Lingkaran Bunga Mawar

1601 Words
Pagi-pagi sekali Werda membangunkanku, beliau memintaku untuk ke pasar bersama para pekerja wanita lainnya. ya kami harus mendistribusikan panen harian kami kepada para tekngkulak. para tengkulak sudah datang dengan membawa gerobak bahkan truk d.engan ukuran besar. para pekerja laki-laki sudah siap mengangkat berton-ton hasil alam. sedangkan kami pekerja wanita sibuk untuk memilih dan memilah hasil alam yang cukup baik di konsumsi. setelah melakukan kegiatan itu, Werda menyuruh para pekerja dapur untuk ke dapur. Werda menginstruksikan pekerja dapur untuk memasak gandum, sop ayam, ayam panggang dan lain sebagainya. aku memotong banyak kentang dengan menggunakan pisau yang runcing. Pekerjaan ini membuat aku mati rasa. Bagaimana tidak aku mengangkat bertonton gandum dari truk, berton ton kopi gula dan juga teh. Membawanya ke dapur yang harus melewati 20 anak tangga. aku membantu memasak makanan, mengaduk sup dan memagang ayam yang terlalu banyak. Saat sore datang dan lelah menerpaku dengan amat sangat, aku harus tetap berdiri untuk mendapatkan upahku.  para pekerja langsung mendapat upah mereka. "namamu siapa?" tanya pemimpin buruh itu. "Vanessa" jawabku polos. "kau baru hari ini bekerja. kau baru bisa mendapatkan upahmu besok." jawab pemimpin buruh itu. "apa?? tidak-tidak. mana bisa begitu?" tanyaku tidak terima. pengawal buruh itu segera menepisku pergi. yaa, aku telah bekerja seharian dengan sia-sia. dalam hati aku bertanya. bagaimana pemilik lahan ini bisa hidup dengan baik apabila para buruh kasarnya diperlakukan tidak manusiawi. Aku menunggu hingga petang hingga Sam pulang tentu saja. Dan memang tidak pulang kerumah karena dia harus membersihkan kandang. Werda memanggilku yang lagi terlentang didapur. aku baru saja merebahkan badanku di atas tempat pemotongan sayuran, mungkin aku hampir tenggelam dianatara sampah sampah sayuran itu apabila bayangan Werda tidak segera hadir untuk memanggilku. "kau disini rupanya aku mencarimu kemana-mana tadi." seru Werda hanya saja suaranya tidak segarang siang tadi. mungkin suaranya melembut karena ia juga merasakan kelelahan yang sama denganku.  "Ada apa Werda?" tanyaku segera bangkit terududk dari rebahanku. "Tuan Memanggilmu." beritahunya membantuku bangkit dari tumpukan sampah sayuran itu. Werda Mengajakku untuk masuk ke ruang makan. ruang makan yang sangat mewah juga besar. seorang lelaki duduk membelkangiku. aku hanya melihat beberapa perempuan berpakaian seronok menatapku dengan tatapan tajam.  Ternyata benar lelaki itu memiliki banyak gundik. Ada 8 orang gundik yang dimilikinya. Aku biaa melihatnya dari samar samar dari tangga dapur. Werda menyuruhku untuk masuk. Ketika menyadari siapa gerangan lelaki itu. Dan siapa gerangan wanita disampingnya. "Paman Zyan. Ibu" panggilku. Jantungku berdegup hebat. Mereka yang menunduk makan, menatapku dengan tatapan begitu tercengang. ya bagaiaman mungkin mereka ada disana, ya meskipun sebenarnya aku sudah tahu bahwa ladang dan seluruh isinya ini adlaah milik paman Zyan. Ibu sudah nampak tua dari terakhir kita bertemu. Caranya berpakaianpun masih seperti l***e, bersama wanita wanita lainnya. Sedangkan paman Zyan dia tetap seperti dahulu. Tetap dengan style rambut klimisnya. aku menatap lelaki itu, lelaki yang makin nampak lebih bersahaja dari hari terakhir aku melihatnya. bagaimana mungkin ia lebih nampak memepesona malam ini. "Vanessa" panggil Ibu. Dia bangkit dan segera memelukku. Aku menepis pelukannya. Entah mengapa aku merasakan amarah dalam jiwaku. Tidak pernah aku merasa semarah ini, bahkan ketika ibu memilih untuk tinggal bersama paman Zyan. "Aku tidak tahu anda" ujarku kasar. Werda nampak bingung. Dia memutus keheningan diantara kami. "Namanya Vanessa dia dari Vienna" kenalnya. Paman Zyan segera bangkit dan memelukku hangat. aku bisa menghirup aroma tubuhnya yang maskulin dan entah mengapa aromanya sedikit memabukkan bagiku. aromanya seperti candu yang membuatku memiliki sebuah hasrat yang tidak bisa kudifiniskan atau mungkin lebih tepatnya sebuah hasrta yang aneh. aroma cendana di musim semi, ya semerbak wangi itu membuatku terkulai lemas. meggetarkan hatiku juga menggetarkan jantungku. Dup Dup Dup Dup Hey, ada apa denganku ini. Mengapa jantungku berdegup seperti ini. Aroma tubuhnya, mengapa aku bergetar ketika menghirupnya. aroma chocolate mint dari tubuhnya seperti sebuah ganja yang membuatku mabuk kepayang. Aku bahkan tak bisa melepas pelukannya. "Kau sudah besar anakku?" Tanyanya begitu hangat. Aku menatap kedua mata Violetnya. Mengapa aku menjadi menggigil seperti ini. "Dia adalah pela..." ujar Werda. "Dia adalah anakku. Dia anak sahabatku, tapi telah menjadi anakku. Paman tahu kau pasti akan datang. Iyakan Vanessa" ujar paman Zyan antusias. Mengapa aku tak bisa menjawab pertanyaannya. Mengapa aku hanya bisa diam. Mengagumi pesonanya. Ada apa denganku. Mengapa aku berbeda dengan 2 tahun yang lalu dimana disaat itu hatiku masih terlalu keras juga kekanankan.  "Aku... Aku..." ujarku terbata. "Kau sudah makan anakku?" Tanya Ibu. Lehernya mendongak entah apa yang sedang dipamerkanny. Dia menggeretku untuk duduk di kursinya. Tepat disebelahku adalah paman Zyan. Dia mengambilkan piring dan makanan untukku. "Jadi kau tinggal di nomor 49. Bukan 32 sampai 48" ujarku. Paman zyan tersenyum. Dan senyumannya manis, dia memiliki gigi yang sangat rata dan teratur, kala ia tersenyum memperlihatkan gigi taring yang membuatnya nampak tampan. oh ya mungkin juga karena ada gigi yang bertumpuk makanya ia nampak cantik. Dan memiliki lesung pipi, dan jujur saja itu membuatnya tampan. "Itu alamat lamaku" ujarnya. "Makanlah" ujarnya menyuruh. Paman Zyan mengode ibu yang berdiri duduk dupangkuannya. Sangat menjijikkan, berulang kali paman membuat Kiss Mark di p******a ibu yang menyundul. Aku segera bangkit. Awalnya aku pergi dan aku lupa membawa piringku. Membuatku kembali mengambil piringku dan makan di luar. Aku makan didepan pintu. Terdengar suara percakapan ibu dan paman. "Berikan dia makanan lebih banyak" ujar paman Zyan. "Ambil piringku" ujarnya lagi. Ibu membuka pintu. Melihatku makan didepan pintu. Dia duduk disebelahku, menaruh makanan satu persatu dipiringku, ketika makanan dipiringku akan habis.  Setelah semua habis aku memeluk ibuku dengan erat. Lalu menangis dipelukannya. Aku tak bisa berbohong aku merindukannya, sangat merindukannya. Rasa rinduku semakin tak tertandingi ketika ibu membalas pelukanku. Sudah lama kami tidak berpelukan. Sam datang kepadaku. Dia mengajak pulang. "Dia sam bu" kenalku pada ibu. "Hallo Sam" ibu menjabat tangannya. "Mari kukenalkan pada pamanku" ujarku. Aku membuka pintu dan betapa terkejutnya aku ketika melihat seorang wanita tengah berdiri didepan paman Zyan yang duduk. Wanita itu menaikkan rokya, membuat paman Zyan bisa melihat b****g bahkan belahan kewanitaannya. Aku segera menutup pintu. Aku menatap ibuku iba. Wajah ibu terlihat datar, aku kenal betul bagaimana ibuku. Dia adalah orang yang paling ceria dan tidak pernah memiliki beban hidup. Aku menepuk pundak ibu. Ibu tersenyum dan mengecup tanganku. "Aku akan pulang. Dan kembali besok" ujarku pada ibu. "Jangan pulang nak" pinta ibu bangkit dan menggengam kedua tanganku. "Ibu tak pernah menghargai keberadaanmu, tapi ibu baru menyadari kehadiranmu adalah cahaya untuk ibu. Jangan tinggalkan ibu" pinta ibu dengan kilatan mata yang mengartikan sesuatu. ya, sesuatu yang tidak aku pahami apa maknanya. Ada apa dengan ibu. Dia bukan seorang wanita yang mengeluh. Hidupnya adalah kebahagiaan. Mengapa ibu menjadi seperti ini. Bukankah ini yanh ibu mau?. Memiliki harta melimpah, tinggal bersama lelaki bangsawan, jauh dariku yang merepotkan. Bukankah seharusnya ibu merasa bahagia?. "Anakku" paman Zyan keluar dari pintu. Ibu menyeka air matanya. Dan langsung tertunduk. "Hey paman" ujarku. "Ada apa?" Tanyanya. "Mmmh. Aku mau pulang" ujarku. "Ke Vienna? Kau punya uang untuk kembali?" Tanya paman menganbil kantung yang menggantung di jasnya. "Tidak aku akan menetap di Praha. Oh ya aku bekerja didapurmu" ujarku dengan tawa. Mencoba melupakan apa yang kulihat tadi. "Oh ya Paman aku sangat bahagia kau memanggilku dengan sebutan anakku" Paman tersenyum memasukkan lagi kantong kedalam jasnya. "Kau telah menjadi anakku Vannesa" ujar Paman mengelus pipiku. Darahku terasa panas. Aku yakin pipiku merah sekarang, napasku tak karuan. Mengapa Paman Zyan memiliki mata yang hangat. "Oh ya paman. Kenalkan ini Sam" kenalku pada Sam yang menunduk. "Samuel Pedrosa sir" kenal Sam pada pamanku. "Dia temanku dari Vienna yang membawaku ke Praha" ujarku semangat. "Dia pacarmu?" Tanya Paman menggoda. Aku tersenyum melirik Sam nakal. Jujur saja aku memang memiliki sedikit rasa dengan Sam. Dia hangat, bertanggung jawab, wajahnya juga tidak jelek jelek banget. bisa dikatakan wajah Sam sangat Innocent, matanya sendu dan dia memiliki kulit yang jantan. dia ideal untuk dijadikan suami masa depan. apalagi Sam tidak menghisap cerutu, dia tidak mengenal wanita-wanita jalang, yaa walaupun dia tidak rajin-rajin amat ke gereja. tapi Sam memiliki karakter yang cukup baik setidaknya.  Aku segera menggandeng tangannya. "Kita akan pacaran paman" Sam melirikku seolah bersiap untuk membunuhku. Paman tertawa begitu juga dengan ibu. "Mengapa kalian tidak tinggal disini?" Tawar Paman. "Tidak usah Sir, kami telah menyewa rumah di pinggiran kota." Tolak Sam sopan. "hey, Anak muda. Aku tidak suka jika ada lelaki membawa anak gadisku" ujar Paman sekali dengus. Nadanya sangat dalam dan penuh penekanan. Sam mengangguk "Vanessa akan stay disini" Sam tersenyum melepaskan tanganku. "kau tidak bisa melakukan itu Sam, maksudku. kita datang bersama-sama. dan yaa kita perlu menjalani hidup bersama-sama juga." tolakku kepada Sam dengan penuh ketidak setujuan. yaa, enak saja dia akan meninggalkan aku di sekitar kehidupan ibuku yang menyebalkan. yaa, aku berusaha hidup tenang tanpa desahan-desahan nakal ataupun raungan-raungan genit yang mengganggu kehidupanku. "Itu bagus" sahut paman. aku hanya bisa meliriknya, pertanda aku menolak. "Baiklah. Aku harus pulang. Besok aku akan kembali Vannessa" pamit Sam membelai rambutku. Dan memang  seperti itulah sam, dia selalu memposisikan diri sebagai kakak laki lakiku. Aku tidak terima ia meninggalkan aku, maksudku sangat tidak adil untuknya menganggung biaya rumah yang kami pilih bersama untuk di bayarnya sendiri. aku  mengejar Sam. "Aku akan kembali besok Vannesa" ucap Sam. "Tidak tidak. Aku tidak ingin kehilangan kau lagi. Kita datang ke praha bersama, jika kau pergi aku akan selalu ikut bersamamu" ujarku. Sam tersenyum. "Ayolah Vanessa, kau sudah bertemu dengan keluargamu". "Kau adalah keluargaku. Aku menyayangimu" ujarku. "Lagipula Paman Zyan sangat baik hati dia memberikan tempat tinggal kepada kita" bujukku. "Dia kelihatan  baik. Tapi nampaknya dia agak Psikopat." bisiknya menarap Paman Zyan yang masih berdiri di ambang pagar. Dia tersenyum kearah kami, hanya sanya senyuman itu nampak misterius dibawah tamaram lampu yang redup. Aku menoleh kearah Sam lagi. dan menyetujui persepsinya tentang paman Zyan. "jaga dirimu Vanessa, aku yakin kau tidak akan diam ketika di serang." ujar Sam. Aku mengangguk kepadanya. Sam memegang pipiku, lalu mengusap kepalaku. "jaga dirimu." ucapnya sebelum ia berlalu. dan ya, aku melihat Sam berjalan menjauh. aku melihatnya berjalan di bawah kegelapan dan kesunyian malam. dan entah kenapa ada sedikit kegundahan ketika ia berjalan makin menjauh. aku menatap bulan yang bersinar malam ini, ada beberapa bintang yang tersebar bagai perak di angkasa. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD