Chapter 3

1838 Words
"Saya tidak tahu apa yang mambawa tuan muda kecil Nabhan menghadap saya di ruang ini," Randra memandang ke arah bocah berusia delapan tahun di depannya. "Saya datang dan duduk di depan kakek Ran karena saya mempunyai tujuan dan maksud." Randra tersenyum sambil menaikan sebelah alisnya. "Kakek Ran, pertama-tama saya mendoakan agar kesehatan dari kakek Ran selalu stabil dan sehat, saya juga mendoakan agar kakek Ran dan nenek Momok selalu bahagia bersama dan dilindungi oleh Allah yang Maha Kuasa," suara seorang bocah laki-laki berusia delapan tahun serius ke arah pria berusia 62 tahun itu. Randra, pria 62 tahun itu menaikan sebelah alisnya ketika melihat tampang serius dari bocah yang sedang berbicara serius dengannya ini. "Terima kasih atas doamu," Randra menanggapi. "Tidak masalah, sudah sepatutnya kita sebagai anak yang lebih muda untuk mendoakan orang tua," balas bocah itu. "Kedua, saya sangat berterima kasih karena atas ijin dari kakek Ran, saya dapat dengan bebas memasuki kediaman Basri disini," lanjut bocah itu. Randra menganggukan kepalanya. "Ketiga, seperti yang kakek Ran lihat sebelumnya bahwa saya dari kecil sangat menyukai dan mengikuti kemana Chana pergi, dan sampai sekarang kami satu sekolah, meskipun berbeda kelas tetapi saya sangat bersyukur," Aqlam memberi jeda pada percakapannya, dia memandang ke arah Randra dengan tatapan yang serius. "Tidak perlu menebak lagi, saya sudah tahu bahwa kakek Ran tahu isi hati saya, saya memberanikan diri untuk menemui kakek Ran adalah untuk meminta persetujuan dan ijin dari kakek Ran agar Chana akan menjadi istri masa depan saya, saya akan berusaha dan bekerja keras agar meyakinkan kakek Ran agar saya layak melamar Chana." "..." Randra memandang bocah yang berusia 8 tahun itu dengan tatapan yang super cengo. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya, bahwa anak laki-laki berusia 8 tahun datang dengan kemantapan dan kepercayaan diri untuk melamar cucu perempuannya. Sesungguhnya, Randra dangat tersanjung dan mengagumi keberanian bocah yang sedang duduk didepannya ini dengan tegak tanpa ketakutan atau kegugupan. Tuk Tuk Tuk Jari telunjuk Randra mengetuk-ngetuk meja di ruang kerjanya. Dia terlihat sedang berpikir keras mengenai ucapan dan permintaan dari Aqlam, tuan muda kecil dari Nabhan. Maksud dan tujuan Aqlam datang menemuinya adalah hal yang serius. Randra sedang mempertimbangkan sikap dari Aqlam dari pertama bertemu sampai sekarang. Sejujurnya, sang istri juga pernah mengatakan padanya bahwa dia sangat menyukai sifat Aqlam, Moti selalu menanyakan kabar anak 8 tahun itu. Dinilai dari perilaku Aqlam yang kalem dan perhatian jika menemui seluruh keluarga dan kerabatnya, bocah itu selalu lembut dan penurut. Tidak pernah membantah ucapan orang tua sekalipun. Di dalam keluarga Basri, semua menyukainya, terkecuali sang menantu lelakinya saja, Benjamin. Setelah penuh pertimbangan dan penilaian dari Randra, pria 62 tahun itu memandang serius ke arah Aqlam. "Saya akan melihat cara kerjamu dimasa depan, jika kamu bisa mempertanggung jawabkan ucapan dan perbuatanmu, jika kamu mampu meyakinkan anak menantu laki-laki saya, Alexander Benjamin, maka saya akan mempertimbangkan segera bahwa kamu bisa melamar cucu perempuanku secara resmi, bagaimana?" Aqlam memandang serius ke arah Randra, setelah setengah menit dia berpikir, Aqlam mengangguk tanpa keberatan. Glung glung "Baik, saya akan menunjukan cara kerja saya agar memuaskan kakek Ran dan saya pasti akan dapat meyakinkan om Ben, saya sangat yakin." Ujar Aqlam dengan mantap. Randra tersenyum. ♡♡♡ Ben memandang tajam ke arah bocah 8 tahun yang sedang mengambilkan ayam kecap untuk diletakan di piring makan anak perempuannya, Chana. Sret Aqlam, sang bocah yang sedang dilihat tajam oleh Ben tersebut mendongak. Dia tersenyum manis ke arah Ben. "Apakah om Ben ingin paha ayam kecap ataukah sayap ayam kecap yang ini?" Aqlam menunjuk ke mangkok yang berisi potongan daging ayam. "Saya tidak menyukai ayam kecap." Jawab Ben datar. "Dan kamu," batin Ben melanjutkan ucapannya. Aqlam tersenyum manis. "Tidak masalah, menurut penelitian ada beberapa resiko bila terlalu sering makan daging ayam, diantaranya menyebabkan sakit kepala dan masalah neurologis, infeksi pencernaan, juga bisa mengalami serangan jantung karena mengandung kolestrol yang ada di kulit ayam yang berlemak, daging ayam juga ada karsinogen, yaitu zat kimia yang dapat memicu kanker, ah dan jangan lupakan bahwa daging ayam broiler juga memiliki kekebalan tubuh yang rendah dan itulah sebabnya mereka diperkuat dengan antibiotik atau zat kimiawi lain, ini bisa berpengaruh pada tubuh manusia, akan terjadi kebal terhadap antibiotik." "..." Ben tak bisa berkata-kata lagi. "Pft!" Popy menahan tawa. "Tapi ayam yang ini tidak apa-apa, karena ayam yang diolah disini adalah ayam dari peternakan alami milik Basri, jadi tanpa zat kimia atau apapun, mengingat juga bahwa tubuh dari nenek Momok dan eyang Laras tidak akur dengan zat-zat seperti itu, jadi ayam kecap ini sehat." Aqlam melanjutkan penjelasannya. "Hahahaha," Popy tertawa geli. Di meja makan keluarga Basri itu hanya ada Laras, Iqbal, Ben, Popy, Chana dan Aqlam. Aqlam sering datang berkunjung ke rumah Chana, apalagi seminggu yang lalu dia telah meminta ijin resmi dari Randra untuk meminang Chana. Sedangkan Moti, Randra dan Naufal sedang melakukan perjalanan ke Berlin. Alan, Bilal dan Liham telah menikah, mereka tinggal di kediaman mereka masing-masing. Ben melanjutkan makannya tanpa mengindahkan perkataan Aqlam. Dia memasukan olahan udang tiram ke mulutnya. "Ah, menurut penelitian, bahwa udang dapat menurunkan gairah antara hubungan suami istri di ranjang, itu tidak disarankan untuk sering dikonsumsi," "Pfuuu! Uhuk! Uhuk!" "Hahahahahaha!" Popy terbahak-bahak di depan meja makan ketika melihat Ben menyemburkan udang tiram yang dia kunyah. Sret "Hati-hati om Ben, ini air putih," Aqlam memberikan segelas air putih pada Ben. Namun Ben lebih memilih jus jeruk. "Ah, apakah om Ben tahu jika udang digabungkan dengan senyawa asam berupa jeruk atau asam lainnya maka senyawanya akan berubah menjadi sianida?" Wush Sret Brt brt brt Ben membelokan tangannya dan mengambil cepat gelas air putih yang di tawarkan oleh Aqlam. Popy menutup mulutnya, sesungguhnya dia tak kuasa menahan tawanya lagi melihat tingkah Aqlam dan Ben yang lucu. Laras dan Iqbal yang sudah renta itu tidak bisa berkata-kata lagi. Sedangkan Chana melongo ke arah Aqlam. Sret Sret Aqlam mengambilkan mangkuk sayur asem dan tumisan brokoli untuk Ben. "Sayuran kacang-kacangan seperti kacang tanah dan brokoli mengandung nutrisi yang berguna untuk menghasilkan hormon pria yang sehat, mengonsumsi kacang-kacangan dapat meningkatkan gairah dan terhindar dari impotensi," "Ahahahahah!" Popy tak kuasa menahan tawanya. "Bssuukkk! Uhuk! Uhuk!" Iqbal melotokan matanya lebar ketika mendengar kalimat terakhir dari Aqlam. Kakek yang kini berumur 88 tahun itu menyemburkan nasi yang dia kunyah. "Eyang Iqbal makannya hati-hati," ujar Chana, dia melirik cemberut ke arah Aqlam. "Jangan bicara, ini meja makan, lihat! Eyang Iqbal jadi kesedak kan," Aqlam mengambilkan segelas air untuk Iqbal. "Maaf eyang, aku tidak bermaksud menganggu makanmu," Iqbal mengangguk lalu mengambil air itu. Wajah Ben memerah malu. Dia menggertakan giginya kesal. Sret Wush "Eh!?" Ben Mengedip-ngedipkan matanya ketika tangannya yang hendak meraih mangkuk sayur asem yang diberikan oleh Aqlam tadi disambar cepat oleh Iqbal. Srruuup Iqbal menyeruput kuah sayur asem itu dan mengunyah kacang tanah yang ada di sayur asem itu. Iqbal tak merasa bersalah sedikitpun pada cucu menantunya, Ben. Ben menelan ludahnya dongol dan hendak meraih piring sayur yang lain. Sret Wush "Ah?!" Ben memandang cengo ke arah tangannya yang kosong, secepat kilat piring kecil yang berisi brokoli tumis itu hilang seketika dari sentuhan jarinya. "Ckam..." tanpa hati dan perasaan, Iqbal memasukan sayur brokoli itu dalam satu suapan ke dalam mulutnya disaksikan oleh Ben. "..." Wajah Ben berubah merah padam. "Pffftt!" Popy me-lap air mata yang tumpah dari matanya, menahan tawa membuat wanita 34 tahun itu menguapkan air mata tawa. "Ck! Ck! Ck!" Laras berdecak sambil menatap tajam ke arah suaminya, Iqbal. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sudah bau tanah masih saja bersaing dengan anak muda." "Uhuk! Uhuk!" "Eyang Iqbal, makan hati-hati!" Chana menambahkan air putih ke gelas kakek buyutnya. "Hahahahaha!" Popy tak kuasa menahan tawa. ♡♡♡ "Chana, aku akan pulang karena tugas sekolahmu telah selesai," ujar Aqlam di kamar Chana. Glung glung "Ok, hati-hati di jalan." Balas Chana. "Besok adalah hari jumat, kita akan bertemu di sekolah lagi, seperti yang sudah kita rencakan sebelumnya bahwa akhir pekan nanti kita akan ke kebun stroberi, blueberi dan buah beri lainnya, nanti aku akan menjemputmu," Glung glung Chana mengangguk. "Putriku tidak akan kemana-mana akhir pekan nanti," terdengar suara datar dari belakang mereka. Sret Chana dan Aqlam berbalik ke arah suara itu, di ambang pintu ruang belajar Chana, terlihat Ben menyandarkan tubuhnya miring di tiang pintu sambil memandang tajam ke arah mereka. Bukan, bukan mereka tetapi memandang tajam ke arah Aqlam. "Uhmm...tapi papa Ben, Chana dan Aqlam sudah janjian..." ujar Chana. "Anak gadis tidak boleh terlalu sering bergaul dengan laki-laki," ujar Ben. "Eh?!" wajah Chana penuh dengan tanda tanya. "Tapi kan Aqlam dan Chana sudah main dari kecil, papa." Ujar Chana agak keberatan. "Justru itu, kalian harus dipisahkan, Chana, kamu sekarang sudah kelas lima dan umurmu sudah sebelas tahun, jangan bergaul dengan laki-laki, itu tidak baik." Ujar Ben menasehati. "Ehm..." wajah Chana berubah cemberut, dia ingin sekali pergi ke kebun milik Aqlam di puncak untuk memanen buah-buahan, tapi sang ayah tidak menginjinkan. Dia memandang ke arah Aqlam. "Tapi kan Chana pengen ke kebun untuk panen buah..." ujar Chana agak sedih. "Disini ada kebun juga, ada kebun nenek Momok untuk kamu jaga, itu amanah dari nenek Momok bahwa jika beliau pergi, kebun itu harus kamu jaga baik-baik," ujar Ben. Chana memandang ke arah Aqlam, dia meminta bantuan dari anak lelaki itu, dia tidak pernah membantah ucapan ayah dan ibunya. Aqlam tersenyum manis ke arah Ben. "Om Ben, memang benar bahwa gadis yang telah berusia seperti Chana tidak boleh bergaul dengan anak laki-laki sembarangan, aku sangat setuju dengan pendapat om Ben yang ini," Ben menaikan sebelah alisnya, tumben sekali Aqlam mendukung pendapatnya, dia tersenyum tipis. "Namun, di usia Chana yang seperti ini, dia juga membutuhkan interaksi antara sesama anak yang lain, menurut para ahli psikolog, jika orang tua terlalu melarang dan menekan anak mereka untuk bergaul dan berinteraksi dengan yang lainnya, maka ini dapat menyebabkan gangguan jiwa diantaranya jika semakin sedikit anak bermain, makin mudah dipengaruhi oleh orang lain, ini tentu saja tidak diinginkan oleh om Ben kan?" Aqlam memberi jeda sebentar. "Berikutnya jika kurang bermain membuat anak-anak kehilangan kendali pribadi, kurang bermain sebabkan kurang kontrol emosi, kurang bermain memperlambat perkembangan anak-anak, kurang bermain dan berinteraksi mengurangi kemampuan anak untuk mengambil keputusan dan yang terakhir kurang bermain di sekolah ataupun di rumah akan mempengaruhi mental sang anak," Aqlam memandang serius ke arah Ben. "Jadi om Ben, dengan penjelasan yang di saya kutip dari para ahli psikolog tersebut, tentunya om Ben tidak menginginkan satupun dari dampak yang saya jelaskan akan berpengaruh terhadap Chana, bukan?" Ben memandang ke arah Aqlam dengan mulut ternganga. "Ada pula bahwa di umur Chana yang sudah sebelas tahun ini, ini adalah umur dimana menuju masa remaja, jadi tentu saja saya paham bahwa om Ben sangat khawatir terhadap Chana, namun disamping itu, om Ben tidak perlu khawatir, sebagai suami masa depan dari Chana, saya akan menjaga dan melindungi Chana dari apapun dan siapapun, saya berjanji." Ujar Aqlam mantap dan serius. Twing! Urat vena timbul di dahi Ben ketika Aqlam menyebutkan 'sebagai suami masa depan dari Chana' tanpa beban. "Bocah bau." Batin Aqlam dongkol. Ben menggertakan giginya dongkol. "Saya adalah seorang laki-laki, laki-laki sejati adalah laki-laki yang dapat memenuhi janjinya." "Kedua, mengenai kebun nenek Momok, memang benar bahwa nenek Momok mengamanahkan kebun beliau pada Chana dan juga saya," Aqlam memberi jeda. "Om Ben tenang saja, saya dan Chana sudah membersihkan dan merapikan kebun herbal dan kebun bunga milik nenek Momok dua kali seminggu, jadi dalam hal ini, saya dan Chana sudah melakukan sesuai seperti yang di amanahkan oleh nenek Momok." Di akhir kalimatnya, Aqlam tersenyum manis dan lebar ke arah Ben. Twing! Salah satu sudut bibir atas Ben terangkat, kentara sekali bahwa dia sedang dongkol luar biasa. "Selalu ada saja argumen bocah bau ini untuk melawanku," batin Ben dongkol. ♡♡♡ Saya menulis cerita ini di platform D.R.E.A.M.E dan I.N.N.O.V.E.L milik S.T.A.R.Y PTE. LDT Jika anda menemukan cerita ini di platform lain, mohon jangan dibaca, itu bajakan.  Mohon dukungannya. Terima kasih atas kerja samanya.  Salam Jimmywall.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD