Dua : Kenzo Alastair

1418 Words
Pesta jamuan makan malam telah dimulai. Banyak sekali tamu undangan yang sudah hadir. Zia yang dipaksa oleh Vivian untuk menemani dirinya hanya bisa mendengus sebal. Bahkan Vivian sekarang ini tengah sibuk berbincang dengan beberapa tamunya, tak melirik ke arah Zia yang bingung harus melakukan apa. Akhirnya Zia yang sedari tadi berada di samping Vivian memutuskan untuk pergi saja dari dana. Ia berpikir akan membantu beberapa pelayan lain yang masih sibuk dengan pekerjaan mereka. Zia pergi menuju arah dapur. Namun langkah kakinya harus terhenti karena ia bertabrakan dengan seseorang. "Sialan!" gerutu Zia. Namun gadis itu dengan cepat mengoreksi kata yang keluar dari mulutnya dengan kata maaf. "Maafkan saya, saya tidak sengaja menabrak Anda," Zia mendongak, ingin tahu orang yang ia tabrak barusan. Namun hatinya mencelos, ia sangat terkejut karena orang yang tak sengaja ia tabrak ternyata adalah Kenzo Alastair. "Bukankah itu kata yang kasar, Miss?" Kenzo menaikkan sebelah alisnya ketika mengucapkan hal itu. "Saya sudah meminta maaf pada Anda, Viscount. Jadi di mana letak kesalahan saya?" ujar Zia, gadis itu mencoba mengalihkan. Dia sangat takut karena sang Viscount ternyata mendengar umpatannya tadi. Itu sangat tidak sopan bagi kalangan gadis manapun. Ia hanya tak ingin terlibat masalah dengan sang Viscount. "Aku mendengar kau mengumpatiku dengan kata 'sialan' barusan," Kenzo melipat kedua tangannya ke depan d**a. Lelaki itu tersenyum miring melihat Zia yang tampak gugup. Seketika ide jahil muncul di dalam benaknya. "Bukankah kau adalah Miss Zia Elina?" tanyanya. Zia langsung mendongakkan kepalanya menatap ke arah Kenzo. Gadis itu memilin ujung gaunnya dan menggigit bibir bawahnya karena terlalu gugup. Dia terkejut, bagaimana lelaki bangsawan seperti Viscount Alastair bisa mengenal dirinya yang hanya gadis desa biasa? "Ya, Anda benar My Lord. Saya adalah Zia. Jika tidak ada hal lain lagi saya permisi karena pekerjaan saya masih banyak." Zia melangkah meninggalkan Kenzo. Namun lengannya dicekal oleh lelaki itu. Zia melotot. Harus sabar. Itu yang Zia tekankan dalam hatinya sekarang. "Ada yang bisa saya bantu My Lord?" tanya Zia dengan nada sesopan mungkin bak perempuan bangsawan Inggris lainnya. Hingga rasanya orang lain pasti tidak percaya jika gadis cantik seperti Zia berani mengumpat walau tidak sengaja. Kenzo tersenyum miring, ia mendekatkan dirinya pada Zia. Bahkan jarak diantara keduanya hampir tidak ada. Mereka sangat dekat sekarang. Di posisi ini, tinggi Zia hanya sebatas d**a Kenzo saja. Deru napas keduanya bahkan terdengar jelas. Zia gugup. Lagi-lagi gadis itu mengigit bibir bawahnya tanpa ia sadari. Dan hal itu tak luput dari pengamatan mata elang Kenzo. Kenzo sedikit menundukkan kepalanya agar sejajar dengan sang gadis. Lelaki itu memajukan kepalanya. Zia sudah berpikir yang aneh-aneh sekarang. Gadis itu menahan napasnya. Wajahnya sampai memucat. "Bernapaslah, Miss!" seru Kenzo. Lelaki itu menjauhkan wajahnya dari Zia. Mundur beberapa langkah agar memberi gadis itu ruang. Zia yang menahan napasnya sedari tadi langsung menghembuskannya kencang setelah mendapatkan seruan dari sang lelaki. Kenzo tertawa ringan melihat reaksi yang ditunjukkan Zia. Gadis yang masih lugu dan polos. Lelaki itu kembali mengembangkan seyuman miliknya. Sangat tampan. "Sepertinya dia masih polos, mungkin dia bisa ku jadikan mainan sementara sebelum aku mendapatkan yang lebih seru," pikir Kenzo licik. Zia yang tersadar jika dirinya tengah dipermainkan langsung mendengus. Wajahnya memerah karena malu. Dengan langkah besar, dirinya pergi meninggalkan sang Viscount tanpa pamit. Ya, mungkin itu tindakan yang tidak sopan namun dirinya tidak peduli. Yang terpenting adalah, dia bisa bebas dari pesta yang menyesakkan raga dan batinnya. Juga bebas dari lelaki penggoda bernama Kenzo itu. Zia berjalan ke arah tangga yang ada di belakang ruangan. Tangga marmer yang akan menghubungkan ruangan itu dengan lantai ke dua. Ia akan berganti baju dengan bajunya sendiri dan pulang. Ia tak peduli jika besok Vivian kembali memarahi dirinya karena pergi tanpa pamit dari pesta seperti yang sudah-sudah. Ia langkahkan kakinya dengan anggun, seolah dirinya adalah keturunan bangsawan. Ya, Zia memang masih terbiasa dengan cara ia berjalan, makan, berbicara dan bersikap sopan. Mendiang ibunya pernah berkata jika, meskipun kau hanyalah pengemis sekalipun, bersikap sopan wajib dimiliki oleh setiap orang. Ia menuju ke kamar Vivian, karena baju miliknya ada di sana. Sungguh, Zia tidak betah memakai baju yang diberikan Vivian untuknya. Gaun berwarna hijau itu memiliki belahan d**a yang sangat rendah, membuat Zia yang terbiasa mengenakan pakaian tertutup jadi tidak nyaman. Apalagi banyak tamu-tamu yang melirik ke arahnya karena hal itu. "Dasar Vivian, dia benar-benar perempuan penggoda. Dengan semua baju yang seperti ini. Maka akan banyak pria yang mengantri untuk mendekatinya karena nafsu mereka yang membuncah setelah melihatnya memakai pakaian seperti ini," gerutu Zia. Sebenarnya ia sudah sering mengingatkan Vivian untuk hidup damai bersama harta yang ia miliki. Ia bisa mengembangkan usahanya agar lebih maju. Namun wanita itu menolak, ia bilang di usianya yang masih muda, dia ingin bermain-main terlebih dahulu. Vivian juga pernah bilang jika ia sudah tak ingin merasakan yang namanya pernikahan lagi, karena mendiang suaminya yang dulu sangat kasar padanya. Dan akhirnya ia bisa bebas setelah suaminya meninggal dunia. Ia akan menghabiskan seumur hidupnya dengan bermain lelaki. Sungguh wanita yang nakal. Bergegas mengambil baju miliknya yang ia gantung, lalu melepaskan gaun yang ia kenakan dan mulai memakai gaun miliknya sendiri. Zia keluar dari kamar Vivian dengan cepat. Takut jika pelayan lain melihatnya. Karena hal itu pasti akan menjadi bahan yang bagus untuk gunjingan mereka besok. Apalagi jika ada satu barang saja yang hilang dari kamar sang Countess. Zia akan dimaki habis-habisan walaupun itu bukan kesalahannya. Namun ia penasaran untuk melihat kelanjutan pesta jamuan makan malam yang diadakan oleh Vivian. Zia melihat sekeliling ruangan utama di lantai satu itu. Banyak orang berlalu-lalang di sana. Ia pikir mengamati dari sana tidak masalah. Lagipula tak akan ada orang yang menyadari jika ia melihat acara itu dari lantai atas. Karena ia bersembunyi di suatu tempat. Entah kenapa netra gadis itu tak mau lepas dari wajah sang Viscount Alastair. Sedari tadi Zia hanya memandangi wajah tampan dari lelaki yang tadi menggodanya. Wajahnya memerah jika kembali mengingat hal itu. Kini sang Viscount tengah berbincang dengan sahabatnya, Vivian. Zia tak berkedip mengamati mereka berdua. Sangat serasi. Dua kata yang tepat untuk menggambarkan sosok Kenzo dan Vivian. "Memang tampan, namun apa gunanya memiliki fisik yang sempurna jika hati dan otaknya busuk?" pikir Zia. Pengamatan Zia masih belum berhenti. Kenzo dan Vivian tampaknya masih betah berlama-lama berbincang. "Apa Vivian sudah berhasil menggoda Kenzo? Apa mereka akan tidur bersama malam ini? Apa Kenzo tertarik dengan aura Vivia yang memikat?" tanya Zia pada dirinya sendiri. Lalu ia menepuk jidatnya sendiri dengan keras. "Untuk apa aku memikirkan hal itu? Lagi pula aku tidak tertarik dengan hal-hal dewasa dan s*****l seperti yang sering dilakukan Vivian. Sebaiknya aku pulang saja. Ayah pasti sudah menungguku di rumah." Zia menuruni tangga marmer rumah keluarga Delbert. Ia memilih pulang lewat pintu belakang saja. Tidak masalah ia mendapatkan tatapan sinis dari pelayan lain yang penting dirinya bisa pulang dengan tenang. Dan benar saja, tatapan sinis ia dapatkan dari beberapa pelayan lain yang tak sengaja berpapasan dengan Zia saat berjalan. Mereka iri karena Zia bisa pulang dan pergi ke rumahnya tanpa harus menginap seperti yang lain. Karena pekerjaan Zia hanya mengikuti kemanapun Vivian pergi dan mengingatkan wanita itu akan jadwal hariannya. Karena Zia memanglah bekerja sebagai pelayan pribadi di House of Countess Delbert. Zia menghembuskan napas lega karena bisa pulang. Rumahnya terletak tidak jauh dari tempatnya bekerja. Jadi berjalan kaki saja sudah cukup. Karena ia tak memiliki cukup uang untuk menyewa kusir dan kereta kuda. Uangnya sudah habis karena diambil paksa oleh sang ayah dan untuk membeli keperluan rumah setiap bulan. Ia melangkan kakinya dengan santai. Jujur saja ia sedikit takut jika pulang sendirian di malam hari. Bahkan ini sudah hampir larut. Namun ia lebih takut jika menginap di rumah Vivian malam ini. Ia tak ingin melihat sahabatnya menjadi liar karena sudah mendapatkan seorang Kenzo Alastair. Zia sudah terlalu pusing mendengarkan ocehan Vivian tentang Kenzo. Semua hal tentang lelaki itu bahkan diketahui olehnya. Kenzo yang senang menggoda wanita. Kenzo yang sering berganti pasangan. Kenzo yang dijuluki "Sang Pangeran Penggoda" bahkan sampai keahlian Kenzo di ranjang saja, Vivian tahu. Zia sampai bergidik ngeri jika harus membayangkannya. Selama dua puluh lima tahun hidup di dunia. Ia tak pernah sekalipun memikirkan hal-hal s*****l semacam itu. Dirinya masih terlalu lugu dan polos untuk mengenal dunia malam yang sangat kelam. Tak terasa Zia sudah berjalan cukup jauh. Ia hanya tinggal melewati gang sempit yang menuju rumahnya saja. Gadis itu bergegas karena udara malam semakin dingin dan dirinya hanya menggunakan balutan gaun tipis yang ia pakai untuk bekerja tanpa mantel atau apapun lagi yang tebal. Ia melebarkan langkah kakinya menyusuri gang tersebut untuk sampai ke rumah. TO BE CONTINUE
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD