Perjalanan Panjang

1601 Words
"Ibuku di Praha" ujarku. "Ha? Kau bilang ibumu sudah meninggal?" Ujar San. Lelaki berambut pirang brekele sebahu. Matanya choklat keemasan. "Itu hanya kamuflase dan sedikit kebohongan" jawabku enteng. "Aku pun tak tahu dia masih hidup atau sudah mati". Aku menarik napas panjang. Kereta berjalan semalaman. Aku tertidur dipundak sam. dan Sam membalas pelukanku,  Disepertiga malam. Aku terbangun dari tidurku, kubuka buku harian ayah yang kulanjutkan dengan tulisan tulisan tanganku. Disana tertera alamat rumah paman zyan. Aku menutup buku itu lagi. Mengurungkan niat untuk menrmui ibu. Toh ibu sudah bahagia disana, dia pasti akan terbebani jika aku mengganggu kehidupannya. Mengingat bagaiamana hubunganku yang tidak begitu harmonis dengan paman zyan saat terakhir kita bertemu. tapi tak bisa kubohonig bahwa sedikit banyak aku merindukan ibu. ya aku tahu ini terdengar seperti kebohongan, karena ada kalanya aku berdoa agar ibuku cepat mati karena dia terlalu menyusahkan hidupku. adakalanya aku benar-benar membenci p*****r itu. hanya saja aku merindukan kehangatannya, merindukan pemikirannya yang mengatakan bahwa hidup tidak seharunsya dijalani dengan banyak berpikir. aku merindukan canda tawa kami saat aku memperbaiki pakaiannya, atau membantunya menggunakan gincu. aku benar-benar merindukannya. dan ini sedikit menyiksaku. Malam itu memang hujan mengguyur rintik rintik. Embun menghiasi jendela kaca, dan dingin mengunci seluruh badan. dalam pelukan Sam mendadak Aku merindukan dekapan seorang ayahidur lebih lelap. . Sam memelukku lebih erat, dan membuatku tertidur lebih lelap di pundak Sam. Tak lama aku tertidur kembali di pundak sababatku Sam. "Vannessa bangun" bangun sam aku masih menutup badanku dengan selumut tebal. Aku membuka selimut. Melihat orang orang yang mengantri untuk keluar. Koperku sudah siap untuk diajak keluar. Aku mengangguk. Lalu lekas bangun. Stasiun praha, dijam 9. Sangat ramai dengan orang orang yang berlalu lalang. Para bangsawan terhormat dengan sepuluh atau dua puluh pelayannya menenpati dua gerbong. Rakyat jelata yang kumuh menduduki satu gerbong saja. Pemandangan yang agak absurd memang. di stasiun yang nampak masih dalam pembangunan, aku melihat para saudagar saling menyapa sedang rakyat jelata tidak saling kenal. mungkin orang-orang terhormat itu memiliki lingkaran pertemanan yang eksklusive, atau memang agaknya dunia memang tidak berpihak kepada rakyat jelata. Aku tidak pernah ke praha, dan meskipun aku tahu praha itu hanya bersumber dari cerita harian ayahku yang memang lahir dan besar di praha. yang kutahu tentang stasiun ini adalah Jam dengan ukuran begitu besar  kurasa jam besar itu baru dipasang. Terlihat wallpaper jamnya masih putih bersih dan jarumnya belum berkarat. "Kupikir kitaa harus mencari tempat tinggal" ujar Sam. Aku mengangguk setuju. Aku dan Sam segera melesat ke jalanan Praha. Jalanan yang dipenuhi oleh orang-orang yang menyibukkan diri berlenggak lenggok di jalanan, beberapa ada yang terduduk menunggu kedatangan orang, beberapa diantaranya hanya termenung entah tidak tahu apa yang sedang dikerjakannya. meskipun demikian Bangunan modern menghiasi kota ini, tidak kalah modern memang dari Vienna. Bedanya wanita wanita praha lebih banyak menutup dirinya dengan gaun gaun indah, mungkin karena banyaknya katredal disini. Berbeda dengan Vienna yang lebih menyukai gaun berbelah d**a rendah.  orang-orang prague lebih sopan dan logat mereka begitu dalam, bahasa jerman yang terdengar lebih roma. entahlah aku juga tidak bisa menjelaskan. bagaimanapun Prague adalah tempat baru bagiku. dan tentu saja merupakan pengalaman baru untukku. banyak tulsan ayah yang mendiskripesikan ruang lingkup praha. dan yeah, sama seperti ayah aku-pun terhipnotis dengan suasana kota ini. kota yang kecil yang terlalu kumengasyikkan buatku. "Aku pikir disini murah" ujar Sam. "30 emas per bulan". Aku ikut saja. Diruangan itu tidak ada kasur, tapi Sam mengakalinya dengan menaruh kain untuk tidur. Lalu dapur kecil. Dan kamar mandi kotor. Tidak ada yang istimewa. Hari pertama datang di Praha. Kami segera mencari pekerjaan. Kalau aku tidak bingung, dari Vienna aku sudah membawa perlengkapan semir sepatu. Sedangkan Sam dia berpikir untuk mencari pekerjaan di ladang, dia memiliki kemampuan yang bagus untuk berladang. Dia mungkin akan mencari tuan tanah hari ini. Aku segera turun ke jalanan yang ramai dengan kerumunan. ya, bnayk orang Praha yang menghargai suaha-usaha kecil. apabila dibandingkan mungkin populasi dermawan di praha lebih banyak daripada Vienna. dan mereka lebih ramah daripada oragn Vienna yang suka sekali mengejar hal-hal duniawi. sedikit demi sedikit aku   Mengumpulkan uang uang receh dari menyemir sepatu. beberapa orang memberikan uang lebih untukku. beberapa orang memuji tapi ada beberapa orang menyebalkan yang menendang gaunku dengan sepatu mereka yang baru saja ku semir.  Hingga tak terasa malam telah tiba. Aku pulang, kerumah. Disana Sam belum pulang. Aku tidak mau menunggunya, aku memilih tidur. Karena badanku memang sudah sakit semua. Pagi datang menyapa. Masih belum tampak keberadaan Sam. Aku mulai panik, semalaman dia tidak pulang. Kemana dia? Aku ingin mencarinya, baiklah aku akan mencarinya sambil menyemir sepatu dijalan. Perutku sudah kerucukan, sedari kemarin aku belum makan. dan ya, apabila aku menggunakan uang yang kuhasilkan kemari aku akan kekurangan uang untuk mebayar sewa bulanan kediaman yang kami tempati.  Aku tidak yakin hari apa ini.  Namun disebuah katredal yang tak jauh dari rumahku ada banyak orang berkerumun, ya mungkin saja mereka baru saja melaksanakan kebaktian atau mungkin ada sebuah acara pernikahan atau juga kematian. hanya saja yang mengantri buka orang orang bergaun lebar ataupun tuan-tuan pertopi tinggi. melainkan orang-orang gelandangan yang menggunakan pakaian kumuh dan juga bau. aku penasaran dan mencoba untuk mendekat.  Aku bertanya pada seseorang di barisan belakang. "Ada apa ini?" Tanyaku. "Tuan tanah pemilik hampir separuh tanah di Praha memberikan jatah makanan" ujarnya. Makanan Makanan Tanpa berpikir panjang aku segera ikut mengantri. satu demi satu orang mengambil makanan mereka. disana ada dua orang yang melayani mereka mengambil skup demi skup makanan. kelihatannya mereka adalah biarawati dan juga pengurus gereja.  Lama menunggu hingga masuk tengah hari. Akhirnya giliranku mendapatkan makanan. Itu roti dan entahlah selai sup berwarna hijau yang berbau lezat. Membuat perutku yang sudah berteriak teriak semakin berteriak. "Bolehkah aku meminta satu lagi?" Tanyaku kepada seorang penjaga. "Satu orang satu nona" ujarnya. "Kumohon satu lagi saja. Sahabatku belum makan" pintaku. "Tidak bisa nona" aku menarik napas panjang. Tanganku segera meraih roti yang lain. Lalu berlari menerjang kerumunan. Kotak semir sepatuku terhempas. Dibelakang ada banyak yang mengejar. Aku tidak menggubris, segera aku menlanjutkan lariku. Lalu bersembunyi didalam rumah. Jantungku berdegup kencang bukan main. Segera aku memakan roti berukuran dua kepal tanganku dengan rakus. Aku lapar benar benar lapar. ya perutku benar-benar lapar, dan aku merasa tidak berguna saat ini. aku datang ke tempat asing dan menjadi seorang diri. sekeras-kerasnya hidup di VIenna kurasa lebih hangat dan lebih baik daripada Praha.entah mengapa aku menyesali keputusanku datang ke Praha degnan menjadi seorang gelandangan seperti ini.  Sekarang aku tidak tahu lagi harus melakukan apa. Tempatku mencari uang sudah hilang. Ada uang hasil kemarin. Tapi tentu saja itu untuk membayar sewa. Dimana kau Sam. Aku menangis. Aku merasa sendiri, maksudku selama 2 tahun ini aku memang sendiri. Tanpa ayah dan ibu. Bahkan lebih jauh dari itu, aku selalu merasa sendiri setelah kepergian ayah. Tapi dinegeri yang tidak kuketahui, dimana orang orangnya pun tak ada yang kuketahui. Aku bisa apa? Aku seperti orang buta yang meraba jalan tanpa tongkat. Seperti orang tuli yang berusaha mendengar suara angin. Seperti orang bisu yang berusaha berbicara dengan bonekanya. Disaat seperti ini, hanya satu yang kuingat. Ayah. Apa yang harus ku lakukan ayah? Aku mengingat buku ayah. Ah, disana ada alamat rumah paman Zyan. Aku segera meraih buku itu. Wonder Avenue blok F no 32-48. Aku segera berganti pakaian lalu melesat keluar. Kulihat memang tidak ada lagi orang yang mengejarku. Mungkin mereka tidak akan mengenalku karena aku telah berganti pakaian dan mencuci wajah. AKu menyusuri jalanan mencari dimana rumah itu beralamat. lama aku menyusuri jalanan seperti orang dungu,  akhirnya Aku menemukan Wonder Avenue. Sebuah ladang luas dengan berhektar hektar tanaman pangan. Seperti sebuah lumbung padi nasional. Segera aku mencari nomor itu. No 32 adalah awal dari perkebunan itu. Lalu dimana rumah Paman Zyan. "Vanessa" panggil seseorang. Suara yang sangat familiar ditelingaku. Suara Sam yang menggiring domba domba. "Sam" mataku terbelalak dan aku segera memeluknya. "Kau dari mana saja?" Tanyaku pada badan yang sangat kumuh itu. "Disana ada bukit padang rumput. Selama 2 hari aku disana. Aku baru saja pulang. Dan ini" ujar Sam memberikanku sebuah kantong "400koin emas. Hasil kerjaku 2 hari. Kita akan hidup lebih baik di Praha" ujar Sam. Aku tersenyum gembira dan memeluk Sam. "Bagaimana kau bisa tahu aku disini?" Tanya Sam. Aku diam. "Hanya feeling"jawabku cepat. "Ayo bantu aku menggiring domba domba ini. Siapa tahu bosku memiliki pekerjaan untukmu" ujar Sam. Aku mengangguk. Menyimpan buku harian ayah di kantongku dan membantu Sam menggiring domba ke kandangny. "Bos. Aku punya teman" ujar Sam kepada penjaga kandang. Penjaga kandang itu menatapku. "Meski dia perempuan. Dia bisa melakukan tugas laki laki." Kenal Sam. "Kau tau nak. Pekerjaan kandang adalah yang paling berat. Aku tidak menerima Staff wanita" ujarnya angkuh. "Tapi aku memiliki pekerjaan untukmu. Kupikir Werda membutuhkan bantuan". "Siapa dia?" Tanya Sam. "Kepala dapur" ujar lelaki itu menuntun aku dan Dan ke arah dapur. "Kau tahu Vanessa pemilik seluruh ladang ini?" Tanya Sam berbisik ketika lelaki tua itu mengantar kami ke dapur. Aku menggeleng. "Dia adalah lelaki keren dan elegan. Dia memiliki uang banyak dan memiliki banyak gundik. Jika aku kaya aku akan menjadi seperti dirinya" ujar Sam. "haha, kau tidak bisa seperti itu." ujarku kepadanya. "mengapa bisa begitu?" tanya Sam tidak terima. "yaa karena kau tidak memiliki potongan lelaki yang tidak baik-baik saja. kau tau kau nampak seperti orang biak dan mungkin juga dermawan." pujiku kepada Sam. "oh yaa." Sam melirikku dengan tatapan penuh sindiran.  "Ini Werda" kenal lelaki itu pada wanita separuh gemuk yang memasang napkin di dadanya. "Kau sudah menemukan seseorang untukku?" Tanya Werda aku memberi hormat. "Orang Vienna. Dia sepertinya kuat membantumu" ujar Werda. Aku mengangguk. "Baiklah aku akan mempertemukanmu dengan tuan besar saat makan malam. Kau mulai hari ini bisa membantuku" ujar Werda. dia segera mengajakku untuk masuk kedalaam dapur dan nampak banyak pekerja perempuan memasak. Werda memberikan aku baju baru, baju dengan bahan linen yang sangat tebal dan tidak begitu nyaman untuk di gunakanan. celemek yang nampak kotor dan penutup rambut yang sudah lusuh.  Ini seperti mimpi. Dengan mudah aku mendapatkan pekerjaan. Aku berlonjak lonjak kegirangan. Apakah ini kebetulan? Atau ini adalah jalan takdir?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD