelajaran IPA yang bersemayam di kepalanya. *** --- to be continue ---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD