Bab 1

2077 Words
“Baik-baik di rumah Nenekmu, jangan merepotkan dia, Mama enggak mau denger kalau kamu sampai buat ulah, kamu taukan apa yang akan terjadi?” ucap Winda. Winda sudah lelah dengan semua sikap semena-mena putri semata wayangnya Najma, karena sikap itu nilai sekolah yang biasanya selalu bagus mendadak hancur.    Sekarang Winda hanya bisa berharap jika nilai ujian nasional Najma tidak hancur karena akan sangat merugikan saat Najma ingin melanjutkan sekolahnya ke SMP favorit. Jika nilai hancur, Winda tidak punya pilihan lain selain menggunakan uang untuk membantu Najma masuk ke sekolah lanjutannya itu. Yah, itu semua juga tergantung sikap Najma di rumah neneknya juga.   Najma gadis remaja itu melirik mamanya dengan malas, dari tatapan matanya saja terlihat dia tidak suka dan memendam kebencian. Bukan tanpa alasan Najma tidak suka mamanya, itu semua karena mamanya mengancam akan memasukkan Najma ke dalam pesantren.   Semua rencana yang sudah Najma susun jauh-jauh hari seketika hancur. Kesal, sedih dan ingin marah, tapi Najma tidak bisa melakukan apa-apa selain pasrah karena jika tidak dia harus masuk ke pesantren. Jadi, daripada masuk pesantren yang memiliki aturan yang super duper ketat, lebih baik Najma tinggal di rumah neneknya selama masa liburan.   Sebuah tangan besar bertengger di atas kepala Najma dan mengusap kepala itu dengan sayang. “Kamu masih bisa menelpon Papa karena Nenekmukan punya ponsel.”   Apa papanya bercanda menyuruhnya memakai ponsel neneknya? Rumah neneknya saja terlihat tua, bagaimana dengan ponsel neneknya yang pasti sama tuanya.   “Aku mau pakai ponselku sendiri, Pa,” rengek Najma. Jika saja Najma masih bisa memegang ponsel dan leptopnya, maka Najma tak masalah jika harus tinggal di rumah neneknya. Sayangnya keinginan Najma tidak terpenuhi karena mamanya dengan sadis mengambil dua barang itu.   “Bu, jangan sampai ponsel Ibu diambil alih Najma, jangan memanjakannya, dia sudah kelewat batas.” Winda memperingati ibunya. Jika Winda tidak melakukan ini bisa saja ibunya malah memanjakan Najma di sini.   “Ibu tahu apa yang harus Ibu lakukan. Najma juga akan baik-baik saja di sini, jadi kalian enggak perlu khawatir juga.”   “Ya sudah kami pulang dulu Bu.” Anton dan Winda orangtua Najma berpamitan pada Rida yang merupakan ibu dari Winda.   “Jangan lupa salam sama orangtuamu, Najma,” perintah Rida.   Najma memandangi wajah kedua orangtuanya tanpa berkedip hingga dia tiba-tiba berlari masuk ke dalam rumah neneknya. Dia tidak ingin melakukan perpisahan atau sejenisnya pada kedua orangtuanya. Mereka bisa-bisanya hanya mengantar dan langsung pulang begitu saja. Dari sini saja Najma sadar jika kedua orangtuanya saja malas dengan desa ini apalagi dia bukan?   Rasa kesal yang menumpuk membuat Najma tanpa ragu membanting pintu kamar dimasukinya secara asal. Napas Najma memburu, tangannya terkepal dengan kuat dan matanya tampak memerah. Mata Najma memandangi sekelilingnya dan barulah Najma sadar jika dia masuk ke dalam kamar neneknya.   Najma menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Sekarang yang Najma butuhkan adalah waktu untuk menenangkan dirinya. Najma sadar jika suka tidak suka dia tetap akan berada di sini. Hanya saja yang Najma bingungkan sekarang adalah cara dirinya untuk melalui semua penderitaan di desa ini. Apakah dia mampu bertahan?   “Najma, orangtuamu sudah pergi.” Suara dengan intonasi pelan dan lembut itu terdengar membuat Najma yang ada di dalam kamar hanya terdiam sambil memandangi pintu kamar dengan malas.   “Najma sayang, jangan nangis di dalem, sini sama Nenek saja.”   Najma menghela napas, dia bahkan tidak menangis setelah mendapati perlakuan seperti ini. Sebenarnya Najma ingin menangis namun air mata yang hendak keluar dia tahan mati-matian. Entah sejak kapan Najma memiliki prinsip untuk tidak menangis karena bagis gadis 11 tahun itu, menangis hanya untuk anak kecil.   “Najma?” Panggilan disertai ketukan pintu itu kembali terdengar membuat Najma berdecak kesal,   “Aku enggak nangis Nek, aku mau tidur, Nenek jangan ganggu.” Najma membalikkan tubuhnya, bahkan dia menutup telinganya dengan bantal.   “Ya sudah.”   Di balik pintu Rida akhirnya menyerah. Dia kemudian berjalan menjauh dari kamarnya yang sekarang ditempati oleh cucunya itu. Di ruang tamu ada anak kedua Rida, Ana yang memiliki rumah tak jauh dari rumah Rida.   “Ibu enggak perlu khawatir sama Najma, dia pasti bakalan terbiasa di sini, apalagi ada Liana yang beda dua tahun saja sama dia, jadi masih bisa main bareng.” Ana yang melihat bagaimana sikap Najma pada orangtuanya tadipun cukup kaget karena seingatnya dulu Najma sangat manis dan lugu, bahkan Najma sangat senang di desa karena di desa Najma memiliki banyak teman.   “Ibu itu kasihan sama dia, katanya dia pergi main game terus dan nilainya jadi hancur.”   “Ya itu karena Najma mungkin enggak punya temen yang biasa diajak main,” ucap Ana. “Seharusnya dulu Winda memberikan adik saja untuk Najma, kasihan dia tidak punya teman main di rumah.”   “Mereka sibuk, kasihan juga nanti kalau dua anaknya terus ditinggal karena orangtuanya sibuk kerja. Uang memang berkecukupan, tapi kasih sayang?” Ana terkekeh, bukan rahasia umum di antara keluarga mereka tentang bagaimana sibuknya Winda dan Anton orangtua Najma.   Rida mengangguk setuju. “Semakin hari dia semakin sibuk, kapan dia sadar jika ini juga karena ulahnya?”   “Nunggu azab,” jawab Ana tanpa ragu yang langsung mendapat tatapan tajam dari ibunya.   “Kamu ini kalau ngomong yang benar, enggak boleh ngomong gitu.”   “Biarin Bu, Ana capek Ibu mikirin dia terus. Ibu dipikirin juga enggak.”   “Namanya ke anak, kamu pasti bakalan gitu juga Ana.”   Ana terdiam, dia mengangguk mengiyakan ucapan ibunya itu. Setiap ibu memang akan selalu menyayangi anaknya tapi Ana tidak suka dengan sikap ibunya yang seperti ini apalagi ibunya yang terlalu menyayangi Winda. Winda terlalu semena-mena pada ibunya dan lihat sekarang, Winda mengalami hal yang serupa di mana anaknya bersikap semena-mena dan Winda malah lepas tangan dengan hal itu dan malah melimpahnyannya ke ibunya.   “Terus Ibu bakalan bersikap gimana ke Najma?”   “Tergantung bagaimana dia bersikap.” Sudah diamanatkan untuk merubah Najma menjadi anak yang baik, maka Rida berusaha melakukannya. Rida tidak ingin Najma sampai salah pergaulan karena kurangnya kasih sayang orangtuanya. Hingga tahun ajaran baru dimulai, Rida akan mencoba mengubah Najma menjadi pribadi yang lebih baik.   “Sekarang Ibu mau masak ke dapur, kamu mau pulang apa bantuin Ibu?” tanya Rida   “Ana bantuin Ibu aja.”   Di dalam kamar Najma mendengar semua percakapan yang dilakukan oleh nenek dan bibinya itu. Najma tidak habis pikir jika di rumah sekecil ini, bisa-bisanya mereka tidak berbisik-bisik saat berbicara hal yang seharusnya tidak dia dengar. Najma tidak butuh saudara yang akan menemaninya, Najma juga tidak butuh perhatian yang berlebihan dari orangtuanya. Dulu semuanya terasa pas hingga mamanya tiba-tiba mengatur hidupnya hanya karena nilainya yang sedikit turun.   Bagi Najma, nenek dan bibinya tidak tahu apa-apa. Mamanya jelas melebih-lebihkan cerita yang ada. Bahkan nilainya hanya sedikit mengalami penurunan, kenapa harus sampai diperbesar seperti ini?   Semua kejadian ini membuat Najma lelah, karena berada di atas tempat tidur Najma pun tidak sadar dirinya tertidur. Najma tidur dengan sangat nyenyak dan baru terbangun saat dia mencium aroma masakan yang tercium sangat lezat.   Aroma yang Najma cium terasa sangat berbeda dengan aroma-aroma makanan yang pernah dia makan di rumahnya. Mencium aroma yang terasa lezat di tempat seperti ini membuat Najma sedikit kebingungan. Bagiamana bisa di tempat seperti ini memiliki makanan yang aromanya saja lezat? Bahkan di tempat tinggalnya Najma tidak pernah mencium aroma seperti ini.   Karena mencium aroma itu Najma bangun dari tidurnya. Di pinggir tempat tidur Najma termenung. Dari kemarin dia belum makan sesuap nasi sedikitpun, sekarang dia lapar tapi Najma terlalu ragu untuk keluar dari kamar, apalagi sampai mencari makan di dapur neneknya, malu dan gengsi. Kebimbangan Najma untuk melawan gengsinya atau diam di kamar dengan perut kelaparan akhirnya berakhir saat pintu kamar diketuk dan suara lembut neneknya terdengar.   “Najma... Najma?”   “Ya Nek,” jawab Najma yang mencoba untuk terdengar biasa saja padahal aslinya dia senang mendengar panggilan neneknya itu, dia sudah sangat lapar dan gengsi untuk keluar kamar.   “Ayo keluar untuk makan.”   Senyum Najma mengembang mendengarnya, buru-buru Najma membuka pintu kamar. Sebelum membuka pintu kamar, Najma terlebih dahulu menghilangkan senyumnya dan saat pintu kamar terbuka, dia bisa melihat neneknya yang sudah menunggunya untuk makan bersama. Ini yang Najma butuhkan dari tadi.   “Ayo makan.” Rida menarik tangan cucunya itu.   Ajakan itu tentu saja tidak ditolaknya. Untuk menghadapi kehidupan yang berat di sebuah desa antah berantah seperti ini, Najma harus memiliki tenaga yang kuat, jadi tidak ada salahnya jika dia makan selama neneknya mengajaknya untuk makan. Jika tidak ada yang mengajak seperti ini, Najma mana berani makan. Gengsinya terlalu besar untuk dia pergi ke dapur seorang diri dan makan sesukanya.   Di meja makan sudah terdapat seorang anak perempuan yang masih sepantaran dirinya, seingat Najma di sini seharusnya ada bibinya tapi entah kenapa sekarang bibinya tidak terlihat lagi, malah bibinya digantikan oleh anak perempuan itu. Mata anak perempuan itu memandangi Najma dengan intens yang membuat Najma balas menatap anak perempuan itu dengan tajam.   “Kamu enggak inget siapa dia?” tanya Rida dan Najma mengangguk mengiyakan. Tatapan mata Najma yang terlihat tidak bersahabat membuat Rida sedikit takut jika Najma tidak cocok dengan Liana.   “Kenalin, aku Liana.”   Tangan itu terulur ke depan Najma membuat Najma memandangi tangan itu dengan lirikan tajamnya. Jika dia tidak segera mengakhiri ini, bisa saja dia tidak akan makan sama sekali. Najmapun dengan malas menjabat tangan anak itu.   “Najma,” ucap Najma singkat.   “Nah, sudah kenalan sekarang kalian makan.” Rida memberikan piring yang sudah dia isi dengan nasi dan lauk untuk Najma. Najma memandangi piring itu dengan kaget, dia baru sadar jika lauk yang ada di meja makan ini adalah lauk yang terlalu sederhana, bahkan dia tidak pernah memakan menu seperti ini.   Dengan piring di tangannya, Najma memandangi menu makan sorenya itu. “Nenek bercanda?” Najma meletakkan piring itu di atas meja.   “Nenek tidak pernah bercanda dalam hal makanan, tanya saja Liana bagaimana rasanya.” Najma ternyata sangat dimanjakan oleh kedua orangtuanya, bahkan untuk menu makan tempe-tahu, ikan, sayur, dan sambel seperti yang dia hidangkan sekarang adalah menu makan yang tidak bisa dibilang kampungan karena di kota pun hal ini sangat digemari.   “Ini enak loh Kak Najma, apalagi sambel yang dibuat Nenek.” Liana mengambil kepala ikan dan memperlihatkan ke Najma bagaimana dia memakan kepala ikan dengan sambal.   Najma meneguk ludahnya ngeri melihat Liana yang memakan kepala ikan dengan santai, bahkan tampak sangat menikmatinya.   “Kalau kamu tidak mau makan ya sudah, Nenek tidak akan memaksamu, tapi Nenek tidak akan membuatkan makanan seperti apa yang kamu inginkan.”   Sikap acuh tak acuh neneknya itu membuat Najma melotot, jadi neneknya tidak akan memanjakannya. Bukankah seorang nenek akan memanjakan cucunya? Jadi sudah seharusnya bukan jika neneknya memasak menu makanan yang bisa di makannya, tapi ternyata hal itu tidak dilakukan neneknya. Mata Najma kembali terarah ke Liana, Najma jadi menduga jika kasih sayang neneknya hanya tertuju pada Liana.   “Di sini Nenek tidak akan membedakan kalian berdua,” ucap Rida setelah melihat tatapan Najma yang tertuju pada Liana.   “Iya-iya.” Najma termenung memandangi piring nasinya, cukup lama Najma diam sebelum akhirnya dengan berat hati Najma mulai menyuap makanannya. Satu suap makanan itu membuat Najma terdiam lagi, menu makannya kali ini jauh sederhana dari menu makan di rumahnya, tapi menu makannya kali ini ternyata jauh lebih lezat dibandingkan yang biasa Najma makan di rumah.   Najma merasa malu telah memandang menu makan yang dibuat neneknya dengan sebelah mata. Najma dengan lahapnya mulai menyuap kembali makanannya, suapan demi suapan yang bersemangat itu membuat Rida dan Liana yang melihatnya tersenyum.   “Makannya pelan-pelan aja.” Rida menuangkan segelas air putih di gelas air Najma. “Sekarang jangan terlalu kenyang, nanti malah ngantuk.”   “Aku udah tidur siang jadi enggak mungkin ngantuk, Nek.” Najma menenggak sampai habis air putih itu dan kembali melanjutkan suapannya. Tapi Najma juga sadar jika di tempat membosankan seperti ini dia pasti akan cepat mengantuk karena tidak ada hal yang dia lakukan untuk menghabiskan waktu, jika ini di rumah Najma bisa bermain game sepuasnya.   “Oh baguslah, jangan sampai nanti kamu ngantuk, ya.” Rida memandangi Najma dengan penuh maksud, dia jadi tidak sabar melihat bagaimana reaksi Najma setelah mengikuti rencana yang sudah dia buat untuk mengetahui seberapa nakalnya Najma.   “Emangnya nanti kita mau ke mana?” Mendadak perasaan Najma menjadi tidak enak setelah mendengar ucapan neneknya yang terdengar seperti sebuah kode bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan di sini.   “Nanti juga kamu tahu, sekarang kamu mandi terus salat ashar sana.”   Saat mendengar itu, Najma langsung merasakan perasaan tidak enak. Pikirannya sudah bisa membayangkan hal-hal yang sudah pasti tidak biasa dilakukannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD