Bab 2: Insiden

1626 Words
??? Masa lalu dan awal permasalahan ??? Lili yang waktu itu masih kelas enam SD hanya bisa mengalirkan air mata ketika melihat ibunya yang terbaring lemah di rumah sakit. Tangan mungilnya meremas jemari ibunya yang makin kurus saja. “Ibu ... harus kuat, ya,” ucap gadis itu terisak. Sang ibu yang terbaring lemas hanya bisa mengangguk dan tersenyum lemah. Ia menggenggam jemari kecil putri tunggalnya dengan mata penuh harap. “Ayah kamu mana?” tanyanya dengan suara serak. Lili menunduk dan melepaskan tangannya. Ia menelan ludahnya dengan gugup. “Ayah, Ayah belum pulang kerja,” lirih Lili dengan binar kecewa, “Ibu nggak usah tanyain Ayah lagi. Ayah cuma mikirin tentang kerjaannya, nggak pernah mikirin Ibu.” Ibu Lili menggigit bibir mendengar kata-kata putrinya. Tangan kurusnya terangkat dengan gemetar, mengelus kepala putrinya yang makin menunduk dalam dengan bahu bergetar pelan. “Lili nggak boleh bilang begitu, ya. Ayah lagi berjuang nyari uang buat perawatan Ibu. Ingat, jangan pernah melawan kata-kata Ayah kamu, ya, Sayang.” “Ibu bilang gitu, seolah pengen pergi jauh.” Isakan Lili makin menjadi-jadi. “Ayah kamu sayaaang banget sama kamu. Makanya dia lagi berusaha kumpulin uang buat pengobatan Ibu. Kalau Ibu sembuh, kamu pasti juga bakalan seneng, ‘kan?” “Ibu janji bakal sembuh dan main bareng Lili lagi?” tanya Lili mengangkat kepalanya dengan mata penuh harap. Ibu Lili terdiam sesaat. Wanita itu menelan ludah susah payah. Air mata jatuh di sudut matanya. “Janji,” lirihnya hampir tak terdengar. Lili tersenyum dan mengelap air matanya. “Ingat, ya, kata-kata Ibu. Jangan pernah melawan Ayahmu seperti kemarin.” Lili menganggukkan kepala. Kemarin ia kelepasan membentak ayahnya yang tidak ke rumah sakit mengunjungi ibunya hingga lima hari. Padahal, ibunya yang menderita kanker hati baru saja dioperasi dan harus dirawat secara intensif di ruang ICU. “Iya, Ibu.” “Jangan berkelahi dengan teman-temanmu. Kamu tahu, ‘kan, kenapa Ibu ngasih kamu nama Lili?” Lili mengerutkan bibirnya, entah mengapa dia merasakan hal buruk akan datang menyapanya. “Ibu suka Lili putih. Lili putih artinya ketulusan, kesucian dan murni. Ibu pengen Lili selalu tulus dan tidak ingin mengharapkan apa pun kalau melakukan sesuatu.” “Benar, Sayang. Dan, untuk nama lengkap kamu artinya kekuatan. Kamu adalah kekuatan Ibu. Ibu harap kamu juga kuat menjalani hidupmu.” Lili mengangguk erat. “Ibu ngantuk. Mau temani Ibu tidur?” tanya ibu Lili lembut. Lili menarik napas panjang dan mengangguk kecil. Ia naik ke brankar ibunya dan baring di samping sang ibu. Ia memposisikan dirinya menyamping menghadap ibunya dan memeluk wanita itu dengan erat. “Dulu, Ibu selalu ceritain dongeng sebelum Lili tidur. Sekarang, giliran Lili yang ceritain dongen buat Ibu. Mau?” tanya Lili merapatkan wajahnya ke tubuh ibunya. Menghirup dalam-dalam aroma khas ibunya yang menenangkan. “Mau.” Sang ibu menjawab dengan suara yang makin melemah. “Lili tadi baca dongeng ini di perpustakaan sekolah.” Gadis itu menghela napas dan mulai bercerita. “Dahulu kala di sebuah hutan lebat, hiduplah seekor induk kucing dan anaknya. Induk kucing itu sangaaat menyayangi anaknya. Induk kucing itulah yang mencari makan untuk anaknya itu walaupun sang anak sudah mulai besar. Suatu hari, ketika sang induk jatuh sakit dan kucing itu pun memanggil anaknya. Dia menasehati anaknya agar mulai belajar mencari makan sendiri.” Tapi, anak kucing itu malah mengartikan lain ucapan induknya dan mengira induknya mengusirnya secara halus. Anak kucing itu pun marah dan pergi meninggalkan sang induk yang sakit-sakitan. Ia berkeliling hutan tanpa tujuan dan mencari apa pun yang bisa ia jadikan ibunya.” Lili terus bercerita mengenai anak kucing yang meminta matahari, awan, bukit, kerbau hingga rotan untuk menjadi ibunya karena melihat kelebihan mereka. Tapi, masing-masing semuanya mengutarakan kelemahannya. “Akhirnya, sang anak kucing sampai pada induk tikus dan meminta tikus itu agar menjadi induknya. Induk tikus pun heran. Ia lalu mengutarakan kemalangannya. Anak-anaknya selalu jadi korban seekor kucing tua itu. Namun, akhir-akhir ini anak-anak tikus itu bebas bermain lagi karena induk kucing itu sakit-sakitan. Anaknya yang tak tahu diri menelantarkannya dan pergi entah ke mana. Mendengar hal itu, sang anak kucing pun merasa menyesal. Ia akhirnya kembali pada ibunya dengan penuh penyesalan. Sang induk menerimanya dengan penuh kasih sayang dan akhirnya anak kucing itu pun menjadi kucing yang rajin.” Lili mengakhiri ceritanya dengan helaaan napas panjang. “Ceritanya bagus, Sayang.” “Hm, tapi Lili nggak akan seperti anak kucing itu, Bu. Lili akan terus berbakti dengan orang tua.” “Putri Ibu sudah pintar rupanya.” “Ibu tahu, Lili sayang banget sama Ibu.” “Ibu tahu itu, Sayang. Ibu istirahat, ya.” “Iya, Bu. Mimpi indah, ya.” Suara Lili bergetar. Sang ibu menutup mata disusul dengan butiran bening yang mengalir dari sudut matanya. Ia menghembuskan napas dengan panjang, melepaskan segalanya. Lili menggigit bibirnya hingga berdarah. Tangannya dengan gemetar menyentuh d**a ibunya. Tangisnya pecah ketika tak merasakan detak kehidupan lagi di sana. ??? Matahari yang menerobos melalui celah-celah tirai jendela kamar menerpa mata Lili yang tertutup rapat. Perlahan, matanya terbuka, memperlihatkan pupil cokelat yang makin terang ketika bertemu dengan cahaya. Lili menutup matanya kembali lalu membukanya perlahan sembari menyesuaikan dengan cahaya. Bibirnya tersenyum kecil kala mengingat mimpinya. Dalam mimpi, ia kembali terlempar ke momen terakhirnya bersama sang ibu. Lili tahu, ia seharusnya sedih mengingat itu. Namum, Lili tak dapat menampik bahwa perasaannya lega karena bisa menyatakan perasaan sayangnya pada sang ibu. Ia juga tidak bisa membiarkan ibunya menderita lama dengan kanker hati yang menggerogoti tubuhnya. Lili menatap langit-langit kamarnya yang putih polos tanpa sarang laba-laba di sudutnya. Perkataan ibunya tentang ayahnya membuat hatinya kembali tersentil. Andai saja waktu itu ayahnya lebih fokus pada pemakaman ibunya, mungkin hubungan mereka tak akan secanggung ini. Lili kecewa pada ayahnya yang lanjut kerja begitu saja setelah proses pemakaman ibunya. Lili ingin diperhatikan oleh ayahnya di masa-masa itu. Masa di mana ia harus kehilangan ibunya di umur yang masih belia. Lili ingin ayahnya ada di sisinya untuk memberinya kekuatan. Tapi, semuanya tidak berjalan sesuai harapan Lili. Bukannya menghibur Lili pasca kepergian ibunya, sang ayah malah pergi bekerja dan terus bekerja. Hingga suatu hari Lili tidak dapat menahan semuanya lagi dan mengatakan semua isi hatinya. Lili mengerti ayahnya bekerja untuk mencari uang agar mereka bisa melanjutkan hidup, tapi apa harus sekeras itu hingga tak memperhatikan putrinya sendiri? Sejak saat itulah tidak ada lagi kehangatan antara mereka. Lili tahu ayahnya ingin memperbaiki semuanya, namun ia selalu menghindar. Gadis berambut sebahu itu menghela napas berat memikirkan semuanya. Ia menggeser tubuhnya dan mengambil sesuatu dari laci nakasnya. Sebuah foto berbingkai putih. Fotonya dengan kedua orang tuanya saat ia masih berumur lima tahun. Mata Lili berkaca-kaca ketika menatap foto itu. Tangannya terangkat, mengusap permukaan halus foto itu. Ia juga ingin memperbaiki semuanya. Namun, gengsinya terlalu tinggi untuk melakukan itu dan momen ibunya meregang nyawa dalam pelukannya selalu terbayang-bayang ketika Lili mencoba untuk berdamai dengan semuanya. “Maafin Lili, Bu. Lili nggak nepatin kata-kata Lili. Pada akhirnya, Lili sama saja dengan anak kucing itu.” ??? Bruk! “Aduh!” Kevan yang berdiri di balik pintu terbahak-bahak ketika melihat Lili yang tersungkur akibat kaki panjangnya yang sengaja dijulurkan spesial untuk gadis itu. “Lo cari mati, ya?” tanya Lili mendengus kecil, masih berlutut di pintu kelasnya. “Nggak. Gue masih pengen lanjutin hidup, nikah sama cewek bohay dan punya anak sampai cicit,” jawab Kevan santai. Lili mendengus sinis. Ia berdiri sembari menepuk-nepuk rok abu-abu dengan aksen kotak-kotak hitam selaras dengan warna jas sekolahnya. Kepalanya menunduk menatap lututnya yang terbalut kaos putih. Untung saja lututnya tidak lecet. “Ooh, gitu, ya. Sini, deh,” panggil Lili dengan isyarat tangan. Dengan polosnya, Kevan mendekati gadis itu. “Kenapa?” Secepat kilat, gadis itu menjambak rambut pendek Kevan. “Sini, biar gue cabut nyawa lo!” “Lo bukan malaikat maut, anjir!” raung Kevan kesakitan. “Memang bukan malaikat maut. Gue asistennya! Mau apa lo?!” Beberapa siswa kelas 2-1 Bahasa yang sudah berada dalam ruangan hanya bisa mengorek telinga mereka dan menyumpalnya dengan earphone atau apa pun yang bisa menahan suara dua biang keributan itu agar tak masuk ke telinga mereka. “Udah nggak kedengaran?” salah satu dari mereka bertanya menggunakan bahasa isyarat. Yang lainnya menyahut, “Aman.” *** “Gimana kelas lo hari ini?” tanya Lesli membawa dua mangkuk bakso ke meja mereka. Lili mendesah pelan. “Diawali dengan kejadian yang bikin lutut gue sakit.” “Hm, gue tahu, nih. Gara-gara Kevan, ya?” Lili menarik mangkuk baksonya dan menambahkan say serta kecap ke dalamnya. “Yap,” sahutnya pendek. “Hati-hati, Li, terlalu benci lama-lama bisa berubah jadi cinta, lho,” ujar Lesli tersenyum kecil. “Amit-amit!” gerutu Lili pelan. Ia menyeruput pelan kuah baksonya dan mengangguk pelan, puas dengan racikan pedasnya. “Lagi pula, dia udah lihat paha lo, ‘kan?” “Jangan bahas itu di sini! Malu-maluin tahu!” Mata Lili melotot sempurna. Bisa-bisanya Lesli blak-blakan membahas itu di kantin yang sedang ramai. Kejadian di masalalu yang membuat Lili dan Kevan jadi musuh bebuyutan sekarang. “Nah, baru aja dibahas udah muncul!” seru Lesli tertahan. Lesli berbalik dan mendapati Kevan baru saja merapatkan bokongnya di kursi kantin yang tak jauh darinya. Hanya berjarak satu meja. Cowok itu bersama seseorang yang duduk bertolak belakang dengan Lili. “Kevan sama siapa, tuh?” tanya Lili acuh tak acuh dan melanjutkan menikmati baksonya. Lesli tak langsung menjawab. “Oh, itu teman sekelas gue. Dia emang temenan sama Kevan sejak kelas satu. Mereka dulu sekelas tapi pas pembagian pisah jurusan.” Lili hanya beroh-ria. Ketika Kevan berjalan melewatinya hendak memesan makanan, sebuah ide licik terlintas di pikiran Lili. Ini balasan karena lo udah buat gue jatuh di kelas tadi, batin Lili memandang punggung Kevan yang tengah antri memesan makanan. Ketika Kevan selesai, Lili langsung melancarkan aksinya. Ia menunduk agar Kevan tak melihatnya. Kakinya lantas dijulurkan keluar dari meja, menghalangi jalan. Aksi balas dendamnya berhasil. Kevan yang tak bisa melihat kaki Lili karena membawa baki berisi dua mangkuk bakso akhirnya tersungkur ke depan. Namun, Lili tak memikirkan bakso panas yang dibawa Kevan. Seolah dalam mode slow motion, Lili bisa melihat kuah bakso yang masih mengeluarkan uap terbuang dari mangkuknya, melayang di udara membentuk garis lengkung dan akhirnya mendarat di punggung orang tak bersalah. “KEANO!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD