Chapter 3. Kekeringan

1357 Words
Jakarta, 20 Desember 2017 Seakan musim kemarau telah tiba lagi. Hari ini matahari bersinar begitu garang, seolah murka akan sesuatu. Panasnya mengeringkan semua. Dahaga para musafir modal di ibukota, setetes moral pejuang jalanan dan secawan rasa kasih pada hati-hati yang bergerumul kemelut. Asap keperakan membentuk lingkaran-lingkaran kecil, menguar dari sepasang bibir merah muda. Ia kering dan terpecah. Seperti kerak-kerak di tanah padang pasir. Gadis itu bernama Athena. Keberadaannya belum lagi perlu kau tahu. Dia baru saja merekah dari balik kekosongan. Athena menatap liku jalan di Jakarta. Kakinya tergantung bebas. Kalau kau sengaja melihatnya, kaki itu tampak seperti menginjak miniatur mobil-mobil yang terkumpul di bawah. Bahkan, beberapa gedung berukuran kecil.  Hanya udara tak kasat mata yang kini memisahkannya dari pemandangan di kota Jakarta. Asap itu segera menghilang. Bara merah kecil berkelip di ujung rokok yang tersisa setengah. Gadis berambut hitam kelam itu merentangkan tangannya. Rokok di tangannya terlepas, jatuh perlahan. Pemandangan di bawahnya terbentang menyambut. Kotak-kotak aneka warna bergerak merayap. Dipagari oleh titik-titik hijau. Berupa bayangan yang kabur oleh asap putih. Puntung rokok itu menghilang seolah ditelan oleh asap pekat di bawahnya. Kemana rokok itu akan mendarat? Jatuh begitu saja untuk terinjak kaki yang tak berperasaan? Tidak di atas kepala seseorang semoga, Athena terkekeh membayangkan. “Boo...ring.” Gadis itu membaringkan tubuhnya. Bahkan, langit tampak polos. Sapuan birunya terlukis asal saja di atasnya. Tuhan seperti tengah enggan menghembuskan mahakaryanya. Heh, siapa dia, berbicara tentang Tuhan? Dia memejamkan mata. Baling-baling berpusar cepat di belakang tubuhnya. Angin hangat menyentuh kulitnya, menambah sengatan terik dari atas. Garis matanya tebal oleh bulu mata yang rapat, hitam, kontras dengan kulit pucatnya yang kini memerah. Seakan memuja, datanglah panas terik keringkan semua! Rambutnya sama legamnya dengan barisan bulu mata lentiknya. Rambut hitam itu lurus, helainya buyar di atas lantai semen. Membiarkan wajahnya terbuka sepenuhnya. Hidungnya yang mancung mencuat ke arah langit, sedang mata cokelat mudanya menantang matahari. Pagar-pagar besi tebal berdiri bersilang-silangan, tegak, menyorong ke samping. Sebuah ruang kecil tertutup mendengungkan suara monoton. Lampu-lampu hijau, merah, kuning menyala. Kabel hitam berdiameter serupa ular piton raksasa bergulung-gulung di dekatnya. Juga tungkai-tungkai besar besi, mungkin juga dari baja.  Beginilah suasana puncak gedung Gama Tower, gedung tertinggi di Jakarta.  Tidak ada chandelier yang megah atau gelas-gelas kristal yang berkilau. Hanya ada kekeringan, keserabutan. Monokrom yang kelabu berbanding terbalik dengan pantulan-pantulan cahaya yang berubah jadi pelangi di mata tamu-tamu gedung. Inilah peluh kerja keras yang menghasilkan suasana megah di tiap-tiap lantai di bawahnya. Darinya, langit terasa dekat. Kalau ada awan, bisa jadi kumpulan titik air itu dapat tersentuh tangan. Akan terasa basah mungkin, tebak Athena. Atau sekadar lembab. Athena meraba-raba permukaan beton yang kasar. Tertangkap olehnya bungkus rokok, ia mengambil sebatang darinya. Ia menyalakannya lagi, menghisapnya dalam-dalam. Bosan. Membosankan. Ini yang dibilang orang sehari serasa setahun? Gadis itu mendengus, lantas tergelak. Tawanya bergema menyedihkan. Tanpa teman.  Bisa-bisanya frase norak itu tersirat dalam pikirannya. Tetapi, ya ... ternyata begitu faktanya. Gadis itu mengisap lagi p****t rokok itu dalam-dalam. Menyebabkan ujung yang lain membara membakar kertas selubung tembakau. Menyebabkan abu terkumpul sepanjang satu sentimeter di ujung rokoknya. Ia menoleh menatap buku-buku. Dengan menjentikkan jari, abu rokok jatuh terserak. Di atas buku-buku. Bara yang menyentuh kertas telanjang menghanguskan setitik permukaannya. Buku-buku. Berbagai buku tersebar di kanannya. Engineering, psikologi, akuntansi, aljabar, medis. Seluruhnya terbuka. Barisan huruf kecil hitam sambung-menyambung. Ditingkahi ilustrasi. Grafik hingga anatomi organ dalam manusia. Athena menghisap rokoknya beberapa kali lagi. Lalu, menjentikkan abu rokok ke atas buku yang lain. Kali ini, butir halus kelabu menyebar di atas gambar sebuah paru-paru. Oh, satire yang manis dari sebuah kebetulan. Kamu nggak akan pernah menang dari Abang. Suara itu bergaung lemah di otaknya. Dia mendecak, lalu tubuh rokok itu tertumpas habis oleh tekanan tangannya. “Ya, ya, ya,” gumamnya. Ia menutup buku-buku itu dengan keras, lalu memasukkannya ke dalam tas ransel hitam dengan sablon “Legacy of the Beast” dengan tinta merah, semerah darah. Gadis itu menjejakkan kaki ke tangga darurat. Berlari menyusuri anaknya dua-dua, bahkan tiga-tiga. Ia melihat liku-liku tangga heksagonal yang tampak tak berdasar. Menggelengkan kepalanya, ia mengencangkan tali tas ranselnya agar merapat ke tubuhnya. Dalam waktu sepersekian detik, ia telah melompati pegangan, mendarat satu lantai di bawahnya. Tubuh Athena oleng ketika kedua kakinya menyentuh ujung anak tangga. "Uups!" Ia menyeimbangkan tubuhnya, lalu melanjutkan misinya.  Ia melompat-lompat seperti tupai di tengah anak-anak tangga yang tak terhitung. Sesekali ia akan meluncur di pegangan tangga. Dalam hitungan menit, ia sudah mencapai dasar gedung hotel dan perkantoran berlantai 69 itu. “Sial, rokok!” Ia terengah, memegangi dadanya yang serasa tertusuk-tusuk. Athena keluar dari pintu darurat ke arah lobi. Seorang penjaga keamanan gedung menegurnya. “Maaf, kartu pengenalnya, Mbak!” Gadis berambut hitam itu tersenyum percaya diri, menyingkapkan sebuah dompet dengan lencana kepolisian di dalamnya. Penjaga keamanan wanita itu mengangkat alis ke arahnya. “Lagi tugas,” sahut Athena seenaknya. Wanita itu lantas mengangguk, tersenyum. Athena hanya tertawa. Keluar, ia mengamati ke sekelilingnya. Satpam senior tengah berdiri di depannya dengan HT di depan mulutnya, sesekali transceiver mengeluarkan suara serak. Di sisi kanannya, warga negara asing dengan tinggi menjulang menunggu kedatangan taksi didampingi seorang gadis pribumi berkulit gelap dengan rambut hitam panjang yang lurus-kaku. Menoleh ke sisi kanannya, ia melihat dua pria berjas hitam dan biru dongker. Berbicara cepat terburu seakan waktu akan habis dan mereka akan tenggelam dalam kenistaan dari ketiadaan. Bursa efek dan saham adalah topik utama mereka. Athena tersenyum, mengedikkan bahu. Baru saja ia melangkahi beberapa anak tangga di depan pintu masuk lobi Gama Tower, ia telah dihadang. Sebuah mobil mercedes hitam berhenti tepat di hadapannya. Pintunya terbuka. Seorang wanita dengan rambut berpotongan seperti lelaki. Kacamata hitam menutupi jendela jiwanya. Mulutnya terbakar oleh warna merah menyala. Athena mengernyit. Ia menatap lurus ke arah Athena, seolah menunggu. Gadis itu mendekatinya. “Ada urusan sama saya?” Bibir merah itu tertarik ujungnya. Beberapa kerutan timbul, membuat Athena mengira-ngira usianya tak lagi muda. “Mungkin. Masuk?” Athena mengangkat bahu. Lagipula, tidak ada ibu yang mengajarkannya untuk tidak sekenanya menuruti orang asing. Di dalamnya, ia duduk menyamping. Seluruh tubuhnya menyampaikan kewaspadaan dan konfrontasi terbuka. Gadis itu mengangkat alis, tapi wanita itu hanya tersenyum simpul. Tidak mengacuhkan Athena. Gadis itu mengambil kesempatan untuk terang-terangan mengamati sang wanita. Kulitnya putih pucat dengan hidung yang menyempit di bagian tengah. Blazer hitam tanpa lengan menutupi one-piece trouser suit putih berbahan satin. Bagian tungkainya melebar hingga ke mata kaki dan disudahi dengan peep toe heels. Satu lirikan cukup untuk mengenali baju itu hasil perancang ternama. Tatapannya kemudian beralih pada topi bulat putihnya yang menempel miring di rambutnya, berhias pita-pita kaku yang melengkung. Lengkap dengan beberapa helai bulu kecokelatan bergaris hitam yang mencuat di atas pita-pita itu. Ia sampai hampir lupa menutup mulutnya. “Trus?” Athena mengamati supir dengan topi bodoh yang menatap lurus tanpa ekspresi. Dia menghempaskan punggungnya, melipat tangan. Jelas siapapun wanita ini, dia tidak akan buka mulut sebelum waktunya. Setidaknya, ini sentuhan menarik pada rutinitasnya. “Bukannya harusnya kamu ada kelas hari ini?” Athena menyipitkan mata waspada. Jadwalnya memang bukan rahasia, tapi kalau seseorang yang sama sekali tidak dikenalnya mengetahui itu, jelas tidak bisa dianggap sepele. “Gimana kamu tahu jadwal saya?” Bukannya menjawab, wanita itu melengkungkan busur merah darahnya, membuat darah Athena sendiri menggelegak. Ia menatap rumah-rumah minimalis yang tengah marak. Sesekali rumah besar peninggalan zaman Belanda menyemarakkan suasana yang monoton, tetapi hanya satu atau dua. Athena melirik wanita yang masih tak berkata apapun. Mereka baru saja berbelok, menjauhi keramaian. Bukan itu masalahnya. Bukan pula saat mobil kembali berbelok ke arah kiri di satu gang. Bukan. Masalahnya, jalan ini terlalu dikenalnya. Dan mereka tiba di rumahnya. Athena mengibaskan rambut hitamnya ke balik punggungnya, menatap wanita yang hanya diam di belakang setir. Memutuskan bahwa itu tanda untuknya keluar dari mobil, Athena pun menuruti permainannya. Ketika Athena telah menjejakkan kaki di batu paving depan rumahnya, wanita itu membuka mulut. Sembari tersenyum, ia berkata dengan nada ringan, “Jangan sembarangan main-main di luar rumah, Athena. Bisa saja ada yang menculikmu.” Gadis itu mencondongkan tubuh ke arah dalam mobil. Dengan desis pelan, Athena berkata, “Dan dia yang bakal menyesal.” Athena menatap wanita itu tajam, yang tidak jelas arah pandangannya kemana. Tertutup sepenuhnya oleh benda hitam legam di depan matanya. Sedang senyumnya telah lenyap sepenuhnya. Selama beberapa detik mereka berhadapan, muka dengan muka. Wanita itu menggerakkan bibir merah darahnya.                                                                                                 ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD