01

1516 Words
Leon berjalan ogah-ogahan menyusuri trotoar jalan raya dengan padatnya kendaraan bermotor. Ia memilih berbalik arah saat melihat pintu gerbang sekolah telah tertutup dengan Pak Dodo sebagai satpam sekolah sedang berdiri bersama Pak Yusril yang menjabat guru Bk di depannya. Akibat ulahnya yang merokok di belakang rumah, lalu ketahuan papanya dan membuat ia terpaksa dihukum. Bahkan papanya tega menyita kunci motor, hingga cowok itu harus repot ke sekolah naik angkot kemudian berujung terlambat di hari senin. Leon tidak masalah jika ia hanya terlambat dan dihukum seperti siswa lain. Hanya saja, netranya menemukan sosok pria yang paling ia hindari di seluruh penjuru sekolah. Siapa lagi jika bukan Dimas Mahessa. Daripada harus dihukum berbarengan dengan kakak kelasnya itu, Leon memilih kabur dan membiarkan absennya diisi alpa oleh guru piket hari ini. Ia tidak peduli. Toh, papanya tidak akan repot mengecek daftar kehadirannya di sekolah. Tidak memiliki tujan yang jelas, membuat ia bingung harus berjalan ke mana. Ditambah tidak memiliki kendaraan pribadi menjadikan ia hanya bisa pergi ke area yang dekat sekolah saja. Bukannya tidak mau ke tempat jauh dan naik angkot, hanya saja ia malas harus transit dan berpindah kendaraan apalagi ia tidak tahu mau ke mana. Matanya memicing memperhatikan sebuah ruko kecil di dalam gang sempit dekat sekolah. Itu sebuah warnet yang tertutup dengan kaca hitam di depannya. Ada beberapa poster dari game terkenal yang sering ia mainkan di rumah. Oh, jadi itu warnet yang sering anak-anak ceritain di kelas, dan dibuat tempat bolos. Tanpa menunggu lama, ia bergegas menuju tempat bermain komputer itu. Membuka pintu dengan cara digeser, lalu memilih satu bilik di dalamnya. Ia bahkan memesan minuman dan makanan ringan untuk menemaninya bermain game di dalam. Dihukum tidak membuat Leon menjadi miskin. Karena ayahnya tidak akan tega mengambil uang jajan putra tunggalnya itu. Leon bukanlah anak yang kelewat bandel hanya untuk mencari perhatian. Ia hanya mempunyai dunianya sendiri untuk membuat dirinya bahagia. Karena ia tidak bisa mendapatkan itu di rumah.   ***   Sudah tiga jam cowok berambut kecokelatan itu menghabiskan waktu dengan bermain pc game. Kini perutnya keroncongan dan ia sudah bosan dengan cemilan warnet yang sejak tadi menemaninya mengadu skill. Ia melirik jam yang ada pada desktop menunjukkan pukul sebelas, sudah hampir waktunya makan siang. Cowok yang kini telah melepas seragam sekolahnya dan berganti dengan kaus polos berwarna hitam itu beranjak dari bilik menuju meja kasir. Membayar sejumlah uang untuk waktu bermainnya juga bermacam jajanan yang ia makan. Setelah itu ia bergegas keluar untuk mencari makanan yang dapat memenuhi ruang di perutnya. Leon butuh makanan berat. Karena kacang atom dan risoles yang ia makan di warnet rupanya tidak cukup membuatnya kenyang. Ia kembali berjalan menyusuri trotoar. Biasanya di jam seperti ini, ia akan kabur lewat pagar belakang dan makan siang di warung Emak. Leon lebih memilih tempat makan ilegal—di jam sekolah itu, karena malas makan di kantin dengan segala risiko bertemu Dimas Mahessa. Selain itu, tentu saja ia malas berdesakan dengan siswa lain. Sambil berjalan, cowok itu memikirkan bermacam menu lezat untuk memenuhi hasrat laparnya. Ia tidak mungkin makan di warung Emak saat sedang bolos sekolah. Karena jika lewat jalan biasa, ia harus melewati gerbang sekolah untuk menuju ke sana. Bisa-bisa ia kepergok oleh salah satu siswa dan berujung dilaporkan ke guru BK. Leon malas jika harus menghadap pak tua berkacamata itu. Belum juga menemukan ide untuk menu makan siangnya, Leon menatap minimarket  yang berada di ujung jalan pertigaan. Ia merasa tenggorokannya begitu kering dan membutuhkan cairan dingin pelepas dahaga. Maka cowok itu memilih untuk membeli minum terlebih dahulu. Siapa tahu setelah merasa segar, ia mendapat ide mau makan apa. Tangannya mendorong pintu kaca perlahan serta kakinya melangkah memasuki minimarket itu. Matanya menelisik setiap lorong mencari keberadaan chiller berisi minuman favoritnya. Ia segera mengambil sebotol minuman isotonik dari dalam sana dan bergegas untuk membayar. Namun, langkahnya terhenti kala netranya tanpa sengaja menemukan hal yang menarik perhatiannya. Seorang gadis dengan rambut panjang mengenakan kaus hitam dan rok sekolah SMP yang kelewat pendek. Uh, mata Leon tidak bisa berpaling dari paha mulus makhluk mungil itu.  Ia terus memperhatikan setiap gerak si gadis yang tampak gelisah. Dalam hati ia ingin sekali menghampiri dan bertanya ada apa, atau jika bisa sekalian menanyakan nomor telepon. Cowok tinggi itu cepat-cepat menggeleng dan membuyarkan segala pikiran kotornya tentang si gadis mungil itu. Mempercepat langkahnya menuju kasir untuk membayar. Baru berjalan dua langkah, ia menghentikan gerakannya. Mulutnya melongo dengan mata membesar melihat apa yang ada di hadapnnya. Gadis yang sempat mencuri perhatiannya itu tengah sibuk memasukan beberapa produk kosmetik ke dalam tas ranselnya. Gerakannya terlihat panik dan tidak beraturan. Dari sudut pandang Leon, jelas sekali gadis itu bukanlah seorang yang pro dalam hal ini. Dengan gerakan cepat, cowok itu mencekal tangan si gadis berambut panjang. Tentu saja membuat sang pemilik tangan tersentak dan menatapnya tajam. Ia memegang tangan gadis itu dengan kuat hingga membuat kulit putih mulus itu menjadi kemerahan. Gadis itu kesakitan dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Lepasin!" bentak gadis berambut panjang dengan nada tertahan.  Leon tak mau kalah, ia memberikan tatapan tajam pada perempuan di hadapannya. "Balikin, atau gue seret lo ke kantor polisi!" ucapnya dengan nada tegas penuh intimidasi. Gadis itu menunduk dengan satu bulir air mata menetes. Perlahan Leon melepaskan cekalan di tangannya, tetapi tidak mengalihkan tatapan sedikit pun. Dengan gerakan cepat, gadis itu melepaskan tas ransel dari gendongan dan mendorongnya pada tubuh Leon. Setelah itu ia berlari keluar tanpa mengatakan apapun lagi. Seketika Leon panik. Ia bingung harus mengejar atau mengembalikan barang-barang ini. Namun, sedetik setelahnya ia lebih memilih diam dan mengeluarkan isi tas ransel itu satu persatu untuk dikembalikan pada rak yang tersedia. Hanya tersisa satu buah dompet berwarna biru tua dengan bandul cantik berbentuk bintang sebagai hiasan. Cowok itu membuka dompet untuk melihat identitas pemiliknya. Ada dua buah kartu ATM, beberapa lembar uang, dan satu kartu pelajar, juga satu foto berukuran kecil yang hanya muat di pasang di dompet. Satu hal yang membuat Leon tertegun menatap foto itu. Satu foto keluarga di mana ada dua orang tua dan sepasang anak kecil laki-laki dan perempuan. Cowok itu tersenyum miris, dalam hatinya meraung penuh dengan rasa iri. Mengapa gadis itu harus melakukan perbuatan memalukan di saat ia telah dikelilingi keluarga yang bahagia. "Danessa Aulia Putri," gumamnya saat membaca kartu pelajar yang terselip dalam benda kecil itu. Kemudian ia kembali memasukan dompet itu pada tasnya dan beralih menuju kasir untuk membayar minuman yang ia pegang.   ***   Leon celingukan begitu keluar dari mini market. Ia mecari keberadaan si pemilik tas yang telah mencuri perhatiannya itu. Netranya menemukan sosok yang dicari. Seorang gadis cantik yang sepertinya juga tengah membolos sekolah sedang berdiri sambil menunduk di ujung jalan. Ia mempercepat langkah untuk menghampiri gadis yang terlihat sedang menunggunya itu. Ia berdiri tepat di hadapannya membuat si gadis mendongak menatapnya. Leon hanya menatap dengan wajah datar, sedangkan gadis itu tengah menahan segala rasa takut terlihat dari helaan napasnya yang tidak teratur. "Balikin tas gue!" pinta gadis bernama Danessa itu dengan tangan yang terangkat untuk mengambil miliknya. Namun, tangan Leon dengan cepat mengangkat tas ransel itu tinggi-tinggi membuat gadis itu harus berjinjit untuk meraihnya. Gagal, tentu saja karena perbedaan tinggi mereka yang kelewat jauh. "Mau lo apa, sih?" teriak gadis itu dengan kesal.  Leon hanya tersenyum miring kemudian berjalan dengan membawa tas ransel itu dalam gendongannya. Tentu saja itu membuat Danessa turut berjalan mengikuti untuk mendapatkan tasnya. "Dasar cowok aneh! Gue bilang balikin tas gue!" oceh Danessa masih dengan langkah yang mengikuti Leon sambil tangannya menarik tali tas dalam gendongan Leon. Cowok itu tiba-tiba saja berhenti membuat Danessa menubruk tubuh kokohnya. "Lepasin tas gue!" Danessa kembali meminta, kali ini dengan nada yang ditinggikan sengaja untuk menggertak Leon. Padahal jantungnya tengah bergemuruh di dalam sana. Ia takut. "Kalau emang takut, kenapa lo harus nyuri, sih?" tanya Leon menatap tajam pada mata hitam pekat milik Danessa. Gadis itu segera mengalihkan pandangan untuk menghindar. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali untuk menetralkan perasaan. "Gu-gue ... butuh duit!" jawabnya terbata. Leon mengangkat alis mendengarnya. Ia bahkan menunduk untuk menyamakan tinggi dengan Danessa. Ia menatap dalam manik mata itu membuat si pemilik gelagapan. "Lo butuh duit?" Leon menyeringai, "perlu gue totalin berapa harga barang-barang dari ujung kepala sampai kaki yang lo pakai ini?" lanjutnya dengan nada penuh sindiran membuat Danessa hanya menunduk. Leon benar. Dilihat dari penampilannya saja, orang dapat menilai jika gadis itu bukan tipe anak yang kekurangan uang. Meskipun tidak hobi berbelanja, tetapi Leon cukup mengenal beberapa merek mahal yang terkenal. Mulai dari tas, sepatu, hingga dompet yang gadis itu gunakan merupakan keluaran terbaru dari merek ternama. Leon sangat yakin jika itu barang-barang asli. Maka sangat bohong jika ia mengatakan sedang butuh uang lalu mencuri kosmetik murah di minimarket. Bahkan dengan harga tas ranselnya saja ia dapat membeli semua kosmetik yang ia curi tadi. "Gue tanya sekali lagi, apa alasan lo nyuri? Lo baik-baik aja, kan?" tanya Leon penuh penekanan. Danessa menunduk. Ia menahan isak dari air matanya yang terus mengucur. Ini pertama kalinya ada seseorang yang bertanya tentang keadaannya. "Percuma gue cerita. Lo nggak akan ngerti," ujarnya dengan kepala yang terus menunduk. "Mungkin gue nggak akan ngerti, tapi setidaknya kalau lo cerita, lo nggak sendirian di sini. Masih ada orang yang mau dengerin cerita lo. Ya walaupun itu nggak bisa nyelesaiin masalah lo, tapi setidaknya beban di hati lo sedikit berkurang." Leon memberanikan diri memegang bahu Danessa. Ia memberikan usapan lembut untuk memberikan ketenangan. Ia mulai panik ketika melihat gadis itu mulai menangis. Tbc ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD