Chapter 2

1823 Words
"Bagaimana tugas rumah yang diberikan oleh gurumu ketika di sekolah?" Aqlam bertanya serius ke arah Chana. Chana yang sedang mengerjakan tugas matematikanya itu mendongak. "Dari sepuluh soal, Chana hanya bisa mengerjakan enam soal, sisanya sedang Chana cari lagi jawabannya," jawab Chana jujur. Aqlam mengangguk mengerti. "Aku mengerti, aku akan membantumu untuk mengerjakan tugas matematikamu, tapi dengan contoh yang aku berikan, bagaimana?" Twek Chana mendongak ke arah Aqlam, dia mengedip-ngedipkan matanya ke arah Aqlam. "Tapi Aqlam kan baru saja masuk kelas satu," ujar Chana tidak yakin. Liham yang sedang minum teh sambil nonton di ruang keluarga bersama Cassy mencuri-curi dengar dari percakapan antara Aqlam dan Chana yang belajar tidak jauh darinya. Aqlam tersenyum manis ke arah Chana. "Tidak apa-apa aku masih kelas satu, aku bisa mengerjakan soal kelas enam sekolah dasar," "Byyuuuurrr! Uhuk! Uhuk!" Liham menyemburkan teh melati yang dia minum. "Liham! Iiiihhh! Kamu minum tehnya bagaimana sih?" "Nyembur-nyembur gitu," Cassy, calon istri dari Liham memandang Liham dongkol. "Maaf, aku tersedak," ujar Liham. Dia begitu kaget dengan ucapan yang diutarakan oleh Aqlam. "Makanya kamu--" "Sstt!" Liham menghentikan ucapan Cassy dengan menempelkan jari telunjuknya di bibir sang tunangan. "Lihat sana," Sret Cassy melihat ke arah Aqlam yang sedang mengajarkan Chana pelajaran matematika, bocah lima tahun itu sedang memberikan contoh soal yang mirip dengan tugas Chana, lalu dia menjelaskan pada Chana dengan penuh kelembutan dan lugas pada Chana. Cassy dan Liham yang melihat itu menjadi cengo, mereka tak mempermasalahkan apapun yang ada di sekitar mereka bahkan film yang mereka tonton tak digubris lagi, mata mereka tertuju pada sepasang anak cilik yang sedang belajar itu. Cassy manggut-manggut. Sementara Liham memandang takjub ke arah Aqlam. "Pantas saja bunda dan yang lainnya menyukai dia, dia sangat cerdas." Gumam Liham tanpa sadar. Glung glung Cassy yang berada di sampingnya juga mengangguk tanpa sadar. Mereka akan menikah dua minggu lagi, semua persiapan telah siap, dari dokumen dari masing-masing perwakilan negara dan yang lainnya. "Tutup mulut kalian, air liur sudah mau tumpah," Sret Liham dan Cassy menoleh serentak ke arah Alan yang berjalan ke arah mereka. "Ehm..." Cassy memperbaiki tampilannya. "Jangan kaget melihat Aqlam begitu cerdas diumurnya yang masih lima tahun ini, memang benar dia bisa mengerjakan soal kelas enam sekolah dasar, bahkan sekolah menengah juga dia bisa," ujar Alan. Cassy dan Liham memandang cengo ke arah Alan. Sret Alan duduk di salah satu sofa tunggal, dia melihat ke arah Aqlam yang sedang mengawasi cara kerja Chana. "Aqlam masuk sekolah dasar tahun ini di umur lima tahun, seharusnya diumur lima tahun dia masih di taman kanak-kanak, namun berbeda dengan dia, pengecualian syarat usia diperuntukkan bagi calon peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa dan kesiapan psikis," ujar Alan. "Aqlam masuk sekolah dasar dengan bukti potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa dan kesiapan psikis calon siswa dia buktikan dengan rekomendasi tertulis dari psikolog profesional," ujar Alan serius ke arah Liham dan Cassy. "Dengan kata lain Aqlam adalah seorang anak jenius yang langka, dia bisa memahami dan menangkap cepat pelajaran untuk siswa sekolah menengah atas dan perkuliahan, dia istimewa." Alan mengakhiri penjelasannya. "Wah..." Cassy dan Liham menjatuhkan rahang bawah mereka. "Itulah yang membuat pengendalian diri dan emosi dari Aqlam tetap stabil, psikolog dan psikiater sangat antusias ketika bertemu dengan dia, karena gen yang merupakan turunan dari orang tuanya itu langka." "Hei! Air liurnya sudah tumpah," Alan menyadarkan Liham dan Cassy yang terbengong. "Eh?!" Liham dan Cassy saling memandang. Twek! Mereka melirik ke arah Alan. "Ck! Sembarangan saja!" °°° "Ini," Aqlam memberikan sebuah mangkuk sup kecil yang terbuat dari kayu ke arah Chana. Chana mengambil sup itu. "Ini?" wajah Chana penuh dengan pertanyaan. "Ini adalah sup kacang merah," jawab Aqlam. Wajah Chana cemberut lesu. "Lam, Chana kan udah bilang, Chana kurang suka kacang merah," ujar Chana. Aqlam, bocah Lima tahun itu memandang serius ke arah Chana. "Chana, kacang-kacangan mengandung karbohidrat tinggi sebagai sumber energi pada anak. Selain itu, ada juga kandungan protein yang bagus untuk pertumbuhan dan perkembangan otak anak. Sehingga kemampuan berpikir akan meningkat, daya ingatnya juga tentu lebih tajam." Aqlam memberi jeda. "Jadi diumur kamu yang sedang berkembang ini, baik bagi kamu untuk makan sup kacang merah ini, apalagi ini bukan hanya kacang merah saja, ada tulang sapi juga didalamnya, ini sangat penting bagi perkembangan otakmu," Aqlam menjelaskan. "Sshhh...huuh..." Chana menarik dan menghembuskan nafas susah. "Aku membuatkan smoothie stroberi untukmu." Ujar Aqlam. Glung glung Chana mengangguk pelan. Aqlam tersenyum manis. "Aku akan bukakan botol yang sudah aku isi dengan smoothie stroberi." Chana dan Aqlam menikmati makan siang mereka di sebuah taman sekolah dasar yang mereka sekolah disitu. Sekolah itu merupakan sekolah dari yayasan Basri, karena kedekatan Aqlam pada Chana, bocah Lima tahun itu masuk sekolah yang sama dengan Chana. Tidak ada di keluarga Nabhan yang keberatan, sebab Aqlam mampu mengelola pikiran dan pendapatnya, kecerdasannya adalah bukti bagi keluarga Nabhan. Teng! Teng! Teng! Bunyi bel terdengar, waktu istirahat dan makan siang bagi siswa telah selesai. "Cuci tanganmu disini, aku sudah mengambilnya untuk air cuci tangan," ujar Aqlam ketika menyodorkan sebuah mangkuk berisi air. Chana mengangguk dan mencuci tangannya. "Setelah ini kamu akan belajar mata pelajaran ilmu pengetahuan alam, ada catatan kecil yang sudah aku tulis di bawah halaman mata pelajaran yang akan kamu belajar nanti, itu adalah beberapa contoh mengenai tumbuh-tumbuhan yang berada di sekitar kita, itu juga jawaban jika nanti ada guru yang menanyakan kamu pertanyaan," ujar Aqlam. Chana mengangguk. Aqlam memberikan sapu tangan untuk Chana, "pakai ini untuk mengeringkan tanganmu, tidak apa-apa pakai sapu tanganku," ujar Aqlam. Chana mengangguk lagi. Chana meraih sapu tangan itu dan mengeringkan tangannya. Sret Aqlam mengeluarkan sebuah botol kecil dari tas tempat rantang makanan yang dia bawa. Sret "Ini adalah antiseptik dengan wangi avocado dan melati, sangat enak dicium." Aqlam memberikan antiseptik itu pada Chana. Chana meraihnya dan memencet botol itu, wangi buah avocado bercampur bunga melati tercium ke hidungnya. "Hummm...harum...Chana suka ini..." ujar Chana. Aqlam tersenyum. "Ambil untukmu," "Eh?! Benarkah? Apakah Aqlam tidak marah?" Chana bertanya terkejut. Aqlam tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "Punyaku adalah punyamu," ujar Aqlam. Chana tersenyum, wajahnya memerah tersipu malu. "Terima kasih," ujar Chana malu-malu. "Tidak masalah," sahut Aqlam manis. Setelah Chana memakai antiseptik itu, Aqlam memandang serius ke arah Chana, "ingat, jangan mendekati Riko, dia adalah anak yang bandel. Jika dia mendekatimu atau mengganggumu, katakan padanya bahwa datang ke kelas satu a dan menemuiku, sebut nama lengkapku padanya." Glung glung Chana mengangguk paham. Aqlam mengangguk puas dengan respon Chana. Sret Dia merapikan seragam Chana yang kusut karena mereka duduk di taman tanpa kursi. Sret Sret Setelah itu Aqlam membereskan rantang makanan mereka. "Aku akan mengantarmu ke kelas, setelah itu aku akan mencuci rantang makanan kita." Chana mengangguk mengerti. °°° "Aqlam, Chana masuk, jangan terlalu lama kamu ke kelasku, nanti ibu Susan marah," ujar Chana di depan pintu kelasnya. Aqlam mengangguk. "Baik." Setelah Chana masuk dan duduk di kursinya, Aqlam berjalan ke arah toilet, di samping toilet adalah tempat untuk mencuci tangan dan peralatan lainnya. Terlihat tiga orang bocah laki-laki berusia delapan tahun mengikuti kemana Aqlam melangkah. Aqlam mengeluarkan rantang kayu makanannya dan dia mulai mencuci, tiga orang bocah laki-laki yang sedari tadi mengikutinya berjalan mendekat ke arahnya ketika tidak ada orang yang lewat di tempat itu. "Uh! Uh! Uh!" "Siapa ini?" suara mengejek bocah delapan tahun itu ke arah Aqlam yang sedang mencuci rantang makanannya. "Apakah ini adalah anak banci yang selalu mengekori kemana bidadariku pergi?" Aqlam serius mencuci rantang makanannya, dia tidak menghiraukan kedatangan bocah itu dengan dua temannya. Bocah itu terlihat kesal. "Hei anak banci, aku tadi memanggilmu," ujar bocah itu kesal. Aqlam mengeringkan rantang makanannya. "Kau benar-benar penguntit! Kau setiap hari mengekori Chanaku! Dasar anak banci!" seru bocah itu pada akhirnya. Sret Aqlam menghentikan tangannya yang sedang mengeringkan rantang makanannya, dia berbalik dan memandang serius ke arah bocah di belakangnya. "Maaf, apa kau lupa ingatan?" Aqlam bertanya dingin ke arah bocah itu. "Mungkin kau harus ke dokter untuk memeriksa lagi letak otakmu, Chana itu bukan milikmu, jangan mengklaim sesuatu yang mustahil bagimu." "Heum! Dasar bocah banci! Apa yang kamu katakan? Aku adalah penguasa di kelas dua a, kamu hanya anak yang baru masuk kelas satu, berani mengatakan itu padaku? Kau ingin mencoba pukulanku? Aku pastikan gigi yang baru tumbuh itu akan rontok!" bocah itu memandang marah pada Aqlam. Dia telah menyiapkan bogemannya, dua orang temannyapun melakukan hal yang sama. Aqlam memandang tiga orang bocah yang berdiri di depannya. "Maaf, aku sedang dalam suasana hati yang baik hari ini, jangan menggangguku," ujar Aqlam kalem. "Hahahahahaha!" bocah yang merupakan ketua dari gengnya itu tertawa setan, suaranya bagiakan tawa anak setan yang baru keluar dari neraka. "Penakut! Dia penakut!" bocah itu tertawa dan melihat ke arah dua temannya. "Hahahahahaha!" dua temannya ikut tertawa. Di depan Aqlam, ada tiga bocah yang sedang tertawa jahat sambil mengejeknya. "Tubuhmu kurus dan kerempeng begini, mana bisa melawan bos kami?" salah satu teman dari bocah arogan tadi mengejek ke arah Aqlam. "Ya benar, hahaha!" bocah yang merupakan ketua itu tertawa terbahak-bahak. "Dasar kerdil!" "Lihat dirimu! Kamu bahkan hanya setinggi telingaku!" bocah ketua itu tertawa mengejek. Aqlam memandang ketiga bocah di depannya. "Tiga lawan satu, bukankah kalian yang pengecut?" "Apa?!" bocah yang merupakan ketua geng itu melotot ke arah Aqlam. "Bukankah kalian tidak adil? Aku akui badan kalian lebih besar dariku, kalian juga bertiga sedangkan aku hanya sendiri, mudah bagi kalian meratakanku, anak-anak di sekolah ini akan berpikir bahwa kalian pengecut karena main borong. Tapi bisakah kita bertarung dengan cara lain?" Aqlam memandang serius ke arah tiga bocah itu. "Dan setahuku, Chana menyukai laki-laki yang tidak pengecut." Sambung Aqlam. Ketiga bocah itu terlihat berpikir. "Bos, dia cuma satu, kita bertiga, kalau ada orang yang tahu kalau kita memukul dan mengeroyok satu anak sementara kita bertiga, anak-anak yang lain pasti memandang kita pengecut karena main borong." Salah satu bocah di samping kiri bocah ketua berbisik. Bocah yang bername tag Ricardo Valentino Marchetti itu mengangguk. "Nama bos bisa ternoda dimata Chanamu," seorang bocah yang lain berbisik. Bocah delapan tahun yang bernama Ricardo itu menganggukkan kepalanya tanda mengerti. Bocah itu memandang arogan ke arah Aqlam, dia mengangkat dagunya sombong. "Baik, aku terima saranmu, bertarung dengan cara lain apa?" Aqlam tersenyum tipis ke arah bocah itu. "Sederhana saja, jawab pertanyaanku, jika kamu bisa menjawab pertanyaanku, maka kalian menang dan aku kalah, jika kalian menang, kalian boleh memberikan aku satu permintaan, jika aku yang menang , aku boleh memberikan kalian satu permintaan, aku beri waktu sampai pulang sekolah, jika lewat dari itu, maka kalian kalah." Ujar Aqlam. Ricardo dan kedua temannya saling memandang. "Bagaimana?" tanya Ricardo. "Terima saja bos, waktunya masih panjang, pertanyaan apa yang bisa diberikan oleh bocah kelas satu yang baru masuk? Palingan dia akan menanyakan penambahan satu tambah dua sama dengan tiga," ujar salah satu temannya. Temannya yang lain mengangguk setuju. "Terima saja bos," Ricardo memandang ke arah Aqlam, dia menganggukkan kepalanya. "Baik, aku terima tantanganmu, apa pertanyaanmu?" Aqlam tersenyum manis ke arah Ricardo dan kedua temannya. Suara merdunya mengalir keluar. "A dibagi dengan B per satu buka kurung lima kuadrat per lima ditambah dengan lima kuadrat tambah sepuluh kuadrat perlima tutup kurung dikalikan dengan nol tambah dengan satu, berapa hasilnya?" "???!" ketiga bocah itu memandang beo ke arah Aqlam yang sedang tersenyum manis. Sret Aqlam melihat arlojinya. "Lima puluh lima menit lagi akan pulang, aku menunggu, permisi." Tak Tak Tak Aqlam berjalan melewati tiga bocah itu tanpa menunggu respon dari tiga bocah tadi. Ketua geng dan dua anggotanya saling melirik. "Buka kurung...tutup kurung...em..." mereka saling memandang cengo. Ricardo, sang ketua geng memandang ke arah dua anggotanya. "Ini mata pelajaran apa?" Kedua anggotanya saling melirik. "Aku rasa bahasa Indonesia dengan matematika," "Atau itu merupakan pertambahan yang digunakan kelas matematika internasional kita," timpal bocah yang lainnya. Ricardo memandang mereka berdua serius. "Apakah ada mata pelajaran penambahan matematika internasional di sekolah kita?" Kedua bocah itu saling melirik, lalu mereka mengangguk serentak. "Ada," °°° Saya menulis cerita ini di platform D.R.E.A.M.E dan I.N.N.O.V.E.L milik S.T.A.R.Y PTE. LDT Jika anda menemukan cerita ini di platform lain, mohon jangan dibaca, itu bajakan.  Mohon dukungannya. Terima kasih atas kerja samanya.  Salam Jimmywall.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD