bc

Lili Untuk Keano

book_age12+
639
FOLLOW
2.5K
READ
love-triangle
tomboy
student
drama
comedy
bxg
genius
highschool
first love
school
like
intro-logo
Blurb

WARNING⚠️

PLAGIATOR TIDAK PUNYA IZIN UNTUK SEKEDAR MEMBACA SATU KATA PUN.

Lili hanyalah gadis biasa yang kini hidup penuh canggung bersama sang ayah setelah ibunya meninggal. Berawal dari insiden kuah bakso terbang, ia dan Keano akhirnya berpacaran. Namun, perbedaan di antara mereka yang sangat mendominasi menjadi tantangan tersendiri dalam kisah keduanya. Belum lagi kehadiran Kana yang seolah-olah menjadi tembok antara Lili dan Keano.

???

"Gue pengen hubungan kita ini seperti nama gue. Lili."

"Gimana?"

"Tulus."

"Ya, perasaan gue sama lo emang tulus."

"Tulus berarti lo nggak sembunyikan apa-apa lagi dari gue. Gue selalu berharap tahu semuanya tentang lo."

chap-preview
Free preview
Bab 1: Pemilihan Jurusan
??? Satu tahun, satu hari duduk di kelas jurusan ??? Hiruk pikuk mewarnai suasana kelas luas itu. Segelintir siswa berpakaian putih abu-abu dengan jas hitam berlambang SMA Cahaya Taruna tengah berkumpul, saling bersalaman, memperkenalkan diri masing-masing seolah baru kemarin menduduki bangku SMA. “Ck! Lepasin nggak baju gue?!” Gadis berambut panjang bergelombang itu membulatkan mata bulatnya pada temannya yang kini duduk di kursi dengan bibir mengerucut. “Lo bilang waktu itu bakal milih jurusan Bahasa! Kenapa malah lari ke IPA?” “Lili, gue nggak pernah bilang gitu!” Lili merengek lagi di kursinya. Kakinya mengentak ubin yang tak bersalah. Ini semua karena pemilihan jurusan di SMA Cahaya Taruna yang baru dibagi saat siswa-siswanya naik kelas dua. Padahal sejak SMP, dia tidak pernah pisah kelas dengan Lesli. Saking seringnya sama-sama, sekarang Lili seperti anak kecil yang tidak mau ditinggal ibunya pergi pasar. Saat pengisian formulir, Lili memilih jurusan Bahasa karena ia sadar potensinya memang cocok di jurusan itu. Sedari dulu, kelebihannya yang mampu menguasai bahasa Inggris dan Jerman serta hobi merangkai kata – kata hingga membentuk sebuah cerita membuatnya yakin memilih jurusan itu. Sekarang, dia sedang mencoba untuk mempelajari bahasa Spanyol. Mandarin nanti dulu. Satu lagi, alasan penting Lili memilih jurusan Bahasa. Tidak suka berkutat dengan rumus-rumus perhitungan. Hohoho ... Walaupun nantinya meet again dengan matematika, setidaknya dia bebas dari rumus Paman Kirchoff, Paman Albert, Paman Newton dan sederet fisikawan lainnya yang sering membuat otak Lili layaknya tali yang hampir putus. Lesli sendiri memilih jurusan MIPA. Lili menduga-duga, temannya itu masih punya hubungan darah dengan salah satu ilmuwan yang tadi ia sebutkan. Lesli sudah sering menjuarai olimpiade Sains sejak SMP. Sekarang SMA Cahaya Taruna harus bersyukur karena punya bibit unggul seperti Lesli. “Les, nggak ada niat untuk pindah jurusan?” bujuk Lili dengan puppy eyes-nya. Lesli mengulas senyum kecil dan menggeleng pelan. “Nggak, Lili Sayang. Gue emang dari sononya terlahir untuk ngisi kelas MIPA dan lo untuk kelas Bahasa. Jadi,” Lesli menjeda sejenak dan menyingkirkan tangan Lili dari bajunya, “nikmatin aja dua tahun ini tanpa sekelas dengan gue, oke?” “Les, lo beneran nggak mau berubah pikiran lagi?” Lesli menggeleng takzim. “Nggak ada lagi diskon ramyeon buat lo.” “Kalau begitu, nggak ada lagi guru privat gratis buat lo.” “Oke.” “Ingat, Li. Lo masih ketemu sama Ahjussi Phytagoras——“ “Oke, oke! Lo anak kelas MIPA!” potong Lili menyerah. Demi apa pun, dia tidak mau kehilangan guru privat gratisnya. Lesli terbahak pelan dan menepuk kepala Lili. “Gitu, dong. Nanti, deh, gue bakal sering ke sini atau lo sekalian yang ke kelas gue. Kita itu cuma beda gedung, Li, bukan beda sekolah.” Lili mengangguk dengan raut penuh paksaan. “Tapi, gue akrabnya cuma sama lo!” rengeknya lagi. Lesli lantas mencibir. Lili akrab cuma dengan dia? Bullshit! Dulu, baru sehari masuk SMA saja, cewek itu sudah akrab hampir dengan semua panitia MPLS yang notabenenya kakak kelas semua. Baru seminggu SMA, setiap melangkah keluar dari kelas, ada saja yang memanggil nama Lili. “Oi, Li, di toko lo lagi ada diskon, nggak?” “Oh, tenang, Say. Cuma hari ini, ada diskon lima puluh persen di toko gue!” “Apaan, tuh?” “Liptint ama bedak M*r*na!” “Anjir, lo kira gue udah belok, ya? Gue ini cowok, Nyet!” Hm, itu adalah satu dari sekian banyak obrolan konyol Lili bersama teman-teman seangkatannya. “Cuma sama gue?” beo Lesli terbahak, tapi sedetik kemudian suaranya berubah mencibir, “pembohongan publik! Bilang aja lo takut keteteran pas ulangan Matematika karena nggak ada gue yang jadi pelampung lo! Udah, ah, gue mau ke kelas gue, nih!” gerutu Lesli lalu beranjak keluar. Namun langkahnya terhenti ketika seorang pemuda muncul dari pintu kelas 2-1 Bahasa. Dengan songongnya, pemuda itu menyugar rambut cepaknya dan berjalan mendekati dua cewek yang masing-masing memperlihatkan ekspresi berbeda. Lesli yang tersenyum girang dan Lili yang melempar tatapan tajam, ingin mengoyak-ngoyak daging cowok itu. “Lo di kelas sini?” tanya Lesli antusias. Cowok itu mengangguk dan mengedikkan bahunya, memperbaiki letak tali tas yang tersampir di bahu kirinya. Niatnya ingin terlihat keren, namun Lili malah ingin muntah melihatnya. “Nah, udah cocok, nih! Lebih bagus kalau kalian sebangku! Kursi di sebelah Lili masih kosong, lho!” “Nggak!” sergah Lili garang. Ia mempelototi musuh bebuyutannya itu sejak SMP. Duduk sebangku? Cih, seumur-umur Lili tidak akan rela kursi di sebelahnya diisi oleh manusia sok keren itu. “Lo ngapain ke sini?!” “Hih? Kelas gue di sini, kok!” “Pindah kelas sana!” suruh Lili semena-mena. Tiga tahun sekelas saat SMP saja sudah membuat Lili muak. Ia bernapas lega saat tahu mereka beda kelas di tahun pertama SMA, tapi siapa sangka cowok itu ada lagi di sini. Sekelas bahkan berniat ingin sebangku dengannya. Cowok itu melotot tak terima. “Enak aja. Emangnya sekolah ini kakek moyang lo yang bangun?!” “Memang bukan, g****k! Kehadiran lo di sini sebelas dua belas sama jin. Sama-sama bikin nggak nyaman!” “Dih, sewot amat. Suka-suka guelah mau ada di kelas mana. Lagi pula, bukan gue yang nentuin mau di kelas mana.” “Kok, lo masuk jurusan Bahasa, sih?” tanya Lesli ingin mengakhiri adu mulut mereka. Cowok itu menepuk dadanya dengan bangga. “Kevan Putra Bram masuk jurusan Bahasa karena dia memang minat, Lesli.” “Halah, boong lo. Gue tahu lo tuh buntu bahasa asing. Kata ‘what’ aja lo nggak tahu apa artinya! Songong banget pake bilang masuk sini karena minat.” Lili menyerobot duluan. “Hei, hei, Lili Vorvene Arlie! Hati-hati sama omongan lo! Gue emang nggak tahu bahasa asing, tapi setidaknya gue lancar pidato bahasa Indonesia di depan banyak orang!” “Cih!” Lili mendecih. “Kevan Putra Bram pidato? Ngebacot kali.” Kalau sudah saling menyebutkan nama lengkap begini, Lesli tahu bakal ada pertunjukan adu bacot lagi. Ada baiknya dia ambil langkah seribu keluar dari kelas itu sebelum telinganya menderita. Lesli harap teman sekelas mereka menyesuaikan diri dengan tingkah laku dua manusia yang mengaku waras padahal aslinya meragukan itu. Setidaknya, dalam kurun dua tahun mereka harus terbiasa dengan itu. ??? Lili turun dari bus ketika berhenti di halte yang dekat dengan toserba ayahnya. Ia berjalan di atas trotoar dengan kepala tertunduk. Sekali-kali, kakinya menendang kerikil kecil dari halaman orang yang menyebar ke trotoar. Hari ini cukup menyenangkan sekaligus mengesalkan baginya. Ia bisa bertemu dengan teman-teman barunya, walaupun sedikit merasa kehilangan karena ia tak sekelas lagi dengan Lesli. Buruknya, ia harus sekelas sama Kevan, cowok pertama yang hampir saja melihat hal yang tak harus dilihat saat mereka SMP. Bruk! “As*!” Umpatan itu keluar begitu saja ketika bahu Lili ditabrak seseorang. Ia mendongak, menatap pelakunya dengan kesal. Namun, ia mengerjap sejenak ketika mengenali jas yang dipakai cowok itu sama dengan jasnya. Satu sekolahan gue, ya? Batin Lili. “Maaf,” ujar pemuda itu ramah menunduk sekilas lalu meneruskan langkahnya tanpa berbalik lagi. Lili menatap punggung yang kian menjauh itu. Di tangan pemuda itu, ada sekantong belanjaan. Lili menggaruk kepalanya bingung. Kalau dipikir-pikir, seharusnya dia yang minta maaf karena berjalan sambil menunduk. Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, seharusnya pemuda itu menghindarinya agar tidak terjadi kejadian seperti tadi. “Aish! Kenapa harus mikir itu, sih! Bodo amat, dah!” gerutu Lili lalu meneruskan langkahnya. “Kok, gue nggak pernah lihat cowok itu, ya?” gumam Lili berbalik sekilas. Cowok itu sudah menghilang dari pandangannya. “Mukanya kelihatan ramah begitu. Cowok pendiam kali, ya? Bodo amatlah, palingan dia juga bentar lagi lupa gue cewek yang ngumpatin dia.” Lili meneruskan langkahnya ke toserba ayahnya. Bangunan yang hampir mirip dengan indomaret namun sedikit lebih kecil itu sudah berdiri sejak setahun yang lalu. Hanya itu aset yang bisa diwariskan ayah Lili untuk putri tunggalnya. Bangunan yang perlahan-lahan mendongkrak ekonomi keluarga Lili secara perlahan, walaupun kadang masih pas-pasan, tapi setidaknya bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka. Sebuah suara yang mengucapkan ‘selamat datang’ otomatis terdengar ketika Lili membuka pintu yang terbuat dari kaca bening itu. Seluruh dinding toserba yang terbuat dari kaca tembus pandang membuat Lili bisa mengamati kegiatan di luar toserba. Sembari berjalan di antara deretan barang jualan menuju tempat kasir, Lili mengamati toserba yang tidak ada pengunjung lalu beralih pada ayahnya yang duduk dengan wajah tertelungkup di meja kasir. Langkah kaki Lili berhenti tepat di depan meja kasir. Dengan canggung, ia berdehem pelan untuk membangunkan ayahnya. “Ehem!” Ayahnya langsung menggeliat pelan dan mendongak. “Oh, kamu sudah pulang, Lili. Bagaimana sekolahmu hari ini?” “Baik.” “Kamu berhasil masuk jurusan Bahasa?” Lili mengangguk tak acuh. Tentu saja ia berhasil. Di SMA Cahaya Taruna, selain pengisian formulir pemilihan jurusan, nilai semester satu dan dua juga dilihat. Kalau nilainya saling mendukung dengan jurusan pilihan siswa, mereka akan berhasil dengan mudah. Namun, kalau bertentangan, tentu saja jurusan yang dimasuki sesuai dengan nilai tinggi mata pelajaran pada rapor. “Syukurlah kalau begitu.” Ayah Lili tersenyum kecil. Tangannya terangkat hendak menepuk pundak Lili, namun dengan segera Lili mundur untuk menghindar. Senyum ayah Lili sirna dalam sekejap. “Lili bakal jaga toko. Ayah pulang istirahat di rumah dulu,” ujar Lili datar. “Kamu tidak pulang ganti seragam dulu?” tanya ayah Lili sembari keluar dari meja. “Lili udah bawa pakaian ganti. Ada di belakang.” “Oh, iya. Kalau kamu lapar, ambil saja mie atau snack. Arya nanti datang jam enam sore gantiin kamu jaga. Papa pulang dulu, ya?” Lili mengangguk acuh dan masuk ke meja kasir. Ia meletakkan tas di bawah meja itu. Ayahnya yang masih berdiri di depannya tersenyum sendu lalu berbalik keluar dari toko. Lili menghentikan kegiatannya yang hanya dibuat-buat lalu memandang punggung ayahnya yang terlihat rapuh. Ayahnya pasti kelelahan dari pagi hingga jam tiga sore menjaga toko, tapi itu lebih baik dari pada harus jadi kuli bangunan, kan? Sampai saat ini, Lili masih tak menyangka dirinya bisa bertahan hidup canggung dengan ayahnya. Perasaan untuk berdamai dengan masa lalu dan melupakan semua yang sudah terjadi, kadang muncul dalam lubuk hatinya. Namun, selalu saja kalah dengan bayang-bayang masalalu yang pahit itu. Lili menghela napas berat dan membuka laci uang. Ia memijit keningnya ketika tak mendapatkan lembaran uang merah di laci itu. Hanya selembar uang lima puluh, dua puluh dan sepuluh ribu serta segepok uang lima ribu. Tangannya menggerakkan mouse dengan mata yang tertuju pada komputer kasir hendak mengecek hasil penjualan dalam bulan ini. Grafik batang yang tertera di layar komputer menunjukkan angka tinggi pada bulan Juni dan mulai menurun saat masuk bulan Juli. Lili mendecak pelan. Ia mengerti berdagang itu sudah pasti kadang laris kadang juga tidak, begitu juga dengan pekerjaan lain. Lili hanya khawatir mereka bangkrut dan semua usaha ayahnya selama ini sia-sia.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

True Love Agas Milly

read
197.9K
bc

PEMBANTU RASA BOS

read
16.3K
bc

Romantic Ghost

read
162.5K
bc

Cici BenCi Uncle (Benar-benar Cinta)

read
200.4K
bc

Bukan Ibu Pengganti

read
526.3K
bc

The Prince Meet The Princess

read
182.0K
bc

Akara's Love Story

read
259.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook