Nathan - 2

1739 Words
Pukul 10 am. Langit kota tampak cerah hari ini, dengan cahaya matahari yang terasa hangat mengenai kulit lengannya yang terbuka. Banyak hal yang harus gadis itu lakukan hari ini. Anya Thomson, gadis imigran yang berasal dari Amerika Selatan. Ayah yang berasal dari Argentina dan ibu yang berasal dari Boston. Anya yang sebatang kara kini tinggal bersama bibi dari ibunya dan juga sepupunya Fedra di sebuah kawasan kumuh kota Boston. Ibunya meninggal saat melahirkan Anya, dan ayahnya meregang nyawa pada malam nahas usai sebuah mobil menghempaskannya hingga ketepian jalan. Sejak malam itu, Anya menjadi sebatang kara hingga bibinya yang baik hati berkenan untuk menjadikannya bagian dari keluarga kecilnya. Ia telah meminta izin dengan Bibi Sue untuk hari ini ia tidak dapat membantunya mengantarkan pesanan ke beberapa restoran yang menjadi langganan sang bibi. Anya harus menyelesaikan urusannya di kampus sebelum acara kelulusannya dari universitas Massachusetts Institute of Technology, Boston. Menekuri jalur yang terlalui secara cepat dari kaca jendela kereta bawah tanah. Penuh sesak terasa diantara himpitan penumpang lainnya. Mereka berbondong-bondong ke tempat aktifitas masing-masing, sama halnya dengan diri Anya. Rasa kantuk masih bergelayut hebat di pelupuk mata bulatnya yang berwarna biru. Usai diterjang mimpi yang sama. Seburat wajah yang masih segar dalam ingatannya. Wajah milik ibu dari pembunuh ayahnya. Kecongkakan yang menjulang, tawaran uang sebanyak yang Anya dan keluarganya inginkan. Lamunannya hancur saat Anya merasakan sesuatu bergetar dari dalam tasnya. Anya memasukkan tangannya untuk mencari sumber getaran. Mengaduk-aduk isi tasnya. Ponsel yang berubah terang dengan kemunculan nama Casey. “Anya, kau dimana? Aku sudah ada di kantin kampus, babe.” Casey langsung menyembur Anya dengan ocehan. Terdengar suara riuh dibelakang dirinya. “Aku sudah hampir sampai. Tinggal satu stasiun lagi,” Anya menjawab dengan melirik papan destinasi yang terpasang di dinding kereta. “Baiklah, hubungi aku jika kau sudah sampai. Bye, An.” “Bye,” balas Anya pelan sambil menekan tombol merah untuk mengakhiri percakapan. Beberapa menit berselang, terdengar suara pengumuman dari pengeras suara. Memekik keseluruh sudut gerbong. Anya telah sampai di tempat tujuannya. Beranjak dari kursi, menembus keramaian gerbong, berdesakan di pagi hari bagai rutinitas baginya selama 4 tahun terakhir selama awal pekan.   Gadis cantik itu berhasil tiba di kampus dengan cepat. Beredar diantara keramaian kampus yang belum berubah. Masih tetap sama. Keriuhan, kesibukan, dan diskusi-diskusi dalam kelompok kecil yang tersebar di sudut-sudut lorong. Dengan langkah lebar Anya melangkah menuju kantin. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan mencari sosok Casey, gadis cantik yang tomboy.   Kantin dengan ruangan yang luas. Meja dan kursi yang entah berapa banyak jumlahnya, meja saji yang memanjang dan pembatas yang membentang membentuk antrian. Mata bulat Anya beredar kesetiap sudut, tatapan matanya menjelajah, mengamati banyak orang, diantara kepala-kepala dihadapannya. Bagai mencari jarum dalam jerami. Dengan tak sabar, Anya kembali mengambil ponselnya, mengirimkan pesan pada Casey. “Cas, kau dimana? Aku sudah sampai di kantin.” Tulis Anya dalam sebuah pesan pendek. Belum sampai ia mematikan ponselnya, Anya dibuat terkejut. “Aku di belakangmu, Anya cantik,” ucap Casey yang muncul tiba-tiba dari arah belakangnya. Seketika Anya berjingkat kaget. Mata birunya melebar, dan ia mendengus kesal, “Kau ini—” Casey terkekeh dan Anya memanyunkan bibirnya. “Habis dikejar hantu ya? Nafasmu sampai seperti itu,” selak Casey sebelum protes yang meluncur bebas dari bibir Anya. Tampak Anya yang siap dengan banyak protes. Casey menepuk bahu Anya pelan dan keduanya saling melepaskan senyuman. Anya menghela nafas panjang lalu menghembuskannya dengan kelegaan. “Aku ada janji bertemu dengan profesor.” Suara Anya terdengar lebih tenang sekarang. Ia mendapati tatapan mata Casey yang kebingungan setelahnya. “Prof. Stuart menawariku sebuah pekerjaan di salah satu koleganya.” Anya memulai ceritanya usai semalam ia mendapatkan pesan dari sang professor. Ia diminta datang pagi ini ke kampus. Keduanya berjalan menyusuri keramaian sampai pada sebuah meja kosong, tepat untuk dua orang. Kedua gadis cantik itu menarik kursi masing-masing dalam waktu yang nyaris bersamaan. Menghasilkan bunyi decit pada lantai yang bergesekan dengan kaki kursi. “Kau yakin?” Casey bertanya dengan sebelah alis terangkat. Anya menjawab dengan mengangguk cepat. “Kau ingin pesan apa?” tanya Casey usai keduanya duduk berseberangan diantara keramaian kantin kampus. Suara obrolan, teriakan, tawa dan beraneka ragam kegaduhan lainnya yang mengelilingi keduanya. Anya tersenyum manis sebelum ia menjawab pertanyaan Casey.   “Tidak, aku tidak lapar. Bibi Sue telah membuatku kekenyangan pagi ini.” Kenyataan yang tidak dapat Anya sembunyikan dari sahabatnya Casey “Dan kau tidak membawakannya untukku, An? Betapa aku merindukan masakan Bibimu.” Anya tersenyum melihat Casey yang manyun di hadapannya.    Jarum jam mengingatkan Anya akan janji temunya dengan sang profesor. Mata bulatnya terbelalak, waktunya tinggal lima menit dari sekarang. “Lebih baik aku menemuinya sekarang,” ucap Anya dengan tergesa-gesa. “Kau tidak menemaniku makan?” “Tidak kali ini, Dear.” Anya berpamitan sambil beranjak dari kursi. Tas selempang mendarat mulus di bahu kanannya. “Aku ingin mengundangmu untuk acara ulang tahun pernikahan orangtuaku akhir pekan ini.” Anya terdiam untuk beberapa detik, keduanya bertatapan. “Sudah temui dulu profesor galak itu. Aku akan menunggumu di perpustakaan.” Casey menepuk bahu Anya pelan dan Anya tersenyum setelahnya, “Ya kau benar. Aku pergi dulu. Aku akan menemuimu secepatnya. Bye.” “Good luck, An.” Keduanya saling melepaskan senyuman dan Anya bergegas pergi. Berhambur diantara keramaian dan menghilang di balik dinding. Meninggalkan Casey sahabatnya seorang diri.   ***   “Ibu sedang membuat apa?” tanya Fedra saat dirinya memasuki rumah. “Ibu sedang membuatkan gaun untuk acara wisuda adikmu, Fedra.” Sang ibu menyahut tanpa menoleh. Sue, sang ibu tampak sedang menekuri sulaman yang ada ditangannya. “Dia bukan adikku, Ibu,” timpal Fedra kesal. Tampak Fedra merasakan perasaan tidak senang dengan apa yang didengarnya. “Bisakah kau tidak mengatakan hal itu terus menerus?” protes Sue sambil mengangkat wajahnya untuk menatap Fedra yang menatapnya dengan tajam. Kedua rahang Fedra mengeras karena kesal. “Itu kenyataannya Ibu. Dia memang bukan adikku. Dia hanya sepupuku.” Fedra meracau. Fedra, sosok cantik jelita, ia bekerja sebagai sekretaris di sebuah kantor pemasaran properti. Usianya hanya selisih dua tahun dari Anya.     “Kau tidak pernah berubah, Fedra.” Keduanya bertatapan lurus, ada amarah dan kesal dalam tatapan keduanya. “Tidak bisa kah dia membelinya sendiri? Kenapa harus Ibu yang membuatkannya,” protes Fedra dengan wajah tidak senang, menghempaskan dirinya di sofa butut yang ada di rumah sederhana yang mereka tinggali. Sue menghela nafas dalam, dan menghembuskannya perlahan. Mencoba untuk menahan perasaan sedih dalam hatinya akan sikap Fedra yang selalu sinis dan merasa bersaing pada Anya selama ini. “Minggu depan hari penting bagi adikmu, Fedra. Ibu ingin Anya terlihat cantik.” Ujar Sue sebelum ia melanjutkan pekerjaannya kembali. Fedra melirik ibunya dengan tatapan sinis. “Dia sedang bersenang-senang dengan teman kaya rayanya, Ibu. Lagi pula Anya bukan anak Ibu.” Fedra meracau tak karuan. Banyak rasa iri bersemayam di dalam hatinya. “Fedra!” hardik Sue dengan suara yang tak sampai untuk memekik. Kedua kelopak mata Sue melebar, tertuju lurus kearah Fedra. Sikap Fedra seakan biasa saja, ia mengabaikan reaksi Sue, ibunya. Perseteruan yang tidak akan pernah usai dalam keluarga Platas, sejak Anya diasuh oleh Sue. Fedra beranjak dari sofa, berjalan menghampiri ibunya yang duduk di kursi meja makan. Ia membungkukkan tubuhnya di sisi ibunya. “Ingat, Ibu, Anya lah yang menjadi penyebab kematian kedua orangtuanya.” “Fedra!!!” pekik Sue kali ini tak tahan lagi sambil beranjak dari kursi yang didudukinya. Berbalik menghadap Fedra dan menatapnya dengan nanar, “Jangan pernah kau salahkan adikmu—” “Ya…ya..ya,” sela Fedra dengan senyum miring, “Anya anak ibu, hanya Anya.” Dengan kesal dan amarah Fedra menyambar tasnya dan beranjak meninggalkan rumah, meninggalkan suara bantingan pada pintu di belakang langkahnya. “Ya, Tuhan,” desis Sue sepeninggal Fedra. Ia duduk kembali dikursinya dengan tatapan kosong dan napas yang terasa sesak.   *** Melayangkan tatapan matanya ke seluruh penjuru area parkiran mobil. Mencari sosok Casey yang mengirimi Anya pesan singkat bahwa ia saat ini sudah ada di parkiran. Anya telah menelusurinya, tapi tak juga ia temukan sosok tomboy nan cantik Casey. “Hi, An,” sapa Dave yang tiba-tiba muncul dari arah belakang. “Hi, Dave,” balasan dari Anya dengan seulas senyum diwajah saat tubuhnya berputar diatas tumitnya. Anya mencoba menutupi rasa terkejutnya. Dave terus menatap Anya dengan tatapan kagum dengan gadis cantik di hadapannya. Meski jelas Anya merasa tak nyaman dengan tatapan yang diterimanya. “Kau mencari siapa? Aku bersedia mengantarmu pulang, An.” Dave menawarkan diri dengan penuh percaya diri. Anya terdiam, mendapati tatapan mata Dave yang tertuju padanya sambil tersenyum. Anya menelan ludah sebelum membalasnya, ia tersenyum ragu. “Terima kasih, Dave. Aku—” “Anya!!!” Suara teriakan milik Casey. Seketika Anya dan Dave mencari asal suara yang terdengar tidak jauh. Keduanya celingukan, hingga pandangan mata Anya mendapati Casey yang melambaikan tangannya ke udara. “Ayo cepat!!! Aku sudah lapaaarr!!” Suara Casey bergema diantara keheningan parkiran gedung kampus. Anya meringis dihadapan Dave yang masih menatapnya. “Hmm, maaf ya. Casey sudah menungguku,” kata Anya dengan sikap salah tingkah. Ada perasaan tak enak yang menyelinap dalam benak Anya. Ia merasa dewi cinta dalam dirimnya sedang menggoda dan terkekeh dengan kegugupannya saat ini. “Bye, Da--” “An, tunggu,” potong Dave sambil meraih lengan Anya. Anya mengangkat wajahnya untuk menatap Dave dihadapannya. “An, aku… boleh aku yang menjemputmu di acara wisuda minggu depan?” tanya Dave tanpa basa-basi. Bagai sengatan listrik, Anya mematung ditempatnya. Kelopak matanya melebar dengan pertanyaan yang meluncur dari mulut Dave, dan nafasnya terasa tersedak. “Anya!! Ayo cepat!!” pekik Casey sekali lagi dari mobilnya. Bagai tersadarkan, Anya mengerjap lepas dari kebisuan. “Aku… harus sekarang kah aku menjawabnya, Dave?” “Tidak, kau bisa menghubungiku.” Anya tersenyum lagi sambil melirik Casey yang sudah tampak kesal. Anya mampu melihat Casey yang mendengus dari sudut matanya. “Baiklah, aku pergi dulu. Bye, Dave.” Pamit Anya sopan sambil bergegas meninggalkan Dave di tempatnya menuju mobil Casey yang terparkir tak jauh dari tempatnya berada. “Bye, An,” balas Dave dengan perasaan bahagia. Anya berjalan menghampiri Casey, tanpa menoleh lagi kebelakang, Anya melangkah dibawah tatapan mata Casey dan Dave. “Kalian membicarakan apa?” tanya Casey begitu mendapati Anya yang telah duduk dikursi penumpang disebelahnya. Anya memasang sabuk pengaman, melilit di tubuh bagian depannya. “Dia hanya menyapaku dan menawarkan diri untuk—” “Mengantarmu pulang?” sambar Casey dengan senyum mencibir. Anya mengangguk dengan ragu. Melirik Casey di balik kemudi. “Kau tidak cemburu dan marah padaku karena hal ini, kan?” Anya memastikan menanyakan hal itu saat Casey mulai melajukan mobilnya meninggalkan parkiran. Dan Dave masih disana, memandangi kepergian mereka. “Ya Tuhan, dia masih di sana, An,” desis Casey sambil melirik ke arah Dave. Mobil melaju, kembali ke jalanan yang ramai kota Boston. Keduanya terdiam beberapa detik sampai Casey mengeluarkan suaranya. “Dave tidak tertarik padaku, An. Mungkin dia tertarik padamu,” seloroh Casey sambil melirik Anya disebelahnya. Anya tersenyum kecut. “Tidak, Cas. Aku rasa kau yang lebih cocok dengannya. Kalian sama-sama—” “Kaya?” sambar Casey, melirik Anya sekali lagi sebelum menatap ke jalanan di depannya. Anya menelan ludah. Anya menghempaskan punggungnya pada sandaran jok. “Kau tidak pernah bosan mengecilkan dirimu sendiri, An,” ujar Casey, ada jeda sebentar. “Kau gadis penerima beasiswa, lulusan terbaik dari universitas terbaik. Bodoh saja kalau masih mencari kekayaan. Perasaan tidak pernah ada hubungannya dengan—” “Aku tidak akan pernah menikung temanku sendiri,” selaku tak ingin kalah.   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD