Deal

1490 Words
Tidak banyak yang disiapkan di hari pertemuan antara dua keluarga ini untuk makan malam sekaligus pembahasan lebih lanjut mengenai pernikahan anak-anak mereka. Sebuah privat hotel berbintang lima super mewah dipesan secara khusus oleh teman Joan sekaligus calon besannya itu. Untuk ukuran hotel sepuluh lantai dengan restoran terletak pada lantai satu dan rooftop, kolam renang luas, mini mall, serta pelayanan khusus lain yang tersedia secara lengkap ini begitu menakjubkan di mata Natasya dan Ageum saat mereka dan Joan baru tiba di hotel. Memang semua sudah dipesankan oleh calon mertua Natasya itu, mulai dari tempat pernikahan, gaun, cincin pernikahan, pakaian, dan lain sebagainya. Semua serba mewah namun tertutup, hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat dekat saja. “Kak, ini hotel apa istana? Gila, mewah banget.” Ageum begitu terkagum dengan desain luar hotel tersebut, itu mengingatkannya dengan salah satu drama korea yang dia tonton. “Hotel lah. Kalau istana sih ada di Bogor kali,” timpal Natasya. “Itu sih Istana Presiden.” “Kakak tau, Geum.” Mendengar obrolan kecil Ageum dan Natasya, Joan memanggil anak-anaknya untuk segera masuk ke dalam hotel karena sudah ditunggu oleh pihak keluarga laki-laki yang sudah sangat excited dengan kedatangan Natasya malam ini. Penampilan Natasya malam ini tidaklah buruk, bahkan jauh terlihat berbeda daripada saat kuliah. Riasan natural ala flawless, rambur digerai dengan pita mutiara di jepit di sana, gaun cold shoulder berwarna biru dan sepatu dengan hak 3 cm. Wow, benar-benar sangat cantik, bahkan Joan dan Ageum sempat terpana saat Natasya keluar dari kamar ketika mereka bersiap berangkat ke hotel tempat pertemuan. Tak sampai di situ, ketika dua orang yang seumuran dengan ayahnya sedang duduk di sebuah meja besar di dalam restoran hotel, mereka langsung berdiri dan menganga memandang penampilan yang sangat di luar ekspetasi mereka. Sedangkan Natasya sedikit canggung dan risih ditatap seperti itu, karena dia juga tak terbiasa menggunakan gaun. “Joan, apa dia ini benar putrimu? Dia sangat cantik malam ini. Sangat cocok dipasangkan dengan putra kami,” kata Dennis William atau pria yang akrab disapa Dennis, yang merupakan sahabat Joan sekaligus rekan sesama pilot. “Dimana putramu?” tanya Joan mengedarkan pandangannya tak menemukan lain selain Dennis dan istrinya, Emellie William saja di sana. “Apa dia belum tiba di Indonesia?” “Dia sedikit bermasalah di perjalanan. Sebentar lagi dia akan sampai. Sebelum itu, mari kita duduk dan mengobrol dulu sebelum memulai dengan pembicaraan yang lebih serius,” kata Dennis mempersilahkan tamunya. Natasya mulanya bingung harus duduk di mana, kemudian dia akhirnya duduk berhadapan dengan Emellie. Senyum canggung dia perlihatkan dipertemuan pertama mereka dan Emellie sangat paham bahwa Natasya sudah sangat lama tidak bertemu dengannya, terakhir kali Emellie berkunjung ke kediaman Pramudya saat Natasya berusia 6 tahun. Dari arah pintu utama, terdengar langkah kaki yang tengah berlari-lari mendekati restoran hotel. Dennis tersenyum kecil dan menoleh ke arah pintu, dia memperhatikan dengan sangat dan tau apa yang akan terjadi setelahnya. Tak lama kemudian muncul sosok laki-laki dengan napas yang terengah-engah berhenti di ambang pintu. Pakaian yang mulanya agak kusut dia rapikan dengan cepat, dan kakinya melangkah masuk dengan badan tegap dan tatapan lurus penuh keyakinan. “Akhirnya dia datang. Kemarilah.” Sosok itu masih berjalan. Senyuman manis dan manly dia berikan sebagai sebuah sapaan awal pada tiga orang yang tak dia kenal yang duduk di meja besar tersebut. Namun, hanya saja Natasya hanya menundukan kepala dan tak berani melihat. Dia merasa gugup dan ketakutan. Ageum menggenggam tangan Natasya yang mulai berkeringat dingin. “Kakak gak pa-pa? Kakak keringat dingin gini.” Langsung saja Natasya menggeleng dan buru-buru menjawab. “Kakak fine, Geum. Cuman gugup aja, ini pertama kali lagi kakak bertemu orang selain keluarga besar dan juga teman kuliah.” Dia mulai mengangkat kepalanya dan menatap Ageum. Dia mencoba untuk membuat yakin kalai dia baik-baik saja. Semua orang kembali berdiri begitu sosok yang baru tiba tersebut sudah berdiri di depan meja. Mereka saling melempar senyum satu sama lain, namun Natasya masih belum bisa menatap lelaki yang akan menjadi calon suaminya tersebut. “Jeno, perkenalkan dia Natasya. Calon istri kamu,” kata Dennis sebagai ayah mulai memperkenalkan Natasya pada anaknya. “Dan Natasya, dia Jeno. Putra kami dan calon suami kamu. Boleh dilihat dulu nak, gak usah malu-malu nanti juga sering tatap tatapan.” Para orang tua tertawa mendengar penuturan dari Dennis. Agak ragu untuk melakukannya, namun Natasya mulai menoleh ke arah Jeno. Dia sedikit menyingkirkan anak rambut dan menyelipkannya ke belakang telinga. Pandangan kedua insan tersebut bertemu, buru-buru Natasya menunduk lagi karena suatu hal dan itu membuat Jeno kebingungan dengan tingkahnya. Setelah sesi perkenalan itu, Jeno sudah duduk dan kali ini dia bertukar tempat dengan Emellie agar bisa duduk berhadapan dengan Natasya. Sengaja itu rencana dari Joan dan Dennis agar keduanya saling kenal. “Tanggal pernikahan baiknya kapan ya? Biar segera dilangsungkan karena Jeno harus segera ke Australia lagi dan Natasya juga bisa segera tinggal di sana untuk melanjutkan studinya,” kata Dennis membuka obrolan serius mengenai pernikahan Jeno dan Natasya. Pembukaan yang enggan didengar oleh Natasya namun mau tak mau harus. “Eum, lebih baik untuk tanggal pernikahan didiskusikan dengan sesama orang tua saja. Jeno dan Natasya, kalian bisa ke balkon lantai dua yang agak luas untuk mengobrol dan mengenal lebih dalam satu sama lain. Dan Ageum, kamu bisa makan di lantai satu. Di sana ada tempat khusus yang cocok buat anak muda seperti kamu,” usul Dennis yang disetujui oleh lainnya. Sekali lagi Natasya hanya membuang napas pasrah dan mengikuti usulan tersebut. Dia mengekori Jeno tanpa menatap wajah pemuda tersebut sama sekali hingga tiba di balkon lantai dua hotel tersebut. Tempatnya mirip dengan single candle dinner, sangat cantik, apalagi malam itu bintang banyak terlihat di langit ditambah dengan sang rembulan. “Gue mau to the point sama lo.” Suara berat dari pemuda di sampingnya ini membuat Natasya sedikit terkejut. “Sama seperti yang wajah lo tunjukin dari awal, gue juga terpaksa dengan pernikahan ini. Terpaksa banget.” “A-apa?” “Gak usah kaget. Gue terpaksa nurut karena udah diancam kalau nolak perjodohan ini semua fasilitas yang ada di Aussie bakal dicabut.” Natasya mengulumkan bibirnya. “Maaf.” Nyaris tak terdengar. Namun, Jeno mendengar ucapan maaf itu karena suasana sangat sepi dan hanya ada mereka berdua saja yang ada di sana. “Lo gak perlu minta maaf karena lo gak salah apa-apa. Dan gak usah nunduk kayak gitu, gue gak jahat meski keliatan judes.” Jeno melipat tangannya di d**a dan mulai menyenderkan punggung ke tembok di belakangnya. Perlahan Natasya mulai mengangkat kepalanya dan mencoba berani beradu mata dengan Jeno meski tidak sampai satu menit. Tangan kecilnya mengusap lengan yang mulai merasakan dinginnya angin malam yang menerpa kulitnya. “Oh iya, satu lagi.” Jeno mulai terdengar lebih serius. “Gue masih punya pacar walau backstreet dari orang tua. Dan rencananya gue bakal nikahin dia setelah gue lulus. Meskipun nanti gue nikah sama lo, gue bakal tetep nikahin pacar gue.” Satu lagi pernyataan yang membuat jantung Natasya hampir lolos. Rasa-rasanya ada batu meteor yang menghujam hatinya. Ada getaran hebat dan rasa sakit yang bercampur menjadi satu. Jadi, ini mungkin takdir yang ia harus terima. Dipaksa menikah dengan orang yang masih memiliki pacar dibelakang orang tua dan didepan calon istri sendiri. Ini sama saja secara tidak langsung Jeno ingin poligami. Pertemuan dua orang tersebut saja sudah tidak terlihat ada kebahagiaan, hanya wajah yang terlihat terpaksa dan dipaksa untuk menikah. “Kak..” “Panggil aja Jeno.” “Tapi, kamu itu kakak tingkatku.” “Terlalu formal.” Bukan hanya terlalu formal saja, Jeno sudah terbiasa hanya dipanggil nama bahkan oleh adik tingkatnya dari sesama jurusan. Dan mereka ini nanti akan menikah, aneh jika Natasya masih memanggilnya dengan ‘kak’ dan dia akan menolak jika dipanggil ‘mas’ atau ‘akang’. “Mungkin kamu bakal keberatan, tapi aku akan tetap panggill kamu dengan sebutan ‘kak’.” Natasya juga akan tetap dengan pendiriannya. “Hhhhh, terserah.” Jeno mengalah daripada berakhir dengan perdebatan oleh keduanya. “Gue juga sebenernya gak mau ngelakuin hal ini. Pertama, gue sayang banget sama pacar gue tapi karena ini kesempatan gue bisa bebas dari orang tua jadi gue mau gak mau harus terima. Selama ini, hidup gue terlalu banyak diatur sama mereka berdua. Bahkan gue gak diizinin buat pacaran, ini kesempatan gue buat lepas dari pengawasan karena mereka bilang hak bebas gue bakal dikasih setelah gue sama lo udah sah ngucapin janji suci,” dia menjelaskan lebih rinci. Lelah. Satu kata mendefinisikan keadaan Jeno. Fisik dan batinnya sudah enggan menerima segala perkekangan yang dilakukan oleh kedua orangtuanya. Mati-matian Jeno belajar masuk teknik dan mengambil program double degree supaya bisa hidup di Aussie dan lepas dari pengawasan. “Akan bakal menyakitkan. Tapi jangan berharap buat gue untuk bisa mencintai lo. Hidup gue udah terlalu berantakan, hanya pacar gue yang selalu support gue. Makanya, gue gak akan pernah bisa mencintai lo nanti. Posisi dia masih dominan di hati gue.” Bahkan Natasya pun tak berharap demikian. Sadar, dia sangat tau posisinya saat ini. Jika menikah nanti secara sah dia adalah istri Jeno, namun sisi lainnya dia menjadi duri dalam hubungan Jeno dengan kekasihnya. Jadi, sebenarnya siapa sih pelakor dalam hubungan ini? Natasya tidak bisa tau karena dia merasa bersalah setelah tau Jeno memiliki seorang pacar. “Ayo kita buat perjanjian saja.” “Perjanjian?” Natasya bingung. “Kalau suatu hari memang kita tidak cocok hidup satu atap, lakukan perceraian. Dengan begitu, gue pun bisa hidup bebas dengan pacar gue nanti dan lo bisa hidup bebas juga atas diri lo sendiri. Bagaimana?” “Baiklah.” “Deal?” Jeno mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan sebagai tanda persetujuan. Meskipun sedikit gemetar untuk melakukan hal yang sama, Natasya tetap membalas uluran tersebut dan tangan keduanya sudah bergerak sepakat. “Deal.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD