Nathan - 1

1417 Words
“Siap untuk pesta sampai pagi, Nath?” tanya William penuh semangat. Sorot lampu, suara blitz kamera dan lantunan musik yang membuat hati berdetak cepat, serta sorot mata yang tiada henti memandangi tiap sudut ruangan yang penuh warna. Pesta bertabur wanita-wanita cantik nan seksi. Namun tak satu pun yang membuat seorang Nathan Stephenson berminat. Meski mereka berlomba-lomba untuk menarik perhatiannya. Bahkan ada yang sengaja mendekat lalu memamerkan tubuh setengah telanjangnya di hadapan Nathan. “Nathan, kenapa kau hanya di sini? Ayolah kita berpesta,” ajak Jack usai usaha William gagal membawa Nathan untuk turun ke lantai dansa. “Aku tidak berminat,” timpal Nathan dengan enggan. Danisha, gadis cantik nan seksi yang selama ini selalu berusaha mendekati Nathan tersenyum mencibir. Ia memandangi Nathan sejak kehadirannya di dalam klub. Nathan tampak bagai mangsa yang lezat dan menggiurkan. “Ya Tuhan, Nath. Yang benar saja, kau datang bukan untuk meditasi disini, kan,” racau Jack yang hanya menghasilkan senyuman datar di wajah tampan Nathan diantara musik yang terus menghentak. “Yang kalian lakukan terlalu lamban,” timpal Danisha sambil menarik lengan Nathan. “Dan, apa yang kau lakukan?” Nathan memprotes. “Mengajakmu bersenang-senang, Nathan.” Apa yang dilakukan Danisha dengan menarik Nathan dari kursi yang ia duduki, menyeretnya ke lantai dansa tampaknya membuat ia tak mampu menolak. Meski ia mendengus kesal pada awalnya. Dengan cepat Danisha menyodorkan minuman dan keduanya berjoget dilantai dansa. Tubuh mereka terus bergerak, dan mata hijau Nathan tak dapat menampik pesona tubuh Danisha yang molek. Ia terus memandangi Danisha yang tampilannya malam ini sungguh cantik dan seksi tentunya. Dentuman musik yang terus memacu hingga membuat Nathan lupa akan segalanya. Entah gelas yang keberapa minuman-minuman itu masuk kedalam tubuhnya. Yang Nathan ingat kepalanya mulai terasa berat dan hari kian malam mendekati pergantian. Dengan langkah sempoyongan Nathan menepi dari lantai dansa. “Hey, kau akan kemana?” tanya Danisha sambil meraih tangan Nathan. Danisha sama mabuknya dengan Nathan. Gadis cantik itu bergelayut di bahu Nathan dengan kesadaran yang tinggal setengah. “Aku…aku akan pulang.” “Oh, noooo, darling.” Danisha merajuk, dan tidak melepaskan lengan Nathan dari lilitan tangannya. Ia meraih wajah Nathan sebelum mendorong tubuhnya yang sepoyongan ke sebuah sofa. “Lepaska,n Dan,” kata Nathan setegah sadar. “Tidak akan pernah.” Danisha mengatakannya sebelum ia membungkam Nathan dengan ciumannya dan ia berada diatas tubuh Nathan. Dan Nathan lupa apa yang terjadi setelahnya sampai tragedi nahas itu terjadi. Malang tak dapat ditampik, takdir tak dapat di cegah. Kesadaran yang menghilang, Nathan mengemudikan mobilnya bersama William. Mobil sedan mewah dipacu Nathan dengan kecepatan luar biasa melintasi jalanan dengan laju yang tanpa arah. Lampu jalanan seakan tak mereka hiraukan, mobil terus melaju di keheningan malam. Meski denyut kehidupan tak seutuhnya berhenti. Mobil melaju diatas jalanan beraspal, berbelok tajam dan tanpa diduga sesosok muncul dari sebuah gedung dan melintas diatas jalanan bercat hitam putih. Saat kematian datang menghampiri, pedal rem yang tak seutuhnya berfungsi, mobil melaju bagai malaikat pencabut nyawa. “Nathaaaaaaan!!!!!” Pekik William kencang dengan tubuh menempel pada jok mobil dan matanya terbelalak. Sesuatu telah membentur kaca mobil dan terdengar jatuh di jalanan, terlempar jauh. Decitan ban mobil yang berhenti seketika. “Kau…Kau menabraknya, Nathan.” Ucap William dengan wajah ketakutan. Nathan masih terperangah dengan apa yang terjadi di hadapannya. Mereka menoleh kebelakang, dan tampak seorang gadis yang menjerit histeris sambil memeluk tubuh seorang pria yang bersimbah darah. “Ayah, Ayaaaaahhh!!!” “Tidak mungkin,” desis Nathan panik. Ia menatap William dengan kelopak mata melebar, wajah keduanya berubah ketakutan. “Sebaiknya kita pergi dari sini. Sebelum mereka…” “Itu mobilnya!!!!” Suara teriakan seseorang dari arah belakang. Nathan dan William langsung menoleh dan mencari asal suara. Segerombolan orang berlari menghampiri mereka. “Kita kabur sekarang atau mati konyol ditangan mereka, Nathan. Let’s go!!!”   ***   Beberapa tahun telah berlalu. Nathan Stephenson telah berubah menjadi seorang pengusaha muda yang tampan, pintar, dan juga kaya raya serta menjadi incaran banyak wanita. Meski ia mewarisi semua harta kekayaan sang ayah, namun nyatanya bisnis yang dibuatnya sendiri tanpa embel-embel nama Stephenson berjalan sukses. Kini Nathan sedang merintis sebuah usaha minuman berbahan madu Meadery. Percakapannya dengan sang mama membawanya pada rasa bosan yang teramat sangat. Sepanjang percakapan keduanya melalui ponsel, Nathan hanya menjawab iya, tanpa membantah, tapi tidak dengan pembicaraan mengenai perjodohan. “Baiklah, Ma. Aku akan pulang. Tapi tidak untuk dijodohkan.” Terdengar suara klik, dan telepon terputus. Nathan meletakkan ponselnya kembali ke atas meja. Terdengar hembusan nafas kasar dari hidung mancungnya. Matanya mendapati sebuah frame foto berisikan sosok kedua orangtuanya, bersisian dengan perangkat tulis yang disediakan oleh sang sekretaris. Sesaat keheningan menyusup. Nathan hanya memandangi jemarinya yang memainkan pena di antara kedua jarinya. Memutar-mutar hingga jatuh di atas meja. Ia mengulanginya hingga beberapa kali sampai terdengar panggilan masuk dari pesawat telepon yang letaknya tak jauh dari jangkauannya. Saluran telepon dari sekretarisnya. Dengan enggan ia menekan sebuah tombol. “Yes, Daniella,” ujarnya dengan cepat. “Sir, ada telepon untuk Anda di saluran satu.” Suara sang sekretaris terdengar diujung pesawat teleponnya yang sengaja ia load speaker. “Dari siapa? Jika itu dari Mamaku, katakan aku sedang meeting, Daniella.” Terdengar suara lelah dalam suara Nathan. Ia telah merasa bosan dengan kegilaan mamanya untuk terus menjodohkannya dengan banyak wanita. Meski semua wanita yang diajukan padanya cantik tanpa cela, namun bagi Nathan semua wanita itu tak ada yang mampu membuat hatinya bergetar. “Dari Paman Anda, Mr. Grayson.” “Sambungkan untukku, Daniella.” Dengan cepat sambungan jarak jauh terhubung. Rasa antusias seketika tumbuh dalam diri Nathan begitu mendapati nama Pamannya disebut. Nathan memperbaiki posisi duduknya. “Hello anak muda,” sang Paman memulai percakapan, “tampaknya sedang sibuk hingga membiarkan pamanmu ini menunggu hanya untuk berbicara denganmu,” celoteh sang Paman melanjutkan perkataannya di telepon. Nathan terkekeh sambil melempar tatapan matanya keluar jendela. Tampak langit cerah dengan awan yang berjejer rapi. Cuaca yang bersahabat di langit kota Vancouver, Canada. “Tidak seperti itu, Paman.” Nathan mencoba membela diri. Ia mencondongkan tubuhnya untuk mendekat ke pesawat telepon. “Mamamu mengatakan kalau kau--” “Ya, aku akan pulang,” sela Nathan cepat sambil mengangguk-anggukan kepala meski ia sedang seorang diri dalam ruang kerjanya. Ruang kerja yang berukuran besar, lengkap dengan satu buah set sofa, televisi layar datar, lemari besar yang menutupi salah satu sisi dinding yang berisikan buku-buku dari penulis terkenal. Kali ini Jacob, sang Paman yang terkekeh. “Aku yakin, Paman menghubungiku bukan untuk membicarakan hal konyol ini, kan?” “Oh, tentu saja bukan. Hanya sebuah kebetulan saja. Aku mendengar percakapan kalian.” Bayangan suara Valerie Grayson yang penuh antusias untuk menggambarkan sosok wanita yang akan dijodohkan dengannya, melintasi kepala Nathan. Nathan menghela nafas dalam, menghempaskan punggungnya kesandaran kursi kerjanya yang besar. “Ya, seperti yang paman dengar, mamaku memintaku untuk pulang segera. Dan mama ingin mengenalkanku pada seseorang. Sungguh menyebalkan,” ungkap Nathan panjang lebar dan terdengar kesal diakhir kalimat yang meluncur dari bibirnya. “Gadis itu lulus tahun ini, Nathan. Ia lulusan terbaik.” Nathan langsung duduk tegak. Matanya melebar. Ia mematung bagai tersengat ribuan volt aliran listrik. “Sungguh?” desis Nathan dengan suara pelan nyaris berbisik. “Ya, semoga berita ini dapat menghapus rasa bersalahmu padanya, Nathan.” Nathan merasakan sesak didadanya. Bayangan malam kelabu beberapa tahun silam melintasi kembali kepalanya. Suara pekikan dan decitan ban yang melaju cepat  yang terlambat ia kendalikan. Sebuah malapetaka yang tak dapat ia hindari. Nathan tenggelam dalam dunianya. “Nathan,” panggil Jacob. Tak ada jawaban. “Kau baik-baik saja?” tanya Jacob kali ini. Nathan mengerjap kaget. Ia menelan ludah, menyingkirkan keterkejutannya. “Ya, aku baik-baik saja, Paman.” Nathan mengucapkannya dengan lantang meski perasaannya bercampur aduk. Nafasnya tersedak. Nathan menghela nafas panjang dan menghembuskannya dengan kasar. “Aku akan pulang besok, Paman.” “Serius? Kau yakin?” “Ya, aku akan pulang besok.” Nathan mengucapkannya dengan lantang tanpa rasa ragu, bahkan rasa enggan yang tampak jelas dari percakapan sebelumnya dengan sang mama, lenyap seketika entah kemana. Membuat Jacob terkejut. “Baiklah, Paman tunggu kepulanganmu, Nak.” Percakapan berakhir, menyisakan Nathan dengan dunia yang ada di dalam kepalanya. Wajah gadis itu melintasi kembali dalam pikirannya. Teriakan histeris, dan wajahnya yang penuh airmata masih membuatnya bergetar hebat. Rasa bersalah dan kasihan membalut menjadi satu. Hingga menyisakan kebekuan dalam dirinya selama ini.   “Aku akan menemuinya segera,” batin Nathan seorang diri sebelum beranjak dari kursinya, memasukan laptop dihadapannya ke dalam tas. Berjalan meninggalkan ruangan. Daniella tampak terkejut dengan kemunculan Nathan dari balik pintu rungannya. Ia langsung berdiri dari kursinya. “Daniella, tolong kau batalkan semua pertemuanku besok. Dan ganti semua meeting dengan teleconferance,” Nathan memerintahkan pada Daniella. Gadis cantik tinggi semampai dengan rambut hitam tergerai itu langsung meraih ponselnya dan mencatat perintah sang CEO. Nathan masih berdiri di seberang mejanya. “Anda akan--” “Ya, aku akan pulang ke Manhattan. Dan mungkin akan menetap di sana untuk beberapa saat.” Nathan memotong kalimat Daniella. Gadis itu tetap merasakan grogi acap kali berhadapan dengan Nathan, meski ia telah bekerja untuk Nathan selama tiga tahun. “Baik akan saya siapkan semuanya untuk Anda, Sir,” ucap Daniella dengan senyuman yang terselip diujung bibirnya. Namun seperti biasanya, Nathan hanya menunjukkan wajah datar, tanpa senyum. Dan Nathan memang terkenal dingin dimata para karyawannya. Nathan bergegas meninggalkan kantornya menuju lift yang membawanya hingga ke lobi.   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD