Part 1

1278 Words
"Baiklah, kalau gitu kita semua sepakat untuk menjadikan Gwen sebagai model iklan sekaligus BA produk terbaru kita yang akan rilis satu bulan lagi. Segera hubungi manager Gwen untuk membicarakan kontrak, rapat kita akhiri karena sudah masuk waktu istirahat," ungkap Hendery selaku direktur utama sekaligus pemilik perusahaan. Semua orang yang ada di ruang rapat bergegas merapikan barang-barang mereka lalu keluar dari ruangan, tidak lupa mereka berpamitan kepada sang direktur. Dini juga tengah membereskan barang miliknya dan akan keluar sebelum suara berat Hendery memanggil namanya. "Dini." Sang gadis langsung menoleh ke arah suara dan menanggapi panggilan sang atasan. "Ada apa, Pak?" Hendery ingin mengucapkan sesuatu, tetapi tampaknya ia sedikit ragu untuk mengutarakannya, dapat dilihat dari ekspresi wajah dan juga gerakan tangannya. "Makan siang sama saya, ada yang mau saya bicarakan sama kamu," ungkapnya kemudian, lalu ia segera keluar dari ruang rapat. Namun, ketika ia mencapai pintu, Hendery kembali berbalik. "Saya tunggu di parkiran." Setelahnya pria itu benar-benar keluar dari ruangan. Dini hanya mengangguk dan berdiri diam di ruang rapat sambil melihat kepergian atasannya sebelum akhirnya ia tersadar dan bergegas keluar. Ia sangat hapal tabiat sang atasan. Jika terlambat satu detik saja, maka ceramah panjang akan keluar dari mulutnya. Bahkan ia heran dengan dirinya sendiri yang sampai saat ini masih bertahan bekerja sama dengan pria itu. Dini meletakkan barangnya di meja kerja dan mengambil tas lalu bergegas pergi ke lantai bawah. Jika bosnya menunggu di parkiran, itu artinya mereka akan makan siang di luar kantor, padahal di lantai satu sudah disediakan kantin untuk pegawai. Namun, ia tidak ambil pusing. Lagipula bos besar seperti atasannya itu memang tidak pernah terlihat di kantin kantor ketika jam makan siang. Dini masih menerka-nerka apa yang akan dibicarakan sang atasan dengan dirinya. Ia sudah sering dimintai bantuan Hendery di luar pekerjaan, ia yakin lelaki itu akan meminta bantuannya lagi kali ini. "Dini, ke kantin bareng, yuk?" ajak salah teman kerjanya. Dini yang sedari tadi fokus melamun langsung tersadar. "Aku ada janji di luar, kamu duluan aja," balasnya. "Sama Pak Hendery, ya?" tebak sang teman dengan ekspresi wajah mengejek. "Tahu dari mana?" Dini mengerutkan dahi. "Tadi aku ga sengaja denger percakapan kalian di ruang rapat, hehe." Dini berdecak sebal lalu menyentil kepala sang teman. "Dewi, kamu kebiasaan banget nguping pembicaraan orang. Udah, ya. Aku buru-buru, takut dimarahin Pak Hendery kalau telat." Dini langsung berjalan meninggalkan Dewi, sementara gadis yang ditinggal hanya tersenyum sambil melihat punggung temannya yang semakin menjauh. "Dasar Dini, masih gak peka juga itu anak," decaknya lalu berjalan menuju kantin seorang diri. Di sisi lain, Dini sudah berada di lantai paling bawah, tempat parkir. Gadis itu langsung berjalan menuju ke mobil sang atasan. Di sana, Hendery sudah menunggu. Mereka tidak berdua, melainkan bertiga bersama dengan pak supir. Setelah Hendery memberikan isyarat pada Dini untuk masuk ke dalam. Gadis itu langsung masuk dan duduk di jok sebelah supir dan mobil pun mulai melaju meninggalkan area kantor. Di dalam perjalanan, ketiga orang tadi hanya diam. Tidak ada suara apa pun selain deru mesin mobil yang terlampau halus. Setelah menempuh sekitar sepuluh menit perjalanan, akhirnya mereka telah sampai di salah satu restoran langganan Hendery. Dini hapal persis karena mereka selalu pergi ke sana bila ada pertemuan penting dengan klien atau ketika Hendery meminta bantuan Dini sama seperti sebelumnya. Dini langsung keluar dari mobil bersamaan dengan Hendery. Keduanya masuk dan langsung duduk di meja yang ternyata sudah dipesan oleh Hendery. Keduanya duduk dan langsung memesan makanan. Dini masih penasaran kenapa Hendery mengajaknya untuk makan siang di restoran. Namun, ia ragu untuk menanyakan hal tersebut. Ia akan menunggu Hendery sendiri saja yang memberitahukannya. "Jadi saya mau minta tolong lagi sama kamu, Din," ucap Hendery setelah lelaki itu diam sedari tadi. "Bantuan apa lagi, Pak?" tanya Dini. "Udah saya bilang kalau kita lagi berdua jangan panggil, Pak! Kamu kayak sama siapa aja, Din," protesnya. Dini hanya tersenyum canggung. Memang benar ia telah lama mengenal Hendery karena lelaki itu adalah seniornya ketika di kampus. Namun, sekarang mereka adalah atasan dan bawahan, jadi agak canggung untuk berbicara dengan nada santai. Baru saja Hendery ingin angkat bicara, tetapi pelayan datang dan membawakan mereka minuman. Setelah kepergian pelayan tadi, Hendery berdeham dan mencoba membuka percakapan kembali. "Jadi gini, saya mau minta tolong sama kamu. Orang tua saya mau supaya saya cepet nikah." Dini yang tadinya asik dengan gelas minumannya kini tampak langsung fokus pada arah pembicaraan sang atasan. "Lalu?" tanyanya yang masih belum paham arah pembicaraan. "Bantuin saya, Din. Saya mau kamu jadi calon istri saya. Orang tua saya mengancam akan nikahin saya sama Jessi kalau saya belum nikah." Perkataan sang atasan yang terdengar konyol tentu saja membuat Dini langsung tersedak minuman yang ia telan karena terkejut. Mata gadis itu melotot tidak percaya. "Bapak jangan ngaco, deh! Bercandanya gak lucu." Hendery diam sambil tetap menatap Dini dengan wajah serius. Membuat gadis itu langsung tersadar. "Ba—bapak serius?" gagap Dini. Hendery hanya mengangguk menanggapinya. "Ta—tapi, Pak." Belum selesai Dini berbicara, Hendery sudah memotongnya. "Saya tahu ini terlalu cepat buat kamu, tapi saya serius, Din. Saya suka sama kamu udah dari lama." "Ini bukan karena Bapak gak mau nikah sama Jessi, 'kan?" tanya Dini memastikan. Hendery menggeleng. "Saya memang sudah berniat mau melamar kamu, Din, tapi ternyata lebih cepat dari dugaan saya." Dini mematung di tempat, ia bingung harus bersikap bagaimana. Ini terlalu cepat untuknya. Ia tidak menyangka jika Hendery memendam rasa padanya. Ia hanya menganggap lelaki itu sebagai atasan dan seniornya di bangku perkuliahan, tidak lebih. "Saya gak akan memaksa kamu jawab sekarang, Din. Saya kasih kamu waktu satu bulan untuk memikirkannya, tapi saya harap kamu mau menerimanya." Dini masih diam, kini dirinya sangat canggung. Sungguh rasanya ia ingin pergi saja dari sana. Hendery pun ikut diam setelahnya. Suasana menjadi hening karena mereka memang berada di private room. Sampai akhirnya pelayan kembali datang sambil membawa nampan makanan. Dini mengambil garpu dan pisau dengan tangan gemetaran karena masih terkejut dengan apa yang telah ia lalui barusan. "Ga perlu grogi juga, Din." Dini langsung mendongak menatap Hendery, pipinya bersemu merah karena malu. "Kenapa bapak gak mau nikah sama Jessi? Padahal Jessi itu temen kuliah Bapak dan udah akrab sama orang tua Bapak," tanya Dini terheran. "Karena saya sukanya sama kamu, Din. Lagipula Jessi bukan tipe wanita idaman saya. Dia terlalu glamour, manja dan boros. Sikapnya masih childish." Detak jantung Dini semakin kencang setelah mendengar ungkapan Hendery. Ia semakin bingung sekarang. Bisa saja ia menerima tawaran lelaki itu. Namun, apa hatinya mampu? Di dalam lubuk hati Dini, nama Dika masih bertahta di sana. Dika telah menjadi raja di hatinya meski lelaki itu telah memiliki pujaan hatinya. Mereka juga telah mempersiapkan segala hal untuk pernikahan. Dini bimbang. Tiba-tiba ia tidak berselera untuk makan. Steak yang ia makan terasa hambar. "Kamu kenapa, Din? Apa pernyataan saya tadi jadi membebanimu?" Hendery bertanya setelah melihat perubahan raut Dini. Dini langsung menggeleng. "Saya baik-baik aja, Pak. Cuma masih sedikit kaget." "Saya serius dengan kamu, Dini. Saya harap kamu bisa memikirkan hal ini dengan matang." Hendery tersenyum sesaat lalu ia lanjutkan ucapannya. "Anna uhibbuka fillah, Aurelia Andini." Dini hanya bisa melongo mendengar penuturan Hendery. Dadanya berdebar kencang, entar karena malu atau hal lain. Sungguh jika saja waktu bisa diputar, maka ia akan lebih memilih untuk menolak ajakan sang atasan dan tidak mendengarkan hal tersebut dari mulut atasannya. Dini bahkan sudah kesulitan memegang alat makan dan tidak bisa melanjutkan acara makan siangnya karena kedua tangan masih gemetar. "Udah selesai makannya? Kita balik ke kantor, jam makan siang udah mau habis." Dini menatap Hendery sekilas lalu mengangguk cepat. Hendery memanggil pelayan lalu membayar bill. Kemudian lelaki itu berdiri. Dini yang melihatnya langsung mengambil gelas minuman dan menegaknya, mengambil tas miliknya dan ikut berdiri. "Ayo, Pak." Setelahnya mereka berdua berjalan keluar dari restoran.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD