2. Ergia Montague

1324 Words
Makan malam keluarga Montague kali ini sangat ramai. Tentu saja, Vino, putera bungsu keluarga Montague yang kuliah di luar kota hari ini pulang, pun dengan Calvin, putera sulung mereka yang baru saja menikah setahun lalu juga datang ke rumah. Ditambah ramai dengan kehadiran Venus dan Alex yang membawa Mikail--anak mereka, si batita berusia tiga tahun yang begitu aktif dan menggemaskan. “Mikail! Ya Tuhan, kau lari ke mana, Nak?” Venus berteriak frustrasi mencari anaknya yang tiba-tiba hilang dari pandangan. “Mik hilang lagi, Ve? Bukannya tadi dia ikut makan di sini?” tanya Calvin keheranan. Venus menatap suaminya dengan kesal. “Al, cari anakmu itu!” ujarnya. Karena Alex begitu tenang, sementara dirinya sudah seperti kebakaran jenggot. “Anakmu juga, Ve!” jawab Alex yang lalu mengedarkan pandangan ke sekitar. Ikut mencari keberadaan puteranya yang sangat aktif itu. Venus menghela napas. “Iya, anakku juga. Tapi kurasa ibunya adalah dirimu, bukan aku. Dia selalu menurut padamu, ingin tidur denganmu, mandi denganmu, apa-apa denganmu!” gerutu Venus, terdengar seperti keluhan yang sudah ditahan lama. Lalu pandangan wanita itu turun ke perutnya. “Nanti kau harus jadi anak Mama, ya. Jangan jadi anak Papa, biar impas.” Venus mengelus perutnya yang masih rata. Ia memang sedang hamil muda anak keduanya sekarang. Renata dan Roy Montague yang menatap perdebatan mereka hanya tersenyum. Rere juga cekikikan sambil bergelayut manja pada Calvin. “Vin, anak kita nanti bakal nakal juga tidak, ya?” tanyanya sambil mengelus perutnya yang sudah membesar karena sudah memasuki usia tujuh bulan. Calvin mengelus rambut istrinya dengan sayang. “Dia akan baik sepertiku, Sayang. Mikail nakal karena dulunya Alex memang nakal.” Calvin tersenyum jenaka. Melirik pada Alex sampai membuat pria yang disebut seketika melayangkan tatapan mematikan padanya. “Hisss! Kau lupa siapa yang pernah memecahkan kaca kelas waktu sekolah dasar, Cal? Lalu yang sering dipanggil guru BP waktu SMP dan SMA karena bolos itu siapa?” sindir Alex dengan sengit. “Itu Kak Calvin, Kak Al!” jawab Vino antusias, yang langsung mendapat tatapan tajam Calvin. “Cari anakmu, Al! Bukan malah berdebat!” Venus memukul lengan suaminya hingga Alex mengaduh kesakitan. Mempunyai istri seperti Venus memang harus tahan banting. Bagaimana tidak, ia selalu saja memukulnya saat dia kesal. “Tidak usah dicari, Ve. Mik bersamaku!” Suara itu membuat semua orang yang berada di meja makan menoleh serentak pada pria jangkung berkemeja hitam yang bagian lengannya digulung sampai ke sikut. Di gendongannya terdapat seorang batita tampan yang tertawa-tawa riang sambil bertepuk tangan. “Egi! Ya Tuhan, terima kasih karena sudah membawa anak nakal ini.” Venus segera merentangkan tangan untuk menggendong Mikail. Tapi anak itu malah berbalik dan memeluk leher Egi dengan erat, membuat Venus mengerang frustrasi akan tingkah anak sulungnya tersebut. “Sabar, Sayang. Ibu keduanya adalah Egi. Dan kau entah ibu yang ke berapa,” ucap Alex sambil menepuk-nepuk kepala Venus dengan kekehan paling menyebalkan di telinga wanita itu. Venus ingin marah, tetapi yang dikatakan oleh suaminya sepertinya adalah fakta yang tak bisa dia elak sama sekali. Egi tersenyum, mengecup pipi gembil Mikail dan membawa batita itu duduk. Mereka mulai makan malam dengan obrolan ringan ala keluarga harmonis. Dengan kehangatan kasih sayang yang menyelimuti mereka. “Ke mana, Gi?” tanya Venus kala melihat Egi yang sepertinya mau berangkat lagi setelah makan malam selesai. “Mau bertemu teman, Ve. Dia sudah menunggu dari tadi. Aku pamit, ya!” ucap Egi setelah terlebih dahulu mencium lengan kedua orang tuanya dan juga mencium pipi gembul Mikail yang berada di gendongan Alex. Jalanan macet kota Jakarta di jam seperti ini membuat Egi mengumpat berkali-kali. Apalagi ketika ponselnya terus berdering. Panggilan dari Reno, sahabatnya. Egi sengaja tak mengangkatnya karena tadi ia sempat mengangkatnya dan pria itu mengoceh seperti seorang gadis sedang datang tamu bulanan. Egi turun setelah sampai di depan sebuah kelab langganan ia bersama teman kampusnya dulu. Mengambil jaket biru tua yang ia simpan di jok belakang dan memakainya sebelum masuk ke dalam. Sorak sorai orang-orang yang tengah meliukkan badan di berbagai penjuru kelab itu terdengar riuh tatkala sang DJ memainkan musik dengan ritme semakin cepat dan keras. Egi berjalan tenang dengan sebelah tangan dimasukkan ke dalam saku celananya. Beberapa wanita dengan pakaian terbuka menyapanya dengan menggoda. Bagaimana tidak, penampilan pria setengah bule itu selalu mencolok meskipun dia hanya mengenakan kemeja biasa. Hidung bangir, bola mata berwarna hazel disertai bulu mata yang lentik, juga bibir penuh berwarna merah muda yang seksi. Dia tampan dan terlalu sempurna dengan proporsi tubuhnya yang pas. Egi mengabaikan mereka. Ia masih tetap berjalan semakin dalam ke dalam kelab tersebut, hingga seorang gadis bergaun putih selutut menubruk tubuhnya. Egi hanya menoleh padanya sekilas lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang VVIP yang sudah dipesan Reno. “Bro! Kau lama sekali! Kami sampai akaran menunggumu!” Reno menepuk pundak Egi sebagai sambutan. “Kau pikir apa? Jalanan Jakarta macet sekali. Apa aku harus membeli pesawat agar bisa sampai ke sini secepat yang aku mau?” tanya Egi santai yang lalu duduk di kursi hitam panjang yang tersedia di sana. “Sudah lama kau tidak kemari, Gi! Bagaimana Prancis? Apakah menyenangkan tinggal di sana? Apakah para gadisnya cantik dan seksi?” tanya Leon yang sudah duduk dengan dua wanita seksi di sisinya. Benar-benar ciri khas Leon. Tipe laki-laki flamboyan yang suka wanita dengan model atau jenis apa pun. Terutama yang seksi, berwajah cantik, serta memiliki b****g dan p******a yang berisi. “Kau sudah sering ke sana, Le. Berhenti bersikap seolah kau tidak pernah mengunjungi Prancis!” Egi mengambil gelas dan menuangkan alkohol ke dalamnya. Meminum minuman pahit tersebut lalu Egi kembali berbicara, “kau bahkan sudah lebih dulu kenal Prancis daripada aku.” Leon terkekeh. “Kau benar, Gi. Aku lupa!” ucapnya yang kemudian mengecup bibir perempuan berbaju merah yang panjang bajunya saja tak lebih dari sepuluh senti meter di bawah pinggang. “Kau pura-pura lupa, Le!” jawab Egi santai sambil meminum kembali minumannya. Leon lagi-lagi terkekeh. “Kau selalu tahu aku,” jawabnya. “Jadi, apa rencanamu ke depannya, Gi? Kau sudah lulus S2 dengan hasil terbaik di Universitas terkenal di Prancis,” tanya Reno yang terkesan lebih serius dibandingkan Leon yang selalu santai dalam keadaan apa pun. “Sementara ini aku membantu perusahaan Papa, Ren. Sudah ada perusahaan yang kubangun di Prancis, hanya saja masih perusahaan kecil dan aku lebih tertarik untuk tinggal di Indonesia. Jadi aku ingin membuat perusahaan di sini, sementara perusahaan kecilku di Prancis aku titipkan pada orang kepercayaan,” jawab Egi dengan kesan santainya seperti biasa. “Waw!” decak Reno takjub. “Ternyata diam-diam selain belajar kau juga mulai berbisnis di sana, ya?” Egi mengedikan kedua bahunya dengan ringan. “Biaya hidup di sana mahal, jadi mau tak mau aku harus bekerja.” “Aku yakin dalam kurun waktu kurang dari lima tahun kau akan menjadi sainganku sebagai milyuner termuda, Gi!” Leon terkekeh. Ia memang milyuner terkaya karena sudah mulai berbisnis sejak zaman sekolah dan berkembang terus hingga ketika ia kuliah ia sudah memiliki beberapa perusahaan di bidang kuliner yang tersebar di seluruh Asia. Terkesan berlebihan tapi memang itu kenyataannya. “Jika lima tahun lagi, berarti aku sudah tidak muda lagi, Le! Umurku bahkan lebih dari tiga puluh tahun nanti,” jawab Egi sambil tersenyum kecil. Leon tertawa keras, sedangkan Reno hanya menggelengkan kepalanya. Setelahnya Egi pamit untuk pergi ke toilet. Dalam perjalanan, seperti biasa para gadis menempelinya dan Egi hanya bisa menolak mereka secara halus. Egi pria normal. Sesekali ia membayar wanita untuk menghangatkan ranjangnya, tetapi bukan wanita di tempat seperti ini. Bukan wanita yang ia temui sehari di kelab dan langsung tidur bersama. Egi tidur dengan wanita yang memang sudah ia kenal sebelumnya. Minimal ia pernah bertemu tiga kali dengannya, agar tahu apakah wanita itu bersedia tidur tanpa bayaran sebuah ikatan dan komitmen atau tidak. Jika mereka menginginkan hal itu, jelas Egi langsung menghindar dari mereka. Selain itu, ia tidak ingin terkena penyakit dari wanita yang tidur dengan sembarang pria setiap malam. Alasan lainnya sekarang, karena dia memiliki kekasih. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD