1

1309 Words
LILY POV Aku membuka kaca jendela mobil agar udara luar dapat masuk. Aku memejamkan mata dan menghirup udara dalam-dalam sejenak untuk merileksasikan diri. Ah, ya, perkenalkan namaku adalah Lily Evans. Aku adalah putri tunggal dari pasangan Luna Emily Evans dan Alpha James Evans. Ya, ayahku adalah seorang werewolf yang memimpin salah satu pack besar di negeri Greenland sedangkan ibuku adalah seorang wizard atau yang biasa kalian kenal dengan istilah penyihir. Hari ini adalah hari kepulanganku ke Diamond Moon pack yang merupakan pack milik ayahku setelah menempuh tiga setengah tahun lamanya pendidikan di dunia manusia. Mobil yang aku tumpangi sekarang telah sampai ke jantung hutan. Kupandangi pepohonan rimbun yang dapat menyegarkan kedua mata. Warna hijau memang bagus untuk mata bukan? "Berapa lama lagi kita sampai?" tanyaku yang sebenarnya hanya sekedar basa-basi pada Jonathan yang sedang menyetir. Joe adalah Betha di pack ayahku. Ia sangat overprotective jika menyangkut diriku dan aku sudah menganggap Joe sebagai kakakku sendiri meski ia sangat menyebalkan dan sering menggodaku. Beberapa kali Joe juga kerap cemburu jika aku membahas lelaki lain selain dirinya, karena ia mau hanya dialah satu-satunya lelaki dipuja olehku. Bukankah itu sedikit kekanakan? Ya, dia memang seperti itu, namun rasa sayangnya padaku benar-benar sangat besar. Aku selalu merasakan kepedulian dan cinta darinya meski ia adalah seorang yang sedikit kaku dalam mengutarakannya, aku yakin siapa pun yang akan menjadi mate Joe adalah shewolf yang paling beruntung di dunia. "Kau tahu sendiri bukan, berapa jauh jarak kota sampai ke pack kita Tuan Putri?" jawabnya formal. Aku hanya mendengkus kesal. "Aku bertanya padamu kenapa kau malah balik ber—" Belum selesai aku bicara ketika ia dengan lancangnya telah berani memotong ucapanku. "Stt," desisnya. "Ada apa Joe?" tanyaku dengan panik pasalnya, sekarang raut wajah Jonathan berubah menjadi waspada dan serius. "Ada yang datang!" ucapnya lalu diam sambil mengawasi keadaan sekitar. Aku yakin ia sedang me-mindlink beberapa warriors yang mengemudi di belakang mobil yang kami tumpangi. Joe masih berusaha fokus menyetir sambil celingukan ke sana kemari seolah mencari sesuatu sampai tiba-tiba mobil kami dihadang oleh beberapa orang. Alhasil Joe menginjak rem secara mendadak untuk menghindari tabrakan, syukurlah aku tidak terbentur badan mobil. "Siapa mereka?" tanyaku dengan panik pada Joe yang masih duduk tenang di belakang kemudi. "Werewolf perampok, jangan turun dari mobil apa pun yang terjadi!" perintahnya padaku. "What? Tapi aku—" Joe lagi-lagi memotong ucapanku. "Jangan membantahku untuk saat ini! Demi keamananmu, Putri." Dia bergegas keluar dari mobil diikuti oleh para warrior yang ada di belakang kami. Jumlah werewolf perampok itu lumayan banyak, sekitar dua puluh orang lebih sedangkan warriors yang ikut menjemputku hanya ada lima orang. Ralat, enam orang beserta Joe. Bukankah itu tidak seimbang? Aku tidak peduli dengan perkataan Joe yang menyuruhku untuk diam dan menunggu di mobil sementara mereka bertarung dan merenggang nyawa demi aku. Aku bukan seorang pengecut yang tega pada kawananku. Aku melepas safety belt dan keluar dari mobil untuk ikut bertarung dengan yang lain. Pukulan demi pukulan kuarahkan pada para werewolf perampok tersebut dan mereka terpental jauh hingga menabrak pohon dan membuatnya menjadi tumbang. Kulayangkan tinju dan tendangan pada para perampok tersebut bertubi-tubi. Krek Bunyi tulang yang retak terdengar di indera pendengaran dan perampok itu berteriak kesakitan karena tanganya patah oleh seranganku Di sisi lain, Joe dan para warrior sudah mengalahkan banyak werewolf perampok. Aku mendengar suara retakan banyak tulang secara bersamaan yang artinya mereka sedang berganti shift begitu juga dengan para warrior-ku dan Joe. Aku mundur saat tiga ekor serigala berlari ke arahku menyerang secara bersamaan. Kuambil belati yang sengaja selalu kuselipkan di pinggang dan mulai membalas serangan mereka. Serangan dari belati milikku berhasil mengoyak tiga serigala itu hingga darah mereka terciprat ke mana-mana. Well, kuakui aku cukup kewalahan karena mereka menyerang tanpa jeda. Aku masih berusaha menghindar saat mereka terus mencoba menyerang. Namun aku masih kalah gesit, satu cakaran berhasil mengenai bahu kiriku. Membuat darah mengalir dari luka yang terkoyak Perih mulai menjalar di area bekas cakaran. Retina mataku berubah warna dari hijau menjadi ungu pertanda bahwa mode sihirku tengah aku aktifkan. Aku yang merasa geram dan kesal kembali menyerang mereka. Telapak tanganku mulai mengeluarkan api dan kuarahkan pada sekawanan werewolf itu bertubi-tubi. Akhirnya mereka yang masih kuat dan mengalami cedera ringan hanya bisa kabur dari arena pertempuran. Dua prajuritku terluka parah akibat pertempuran tadi. Aku menghampiri mereka yang terduduk lemas. Kutekan luka mereka dengan kedua tangan, menyalurkan kekuatanku untuk menyembuhkan luka yang mereka alami. Joe berjalan mendekatiku. Tidak kulihat bekas luka apa pun pada tubuh atletis Joe. Ah, aku lupa bahwa werewolf yang bisa menyembuhkan diri sendiri dari luka kecil seperti itu. Mereka memiliki ability yang luar biasa di atas rata-rata manusia biasa. "Masuk kedalam mobil semuanya!" perintah Joe dengan suara tegas, mirip seperti Alpha tone ayahku. "Dan kau anak nakal, ayo pergi!" Joe menarik tanganku dan mendorongku secara paksa masuk ke dalam mobil. Selama di perjalanan, kami hanya diam. Apakah Joe marah karena aku ikut bertarung? Hei, aku bukan anak kecil lagi, 'kan? Usiaku sudah menginjak delapan belas tahun beberapa hari lagi. Dan jangan lupakan fakta bahwa aku adalah salah satu fighter terbaik di pack ayah. Bahkan aku bisa mengalahkan Joe saat duel dulu, apakah dia lupa? pikirku. Tubuhku lelah dan perjalanan masih panjang. Aku putuskan untuk tidur karena sedikit merasakan kantuk saat ini. THIRD POV Lily terbangun dari tidurnya setelah Jonathan menepuk pipi gadis itu pelan. Lily mengerjapkan kedua matanya berulang kali, menyesuaikan cahaya yang masuk pada retina. "Apa sudah sampai?" tanya Lily dengan suara serak khas orang bangun tidur. Ia menggeliat sebelum benar-benar turun dari mobil. "Ya, mari turun, Nona." jawab Joe singkat. Jonathan membukakan pintu mobil untuk Lily. Gadis itu turun dari mobil dan menyusul Jonathan menuju mansion Diamond Moon pack. Seorang omega membukakan pintu mansion saat Lily, Jonathan dan warrior yang membawa koper Lily berjalan masuk. "Selamat datang Nona Lily dan Betha Joe," ucap omega tersebut sambil menunduk hormat pada mereka, yang hanya di balas anggukan oleh Jonathan dan senyum manis dari Lily. Baru selangkah Lily dan Jonathan masuk, terdengar suara langkah kaki yang ternyata milik sang Alpha dan Luna. Kedua orang tua Lily. "Astaga, kau baik-baik saja, Nak?" tanya Luna Emily dengan nada khawatir sambil memutar tubuh Lily dan mendapati bekas cakaran di bahu kiri putrinya yang sudah hampir menutup. "I'am okay(aku baik-baik saja), Bu, itu hanya luka kecil," jawab Lily santai. "Kami mendapat mindlink dari Betha bahwa kalian diserang oleh rouge perampok." Kini Alpha yang angkat bicara. "Benar Ayah," jawab Lily seadanya. "Lebih baik sekarang kau mandi dan beristirahat, kau pasti lelah, Nak," saran Emilyーibunya, kemudian ia memanggil maid untuk mengantarkan Lily menuju ke kamar. "Mari saya antar ke kamar Anda, Nona," ucap maid yang kini megambil alih koper Lily. "Terima kasih." Gadis itu tersenyum dan mengekor di belakang maid tadi. Lily merebahkan diri di kasur yang berukuran queen size miliknya. Kamar yang feminim dengan nuansa ungu dan magenta. Ungu memang warna favorit Lily dari kecil. Lily sangat merindukan kamarnya ini. "Aku ingin mandi," ucap Lily. "Akan saya siapkan air mandian untuk Nona." Maid tadi bergegas ke kamar mandi dan melaksanakan tugas. "Air mandian Anda sudah siap, Nona," ujar maid tadi memberitahu. "Terima kasih, tolong bereskan barangku di koper!" Lily tersenyum pada maid tadi dan berjalan ke kamar mandi untuk memulai acara mandinya. Aroma jasmine kesukaannya menguar memenuhi kamar mandi. Ia melangkah menuju bathup dan berendam di sana. Dua puluh menit berlalu dan Lily telah selesai melakukan ritual mandi. Ia keluar kamar mandi hanya dengan mengenakan bathrobe-nya. Ia berjalan ke walk in closet dan memilih camisole berwarna hitam juga hot pans yang terlihat casual. Ia memoles sedikit wajahnya agar terlihat segar dan mengeringkan rambut panjangnya yang masih basah Lily meregangkan tubuh lalu berbaring di atas kasur dan tak lama setelahnya ia tertidur karena lelah. to be continue ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD