Chapter 4. Semerah Darah

1239 Words
Athena berhadapan dengan wanita yang tiba-tiba saja menjemputnya. Wanita misterius yang tampaknya telah menyelidiki seluk-beluk kesehariannya. Seolah mengancam, ia baru saja memperingatkan Athena kalau ia akan diculik kalau berkeliaran sembarangan.  “Bagus,” adalah respon yang diberikannya ketika Athena meyakinkannya penculiknya akan menyesal berhadapan dengannya. Wanita itu membetulkan duduknya. Kuku-kuku merahnya kembali menggores permukaan setir mobil yang dilapis kulit. Perlahan, kaca jendela mobil bergerak ke atas, membangun perisai antara keduanya. Lalu, wanita misterius itu berlalu setelah Athena menutup pintu mobil. Tanpa mengucapkan selamat tinggal. Athena mengangkat alis ke arah mobil yang deru halusnya itu semakin menjauh. Mengunci pandangannya hingga mobil itu menghilang di balik belokan yang lain. “Apa-apaan?” Athena mendengus. Mengernyit ke arah gang dimana mobil itu melenyapkan diri. Menggelengkan kepala, ia berbalik arah. Di depannya kini terbentang pemandangan rumahnya. Rumah itu lebar, sedikit ketinggalan zaman. Cat-cat dindingnya yang putih monoton sudah agak mengelupas. Di sudut-sudut, tampak lumut mulai merayap naik menjadi penghias yang ironis.  Pagarnya bahkan berderit. Tak mau lagi dibujuk dengan minyak pelumas semata. Seperti yang bisa kautebak, pagar itu berbaris dengan besi ramping lurus-lurus ke arah atas. Bagian atasnya runcing seperti anak panah. Pagar model tahun 80'an. Ketika ia melangkah melewati pagar yang terbuka, ia mendapati beberapa bunga tampak setengah menunduk. Warnanya sendiri mulai kekuningan di bagian tepinya. Athena menghela napas melihat barisan menyedihkan itu, lalu menyiramnya dengan selang taman. Usai bercengkerama dengan anggota rumah yang terabaikan, Athena melangkah ke rumahnya.    Rumah itu sepi. Athena memutar anak kuncinya yang berbunyi menceklik. Lalu, terbukalah ia. Sambutan ramah perabotan di bawah cahaya temaram yang mula-mula menyapanya. Perabotannya berwarna cokelat dengan ujung-ujung menghitam, dengan pegangan-pegangan perunggu. Buffetnya masih dilengkapi dengan kunci yang juga terbuat dari perunggu. Peninggalan zaman Belanda. Menyeragamkan warna dengan perabotan itu, dinding rumahnya sengaja dicat cream. Lantai rumahnya telah dirombak sebagian. Sedangkan, sisanya dibiarkan sama, masih dilandasi kayu jati. Dari luar, rumah ini tampak seperti model rumah biasa yang baru saja lewat era kejayaannya. Namun, di dalam rumah perabot-perabot klasik mendominasi. Saksi-saksi bisu akan semua peristiwa. Yang indah, yang layu. Athena pun bergabung dengan mereka. Kilas-kilas itu datang lagi. Adegan demi adegan. Yang tiba-tiba datang dan tiba-tiba pergi. Sudah seperti ini, sejak ia bisa mengingat. Usia 4 atau 5 tahun. Kilasan-kilasan kala itu selalu mengelebat dalam memorinya. Ketenangan yang dipecah oleh desisan pelan. Yang berubah jadi bentakan tak putus-putus. Abangnya menggeleng dengan wajah ketakutan. Mereka bersembunyi. Di balik lemari atau di balik pintu? Athena tidak bisa mengingat terlalu jelas. Dan abangnya tidak akan membiarkannya mengingat hal itu lagi. Lalu, punggung yang menjauh. Punggung yang hingga kini masih mengganggu tidurnya. Dalam mimpi. Mimpi-mimpinya selalu dimulai dari sebuah lorong. Dia berjalan pelan. Tapi, ia tak berhenti. Lorong itu berkelok, membentuk labirin. Di ujungnya terdapat pintu. Terbuka ke dunia lain dengan alas rumput dan atap biru pekat dengan gulungan awan kapas. Tapi, dia tetap berjalan. Di kiri dan kanannya, seolah televisi besar mengikuti. Gambarnya selalu sama. Seorang tanpa wajah menggeleng dan mengangguk. Pakaiannya serba hitam dan bertudung. Bagaimana seseorang bisa bermimpi sebegitu mengerikan? Tubuh-tubuh tak berwajah. Perjalanan yang tak bertujuan. Semua yang tidak jelas begitu mengerikan. Suara siulan Athena bergaung lemah, air soda yang manis-pahit mengalir segar di kerongkongannya. Setetes mengalir dari ujung bibir ke lehernya, yang ia seka sekenanya dengan kerah blazer hitamnya. Memikirkan lagi wanita dengan bibir semerah darah. Mercedes hitam. B 1465 SR. Daerah Jakarta Selatan. Rumahnya yang berada di kawasan Ampera ini juga Jakarta Selatan. Mercedes e-series, seri yang sudah cukup lama. Gadis itu menyesap minuman kalengnya. Berdiam diri di sofa. Ia menatap televisi. Dengan layar kelam, tak bergerak. Warna oranye perlahan menyasar kepala. Ia tak bereaksi. Pelan-pelan mengelam. Athena jatuh dalam kegelapan yang justru membuatnya merasa nyaman. Cahaya putih tiba-tiba menyala. Athena memicingkan mata. “Kamu ngapain, Then?” abangnya. Titan. Seirama dengan namanya, tubuhnya tinggi-besar. Sepuluh sentimeter menjulang melebih Athena. Dogi[1] masih menempel di badannya. Ikat pinggang hitam masih melingkar di pinggangnya. Athena tersenyum melihatnya. “Maniak karate,” ejeknya. “Nggak sempet ganti baju. Ngapain lu gelap-gelapan di sini?” “Oh iya, lu takut gelap, ya?” sahut Athena mengeluarkan nada iba yang kentara sekali dibuat-buat. Titan membuka bajunya, melemparnya ke arah adiknya itu. Ia berteriak jijik, “Titan, ngapain sih?! Bau banget!” “Nggak sopan!” balasnya. Tangannya sigap menangkap dogi yang melayang balik ke arahnya. Ah, memang sedikit berbau asam.  Dia adalah orang yang berkeringat. Menetes-netes banyak dari pori-pori kulitnya. Entah sejak kapan kelenjar keringat di tubuhnya itu bekerja terlalu aktif. Ia menatap adiknya, “Kamu masak apa?” “Ah!” Athena teringat, ini gilirannya memasak, tapi pertemuan dengan wanita aneh itu menyita konsentrasinya. Otaknya berputar mencari alasan. Akhirnya, ia hanya bisa tersenyum. Titan melemparkan pandangan kesal ke arah adiknya. Senyum manis itu dikenalnya sebagai keculasan Athena menghindari tanggung jawabnya. Titan menggeleng, “Sekarang. Abang udah laper.” Protes selanjutnya tidak ia hiraukan. Ia berbalik ke kamarnya, mengusir segala penat dan aroma peluh dengan air dingin. Menggosok-gosok badannya dengan keras dengan sabun batangan. Ia menolak bath tub, menolak shower. Lelaki konservatif yang menyenangi cara-cara lama. Berbeda sekali dengan Athena. Ia tengah menyerakkan batang-batang tipis berwarna kuning di dalam panci berisi air mendidih. Tersenyum, ia memuji dirinya karena menjaga stok barang-barang praktis, seperti spaghetti instan. Hanya butuh sekitar 15 menit, dua piring spaghetti bersaus bolognese, yang juga instan, siap di meja makan. Begitupun Titan. Ia menghela napas dalam-dalam melihat hidangan yang tersaji. “Apa yang harus gua lakuin untuk dapet semangkok sayur asem dan tempe goreng?” Ia menatap Athena dengan pandangan memelas. “Lu nggak suka spaghetti? Semua orang di dunia suka pasta, Bang!” tukas Athena, menyesali kekolotan lelaki ini. “Bukannya nggak suka, tapi nggak minat aja. Lidah gua ini lidah Indonesia aseli.” Ujung bibirnya sengaja ditarik lebih maju. Makin memelas pandangannya ke arah adiknya. Persis anjing meminta bola mainannya. “Lain kali, Bang. Lain kali,” desah Athena, menyerah pasrah. “Lagian, lu kan pinter masak masakan Indonesia.” Titan menatapnya dengan senyum polos. Athena hanya mencibir. Dia menggulung spaghetti dengan garpu. Memutarnya hingga terbentuk gulungan tebal. Wajah wanita itu muncul lagi. Bibir itu. Kulit pucat itu. Kacamata hitam legam itu. Gadis itu menatap tajam makanannya, sedang jantungnya berdebar cepat tanpa stimulasi apapun. Titan melahap dua gulungan besar spaghetti dengan cepat. Pipinya gembung. Saat matanya menangkap sosok Athena, gadis itu tengah mengangkat spaghetti yang tersangkut di garpu. Mie Italia yang licin itu segera berjatuhan satu per satu. Adiknya menggulung-gulung spaghetti dengan setengah hati. Gadis itu menyadari pandangan kakak lelakinya. Ia lalu menegakkan tubuhnya, menyuap makanannya. Tanpa sekalipun balas memandang. “Kenapa lu?” Athena tersenyum, lantas menggeleng. Dia menyuap beberapa kali dalam satu gerakan cepat. Memenuhi ruang di seluruh rongga mulutnya. Sejauhmana pipinya bisa melebar. Titan memandangnya tak putus. Membuat gadis itu menyelesaikan makanannya dengan lebih cepat. Ia lalu melompat bangkit, menuju kamarnya. Bahkan, Titan tidak sempat memprotes tindakannya. Di dalam kamar, Athena menghembuskan napas lega. Ia bukan orang yang pintar menyembunyikan perasaannya dan intuisi Titan sangat tajam tentangnya. Perpaduan yang terlalu buruk. Masuk ke kamar gadis itu, suasana klasik lenyap seketika. Nuansa modern yang minimalistik memenuhi ruang kamarnya. Warna abu-abu muda melekat ke dinding. Serasi dengan keramik bermotif kayu putih dengan aksen motif kayu terkelupas. Perabotnya pun didominasi warna putih-abu-abu dan abu-abu gelap. Suasana kamar itu yang buram. Bahkan, lampunya menggunakan cahaya downlight yang temaram. Hanya beberapa hiasan dinding yang berwarna merah, yang semerah darah, sebagai pencerah kamarnya. Athena melangkahkan kaki ke tempat tidurnya. Di atas kepala tempat tidur yang pendek tergantung satu frame hitam dengan kanvas putih. Permukaannya tertutupi oleh banyak catatan dan foto-foto. Ia merobek sehelai post-it kuning. Memori tentang wanita itu melekat di dindingnya. Ia menggambar sketsa wajahnya. Karena ia tak mau lagi melupakan wajah-wajah. Ia tak mau lagi melupakan peristiwa-peristiwa.                                                                                            *** [1] Seragam karate
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD