1. Kelab Santiago

1058 Words
Suasana kelab Santiago seperti biasa ramai oleh pengunjung dari kalangan kelas menengah ke atas. Musik yang berdentum keras dan tubuh yang meliuk-liuk sempurna di antara laki-laki dan perempuan--dengan baju yang hanya terdiri dari bahan yang tak seberapa alias minim. Mereka berteriak senang tatkala Sang DJ memainkan musik semakin keras. Asap rokok beserta bau minuman semakin malam semakin menyengat. Tubuh berbeda jenis kelamin yang menari pun semakin sini semakin menempel bahkan tak segan-segan di antara mereka berciuman dengan liar, panas, dan membara. Seolah hal itu bukan hal yang tabu lagi bagi mereka. Hal tersebut tak luput dari pandangan seorang gadis berwajah tirus yang sejak tadi hanya berdiri dengan bodoh sekaligus syok dan takut. Ini kali pertama bagi gadis itu mendatangi tempat seperti ini. Seorang wanita paruh baya--yang masih terlihat cantik dengan dandanannya yang glamour--merangkul bahu gadis itu dengan kuat. Bahkan menekankan kuku-kukunya di kulit gadis itu sampai membuat gadis itu sedikit meringis. Namun, tidak ada pelunakan dari sikapnya meski sadar apa yang dia lakukan menyakiti gadis muda di sisinya. Justru dia tampak dengan sengaja melukai gadis malang tersebut. "Dengar, Rania, mulai saat ini, kau akan bekerja di sini. Jadilah anak yang baik dan penurut. Lakukan apa pun yang nanti diperintahkan Nyonya Amora. Kau dengar itu?" desis wanita itu dengan sedikit lantang agar terdengar oleh gadis yang ia panggil Rania tersebut. Rania menggeleng nanar. "Bu, aku tidak mau bekerja di sini. Aku takut. Aku ingin ikut Bunda saja ke Prancis," cicit Rania dengan tatapan memelas. Tampak ketakutan begitu jelas terpancar dari sepasang bola matanya yang lugu. Kate, wanita paruh baya itu, menatap Rania tajam. Dengan sengaja, cengkeraman tangannya du bahu Rania dia tekan semakin kuat. "Dengar anak manis, kau tahu ayahmu sedang sekarat di rumah sakit, kan? Kita butuh uang untuk menyembuhkannya. Dan satu-satunya cara adalah dengan ini," balas Kate penuh penekanan. "Tapi, Bu, aku takut." Rania mengerjapkan matanya saat air mata mulai menggenang di antara kelopak matanya. Kate mendorong tubuh Rania dengan keras hingga Rania terhuyung dan menubruk tubuh seorang lelaki berjaket biru tua yang hanya menatapnya sekilas lalu berjalan lagi dengan acuh tak acuh. Membuat Rania semakin gemetar. "Dengar! Jangan menjadi cengeng! Hapus air mata sialanmu itu! Kau hanya harus bekerja di sini, bukan menangis untuk dikasihani!" teriak wanita itu dengan lantang. Rania menundukkan wajahnya dalam-dalam. Sejak dulu Rania memang cengeng. Ia tak suka dibentak, karena memang sejak kecil ayah dan bundanya selalu menyayangi Rania. Tidak pernah membentak, apalagi memukul. Mereka memperlakukan Rania bak puteri kecil mereka yang berharga. Hanya, semua berubah sejak setahun lalu kedua orang tuanya itu berpisah karena ayahnya--Richard Knighton, menikah dengan Kate di belakang Felly, bundanya. Rania ingin ikut bundanya yang lima bulan lalu memutuskan untuk pergi ke Prancis. Tapi Rania tidak bisa pergi karena harus menyelesaikan ujian akhir di sekolah yang diadakan sebulan lagi waktu itu. Rania sudah menduga dari awal, bahwa hidupnya tidak akan baik-baik saja sejak bundanya pergi. Dugaannya memang terbukti, setelah Felly pergi, Rania seolah menjadi pekerja di rumahnya sendiri. Ia yang biasa dilayani, tiba-tiba harus melayani Kate. Rania bukannya tak bisa melawan, hanya saja setiap kali ia melawan, Kate akan melapor pada ayahnya dan ayahnya akan lebih percaya pada Kate sehingga Rania dihukum. Rania terluka. Rania kecewa. Ayah yang dulu selalu mempercayainya, selalu menyayangi, dan memperlakukannya seperti puteri kesayangan, mendadak berubah menjadi kejam sejak kehadiran Kate. Rania merasa tidak lagi mengenali ayahnya sama sekali. Sampai suatu ketika, ayahnya jatuh sakit. "Nyonya Amora sudah datang. Bersikap baiklah seperti yang sudah kukatakan!" Kate mencekal lengan Rania dengan keras hingga lagi-lagi gadis berkulit putih pucat itu meringis saat seorang wanita datang. "Hai, Kate! Lama kau tak kemari? Apa karena suamimu yang kaya itu selalu memuaskanmu?" Suara nakal itu berasal dari seorang wanita bertubuh ramping dengan rambut dicat merah darah yang berdiri di hadapan Kate dan Rania. Ia pasti Amora. Kate lantas menyambut Amora dengan riang. Mereka saling memeluk dan memberikan kecupan di pipi kanan dan kiri masing-masing. "Ah, tidak! Dia sekarang sakit-sakitan," balas Kate dengan seringaian samar di wajahnya. Amora mendelik pada Kate. "O ya? Apa kau yang membuatnya seperti itu, Kate?" Wanita itu terkekeh, sedangkan Rania terdiam syok lantas memikirkan satu hal: kau yang membuatnya seperti itu? Apa itu artinya ... "Tentu saja. Seperti dugaanmu, aku membuatnya lumpuh dan sekarat untuk mengambil seluruh hartanya," jawab Kate tanpa ragu. Rania bergeming dengan mata membulat mendengar penuturan Kate. Jadi, ibu tirinya yang membuat ayahnya di rumah sakit? Untuk mengambil hartanya? Terdengar cekikikan Kate dan Amora yang sedikit teredam karena dentuman musik yang semakin keras. "Kau hebat, Kate! Lalu, apakah ini anak tirimu yang akan kau jual padaku?" tanya Amora sambil mengedikan dagu pada Rania. Rania menoleh dengan raut wajah tak percaya. Jadi benar dia akan dijual di sini? Rasa takut itu perlahan mulai merayap ke dalam diri Rania. Setelah Kate mengatakan bahwa apa yang dikatakan Amora itu benar, Rania segera membalikkan badan untuk berlari. Dia harus segera melarikan diri dari tempat tersebut. Namun, baru saja dia mengambil satu langkah pergi, Kate dengan cekatan segera menyambar lengannya. Membuat Rania nyaris terjatuh saking kerasnya tarikan Kate. "Mau ke mana kau!?" teriak Kate. Rania meronta panik. Hendak berlari lagi, tetapi kini rambutnya yang dijambak oleh Kate sambil diseret menuju suatu tempat di sana. Tidak ada yang peduli dengan kejadian itu meski mereka menyaksikannya. Meski Rania menjerit kesakitan. Meski Rania meminta tolong dengan lantang. Seolah kejadian seperti itu adalah hal yang biasa. Sekarang Rania paham apa yang pernah bundanya katakan: Terkadang, orang yang memiliki mata akan berpura-pura buta, orang yang memiliki telinga akan berpura-pura tuli, karena mata dan telinga hati mereka memang sudah tertutup duniawi. "Kau tidak bisa lari lagi sekarang, Rania." Kate menatap tajam Rania. "Turuti perintah Nyonya Amora karena sekarang dia sudah membelimu." Rania menggeleng keras. Air matanya berjatuhan deras, bahkan pipi dan hidung gadis itu memerah karena tangisnya. Namun Kate sama sekali tidak merasa iba melihat anak tirinya tersebut dalam kondisi memprihatikan seperti itu. Sebab baginya, Rania bukan seorang anak manis seperti yang pernah dia katakan di hadapan ayah dan bunda Rania. Baginya, Rania adalah seorang gadis dewasa yang bisa dia manfaatkan untuk mendapatkan pundi-pundi uang yang banyak. Kate mendorong Rania masuk ke dalam ruangan lantas menutup pintu tersebut dengan keras sebelum Rania bisa melarikan diri. Jerit ketakutan gadis itu menjadi hiburan tersendiri yang membuat Kate tersenyum senang. "Aku akan mentransfer sisa uang yang aku janjikan padamu," ujar Amora, berdiri di sisi Kate. "Terima kasih, Amora. Senang bisa berbisnis denganmu," balas wanita itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD